Baik
Baik
Satu jam yang lalu setelah kami berbincang dengan Mama Denada di dapur, Nanny Aster memberi tahu Denada sudah bangun dari tidurnya. Nanny Aster sempat mengantar sarapan ke kamar Denada, tapi Denada masih enggan memakannya dan hanya meminum beberapa teguk susu.
Saat aku dan Astro memasuki kamar, kamar Denada masih sama seperti yang selalu kuingat. Terlihat rapi dan apik. Ada buket bunga lavender artifisial dan tiara yang bertahun-tahun lalu pernah kubuatkan untuknya, tersimpan rapi di salah satu sudut dinding kamarnya yang dilindungi dengan kaca.
Aku mengedarkan pandanganku untuk mencari keberadaan Denada. Saat aku baru saja berpikir mungkin Denada sedang di kamar mandi, aku melihat bayangan seseorang sedang duduk di kursi panjang di balkon. Aku mengajak Astro menghampirinya.
Aku mengecup pipi Astro dan melepas genggaman tangannya sebelum kami sampai di balkon. Kuharap Astro mengerti kami sedang tak ingin membuat Denada semakin merasa kesal pada kami.
Denada bergeming saat aku duduk di sebelahnya. Kursi panjang ini hanya cukup untuk diduduki dua orang, hingga Astro memilih untuk menyandarkan tubuhnya pada teralis baja di sampingku.
Aku mengamit tangan Denada dan menggenggamnya. Denada hanya membiarkan aku melakukannya tanpa menunjukkan tanda-tanda penolakan.
Aku hampir saja menghela napas, tapi aku menahannya. Menatap Denada yang terlihat menyedihkan membuat hatiku terasa sakit. Matanya sayu dan tubuhnya terlihat lemah. Namun yang paling menyakitkan, aku tahu Denada sedang mengabaikanku.
Di kursi panjang ini beberapa tahun yang lalu, Denada lah yang membuka mataku dan membuatku menyadari perasaanku pada Astro. Yang juga membuatku mengambil keputusan untuk memberi tahu Astro aku bersedia menunggunya. Sekarang, Denada sedang patah hati dan itu semua adalah karena ulahku.
Aku menoleh pada Astro untuk mencari dukungan. Aku berpikir mungkin saja Astro ingin mengatakan sesuatu, tapi Astro tak terlihat sedang ingin melakukan apapun. Aku memang berkata padanya untuk tetap diam jika Astro tak ingin meminta maaf pada Denada, tapi aku tak menyangka Astro akan benar-benar melakukannya.
Aku mengalihkan tatapanku kembali pada Denada dan mengumpulkan keberanian untuk memanggil namanya. Namun Denada tetap bergeming menatap jauh ke ujung pandangannya.
"Aku boleh peluk?" aku bertanya pada Denada karena aku tak tega melihatnya terlihat kesepian walau ada aku dan Astro di sini.
Denada masih bergeming, tidak menolak atau mengiyakan. Namun saat aku akan memeluknya, Denada menoleh dan menatapku dengan tatapan tajam yang terlihat menyeramkan hingga membuatku membatalkan niatku.
"Puas kamu?" ujarnya.
Aah....
Aku menundukkan pandanganku sebelum menatap Denada kembali, "Aku minta maaf."
Denada menggeleng dengan gusar. Ada air menggenang di pelupuk matanya yang bengkak. Aku memang tak mengharapkan Denada akan memaafkanku semudah itu, tapi mengalaminya sendiri membuat hatiku terasa tercabik.
Aku tahu aku sedang menahan napasku sendiri. Walau aku juga tahu, aku tak mungkin menyerah setelah sampai sejauh ini. Aku tak akan menuntut permintaan maafku diterima. Aku hanya ingin memastikan Denada tahu aku menyayanginya hingga aku membuat keputusan untuk membiarkan Kyle menemaninya ke Australia.
"Aku ga tau harus ngasih tau kamu pakai cara apa." ujarku sambil menatap Denada lekat. "Aku tau kamu dikasih tau sama temen apartemen Petra kalau Petra deket sama perempuan, tapi kamu ga percaya. Aku pikir ... kamu ga percaya karena kamu ga liat sendiri. Aku minta Kyle nemenin kamu ke Aussie biar kamu bisa liat Petra sama Tif ..."
"AKU GA MAU DENGER NAMANYA!" tiba-tiba saja Denada berteriak histeris dan menatapku nyalang. "AKU GA MAU TAU!!"
Aku menggigit bibir untuk menahan apapun yang keluar dari sana. Aku menatap Denada dengan waspada. Aku tahu jika aku salah bicara sekarang, aku hanya akan memperburuk keadaan.
Aku menoleh untuk menatap Astro. Aku tahu dia sedang menahan diri. Aku tahu dia akan menarikku menjauh dari Denada jika Denada mulai tak bisa mengendalikan diri.
Aku menoleh untuk menatap Denada kembali. Tatapannya padaku masih tajam dan menyeramkan, dengan bulir air yang mengalir di pipinya. Aku berusaha mengelap air mata yang meleleh, tapi Denada menampik lenganku dengan keras hingga terbentur ke dinding dan meninggalkan sensasi nyeri.
Astro hampir saja meraihku, tapi aku memberinya isyarat untuk tetap bergeming di tempatnya semula. Astro hanya menatapku dengan tatapan kesal, tapi memundurkan langkah dan kembali bersandar pada teralis baja.
"Kamu mau aku gimana, Denada? Aku akan lakuin yang kamu minta." ujarku sambil menatap Denada.
Denada mengeraskan rahangnya dan mengalihkan tatapannya dariku. Air mata yang meleleh di pipinya semakin deras, tapi aku tak lagi memiliki keberanian untuk menyentuhnya.
"Maaf kalau aku ga peka sama perasaan kamu. Aku ... ga mau kamu lebih lama lagi diselingkuhin. Kamu perempuan baik-b ..."
"Aku bukan perempuan baik-baik!" ujar Denada sambil menoleh padaku. Tatapan matanya berubah menjadi sendu. Aku tahu Denada sedang merasa menyesal, tapi bagaimana aku harus menghiburnya sedangkan dia jelas-jelas sedang memberi jarak denganku.
"Aku ga pernah nganggep kamu begitu." hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibirku walau aku justru mengatakannya dengan nada suara yang bergetar. "Kamu sahabatku. Harusnya kamu tau aku ga pernah mikir begitu."
Tatapan Denada padaku meredup. Aku hampir saja memegangi tubuhnya karena berpikir Denada akan pingsan saat itu juga, tapi Denada meremas rambutnya dan tertawa dilema.
"Aku harusnya tau ya? Hahahaha ... HARUS?!"
Tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu yang dingin menjalari tengkukku.
"Harusnya kamu juga tau, Faza. Aku emang murahan. Kamu tau aku berkali-kali ngelakuin itu sama Petra. Hahaha! Aku bukan perempuan baik-baik kayak kamu! AKU MURAHAN, KAMU DENGER??!"
Entah bagaimana tiba-tiba aku teringat ucapan Astro saat mengatai Denada gila. Kurasa aku tahu kenapa Astro berpendapat seperti itu, tapi aku tak mungkin menganggap Denada gila. Dia sahabatku. Dia hanya sedang patah hati dan membutuhkan seseorang yang mengerti dirinya.
Mengerti.
Aku memeluk Denada dengan erat walau tubuhnya meronta meminta untuk dilepaskan. Tubuhnya lemah karena Denada sudah tak memakan apapun selama berhari-hari.
Denada masih menangis histeris dan meracau dengan berteriak dirinya murahan, tak pantas untuk siapapun, aku tak akan mengerti dirinya dan sebagainya. Namun aku tetap bergeming dan memeluk tubuh Denada dengan erat hingga tubuhnya menyerah untuk meronta.
Aku menyandarkan kepala Denada yang lunglai di bahuku dan mengelus rambutnya perlahan. Aku harus menunggu hingga napasnya kembali teratur atau semuanya akan sia-sia saja.
Aku tahu aku mungkin tak bisa memahaminya, memahami apa yang Denada rasakan atau memahami perilakunya sekarang. Aku pun tahu aku tak mungkin berpura-pura untuk mengerti, maka aku hanya diam.
"Aku capek." ujar Denada lirih, tapi terdengar jelas di telingaku.
Aku hanya mengangguk dan membimbing Denada untuk bangkit, lalu memapahnya untuk berbaring di tempat tidur miliknya. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang terbaring lemah.
"Kamu harus makan." ujarku sambil menatap Denada lekat.
Denada menggelengkan kepalanya dengan lemah.
"Kamu harus makan, Denada. Aku bikinin bubur daging, ya? Nanti aku suapin."
Denada hanya menatapku dengan tatapan nanar, tidak menolak atau mengiyakan. Namun dia memejamkan mata hingga napasnya berangsur berat dan dalam. Kurasa aku tak perlu menunggunya karena sepertinya Denada kelelahan hingga tertidur secepat itu.
Aku mengamit tangan Astro dan mengajaknya keluar kamar. Aku menutup pintu dan menghela napas panjang. Saat aku menoleh, aku mendapati mama Denada sedang menangis terisak sambil bersandar pada dinding. Aku melepas genggaman tanganku pada Astro dan memeluk mama Denada hingga mama Denada merasa sedikit lebih tenang.
"Faza pinjem dapurnya ya, Ma. Faza mau bikin bubur. Mama istirahat aja, Denada lagi tidur." ujarku setelah melepas pelukanku.
Mama Denada hanya mengangguk dan menjauhkan dirinya dariku sambil berjalan pelan menuju kamarnya yang berada di sebelah kamar Denada.
"Kamu terlalu baik, kamu tau?" bisik Astro tepat di telingaku.
Aku menoleh dan mengelus pipinya, "Cuma ini yang bisa aku lakuin buat sahabatku."
Entah kenapa Astro justru memberiku senyum menggodanya yang biasa, membuatku merasa aku bodoh sekali.
=======
Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..
Regards,
-nou-