Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Panas



Panas

1Nanny Aster mengamit mangkuk berisi bubur yang masih panas dari tanganku dan meletakkannya di nampan, lalu membawa nampan itu ke meja makan. Nanny memberi isyarat padaku untuk duduk, "Tunggu agak hangat dulu baru dibawa ke kamar nona Denada ya. Bisa Nanny ngobrol sebentar?"     

Aku mengangguk, lalu duduk di antara Nanny Aster dan Astro. Astro menggenggam tanganku dan mengelusnya perlahan.     

"Nanny minta maaf kalau Nanny lancang. Nanny cuma mau cerita sedikit. Kalau boleh." ujar Nanny Aster dengan tatapan lembut.     

Aku hanya mengangguk dan menunggu Nanny Aster melanjutkan kalimatnya.     

Nanny Aster terdiam sebelum bicara, "Nanny tau gimana cinta nona Denada ke Petra. Nanny bisa ngerti gimana pertimbangan nona Denada sampai bisa ngelakuin hal-hal intim."     

Aku terkejut mendengarnya. Kupikir hanya Ibu dan Mama Denada yang mengetahui hal itu. Aku bahkan menyangsikan Papa Denada mengetahui hal itu juga atau tidak. Karena sepengetahuanku, Papa Denada sedang berada di Kalimantan sejak dua minggu lalu.     

"Nanny sempet denger waktu nona Denada cerita ke nyonya. Waktu ibu Nia dateng beberapa hari lalu." ujar nanny Aster seolah bisa membaca pikiranku. "Tolong jaga ini jadi rahasia ya. Nanny ga berniat nguping obrolan. Nanny cuma ga sengaja lewat waktu nona Denada bahas soal itu."     

Aku hanya diam dan mengangguk.     

Nanny Aster menatapku lebih lekat dengan mata berkaca-kaca, "Dulu ... Nanny pernah ngalamin yang nona Denada alamin. Bedanya, Nanny hamil. Laki-laki itu nikahin Nanny, tapi pernikahan kita cuma bertahan kurang dari setahun. Anak Nanny meninggal di dalam kandungan karena Nanny stress dapet perlakuan buruk dari suami Nanny."     

Tiba-tiba saja jantungku berdetak lebih kencang. Terasa seperti akan bisa melompat keluar kapan saja hingga aku mempererat genggaman tanganku pada Astro.     

"Ga lama anak Nanny meninggal, Nanny cerai dan pindah kota. Nanny kerja serabutan sampai ketemu sama nyonya dan kerja di sini sampai sekarang." ujar Nanny Aster sambil mengelap air mata yang mulai mengalir. "Nanny ngerti banget apa yang nona Denada rasain. Nona Denada cuma ga mau orang yang dicintai pergi. Dulu ... Nanny buta sama cinta. Nanny ga nyangka nona Denada juga ngalamin hal yang sama."     

Aku hampir saja mendebat Nanny Aster dengan berkata itu adalah tindakan yang bodoh sekali. Namun kata-kata yang hampir keluar justru tercekat di kerongkonganku dan membuatku menahan napas.     

"Nanny cuma mau bilang, yang dibutuhin nona Denada sekarang mungkin cuma perhatian. Nona Denada emang salah karena ngelakuin hal intim. Nona Denada juga salah karena terlalu emosi ke Nona Faza sampai ngeblokir nomor, tapi Nanny bisa pastiin nona Denada sebenernya butuh banget Nona Faza nemenin dan ngasih perhatian." ujar Nanny Aster di sela isak tangisnya.     

"Faza cuma bisa nemenin Denada hari ini aja, Nanny. Faza harus pulang ke Surabaya."     

Nanny Aster mengangguk, "Nanny mau minta tolong sama Nona Faza, boleh?"     

Aku hanya diam dan mengangguk.     

"Jangan sebut soal Petra atau perempuan itu lagi. Nona Faza bisa ajak nona Denada ngobrol tentang yang lainnya hari ini. Mungkin ... itu akan lebih bantu nona Denada."     

Aku terdiam mendengarnya. Sebetulnya aku ingin sekali bertanya tentang segala hal yang terjadi di Australia dan kenapa Denada begitu marah padaku. Namun dengan permintaan Nanny Aster, kurasa aku akan membatalkan semua pertanyaanku.     

Nanny Aster mengelap air matanya hingga tak tersisa dan tersenyum, "Kita bisa ke atas sekarang. Buburnya udah ga terlalu panas. Sebentar ya Nanny ambil susu dulu."     

Nanny Aster langsung bangkit dan berjalan cepat menuju kulkas. Sepertinya Nanny Aster masih terguncang karena berkutat cukup lama di sana.     

Aku menoleh untuk menatap Astro. Astro hanya mengangguk. Kurasa aku memang harus mengikuti saran Nanny Aster.     

Nanny Aster kembali dengan segelas susu dingin di tangannya, yang segera berpindah tempat ke nampan. Nanny Aster mengangkat nampan dan memberi isyarat pada kami untuk mengikutinya menaiki tangga.     

Astro memeluk pinggangku dan mengecup dahiku karena Nanny Aster berjalan di depan kami. Namun segera melepasku saat kami berada di depan kamar Denada.     

Aku mengambil nampan yang dipegang Nanny Aster dan membawanya memasuki kamar Denada setelah Astro membuka pintu. Kami berlalu dengan membiarkan pintunya terbuka. Aku terkejut saat melihat Denada sedang menatap jauh ke luar balkon dengan posisi meringkuk di tempat tidurnya. Aku hampir saja mengira Denada sudah tak memiliki harapan hidup atau semacamnya.     

Aku meletakkan nampan di meja kecil di sebelah tempat tidur dan menaiki tempat tidur Denada. Aku membimbing Denada untuk duduk dengan ditopang bantal di punggungnya, lalu mengambil mangkuk bubur dan menyodorkan satu suapan padanya.     

Denada hanya menatap sendok berisi bubur daging di hadapannya tanpa minat. Sepertinya aku memang harus berusaha sedikit lebih keras untuk merayunya.     

"Aku bikinin cake buah buat kamu kalau kamu abisin bubur ini. Aku punya waktu seharian di sini hari ini. Kamu bisa bantu aku bikin cake kalau kamu mau." ujarku.     

Denada hanya menatapku dengan tatapan hampa, lalu menatap Astro yang duduk di tepi tempat tidur.     

"Aku bisa minta Astro pulang duluan kalau dia ganggu." ujarku dengan mantap.     

Astro menatapku tak percaya, tapi tak mengatakan apapun.     

Denada menatapku kembali. Bibirnya sedikit bergerak, tapi sepertinya dia membatalkan apapun yang akan dia katakan padaku.     

"Kamu mau ketemu Kyle? Kyle ada di bawah kalau kamu mau ketemu." ujarku.     

Denada menggeleng lemah.     

"Mau refleksi? Kayaknya kita bisa refleksi sebelum aku pulang. Sekarang masih jam sepuluh, aku masih punya banyak waktu."     

Denada menggeleng dan menatap Astro dengan tatapan sendu. Entah apakah ini hanya firasatku, tapi ...     

"Bisa kamu keluar sebentar?" aku bertanya pada Astro.     

Astro terlihat enggan. Namun dia bangkit.     

"Jangan. Aku mau ngobrol sebentar." ujar Denada lirih, tapi masih jelas terdengar.     

Astro menatapku dan Denada bergantian, lalu kembali duduk di tepi tempat tidur. Aku tahu Astro sedang menunggu Denada bicara. Aku pun sama.     

"Aku ..." Denada mengeleng dengan gusar sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kamu ... kenapa kamu ... bisa nahan? Setauku kalian ga pernah ngapa-ngapain sebelum kalian nikah. Atau kalian emang pernah?"     

Terasa ada batu jatuh ke dasar perutku saat mendengar Denada mengatakannya. Kami memang tak pernah melakukan hal intim sebelum kami menikah, tapi kami pernah saling berciuman satu kali walau aku menganggap ciuman itu mimpi. Aku juga pernah beberapa kali mencium Astro saat keisenganku kambuh, atau mungkin ... sebetulnya aku memang ingin sekali melakukannya.     

Astro menatapku lekat, "Aku ga bisa biarin perempuan yang aku sayang sakit karena aku."     

"But it feels good (Tapi rasanya nikmat)." ujar Denada, yang membuat tatapan Astro beralih padanya.     

Astro terlihat berpikir keras dan dalam sebelum bicara. "But now you hurt (Tapi sekarang kamu sakit). Sorry Denada, kamu bener-bener ketemu orang yang salah dan kamu bikin keputusan yang salah. Aku ga punya kesimpulan lain yang lebih baik dari ini."     

Air mata Denada mengalir dan sepertinya Denada tak berniat untuk mengelapnya. Aku meletakkan mangkuk bubur kembali ke nampan dan menggenggam tangan Denada yang mulai bergetar.     

"Aku minta maaf kalau omonganku waktu angkat telpon kamu bikin kamu tersinggung. Aku lagi ada masalah. Istriku kabur dan aku panik. Aku ga bermaksud ngatain kamu, tapi aku serius waktu bilang kalian harusnya nunggu sampai kalian nikah." ujar Astro.     

Denada menatapku, "Kenapa kamu kabur?"     

"Itu ... aku ..."     

Bagaimana aku harus menjawabnya? Aku tak mungkin menceritakan dugaan kehamilanku atau tentang bagaimana aku merasa sakit hati saat Astro mengabaikanku, juga tentang labilnya emosiku karena transisi menjadi istri baru.     

"Faza lagi kangen sendiri. Kayaknya aku keseringan bikin dia sebel." ujar Astro dengan senyum menggodanya yang biasa.     

Denada menoleh pada Astro dan terdiam selama beberapa lama walau ada sedikit senyum di ujung bibirnya, "Kamu emang nyebelin."     

Entah bagaimana ini semua bisa terjadi, tapi ada air mata yang meleleh di pipiku.     

=======     

Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : iamno     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.