Melipat
Melipat
Opa tahu aku mencari bundaku. Opa juga tahu bundaku masih hidup. Namun kenapa aku harus menyampaikan salam pada Bunda jika Opa tahu di mana Bunda berada? Opa tak mungkin tak pernah menemui Bunda, bukan?
Tunggu ... apakah itu mungkin? Apakah Opa tak pernah menemui Bunda walau tahu di mana Bunda berada? Apakah itu juga berarti Oma tak tahu menahu tentang keberadaan Bunda dan menganggap Bunda benar-benar sudah tak ada di dunia ini?
Handphoneku kembali bergetar. Ada pesan dari Astro.
Astro : Pegang tangan Opa dan bisikin di telinganya. Kamu bisa ngomong sama Opa pakai cara itu, mungkin Opa akan ngerespon. Kata-kata kamu akan masuk ke alam bawah sadar Opa
Astro : Pakai nada lembut. Kamu pasti bisa
Aku menyeka air mata dengan punggung tangan dan menatapi Opa dalam diam. Berbagai alat bantu yang terpasang di tubuhnya membuat dadaku sesak. Alat pasien monitor yang menunjukkan detak jantung menarik perhatianku karena angkanya terus turun.
Aku menarik napas perlahan sambil mengatupkan kedua tangan di pangkuanku, lalu membukanya perlahan dan mengatupkannya kembali. Seperti sedang melakukan gerakan tepuk tangan dengan lambat dan tanpa suara.
Aku membuka kedua tangan. Ada hal-hal yang tidak bisa kudapatkan. Bukan karena aku tidak bisa mendapatkannya, tapi hal itu memang bukan seharusnya menjadi milikku dan aku harus mengendalikan diri dengan sabar.
Aku mengatupkan kedua tangan kembali. Ada hal-hal yang memang akan menjadi milikku, walau aku tidak melakukan apapun. Bukan karena aku hebat, tapi karena aku diberi kepercayaan untuk menjaga hal-hal itu jauh lebih baik dibanding orang lain. Itu disebut tanggung jawab.
Aku tahu segala hal hanya harus dijalani. Jika memang hal-hal itu ditakdirkan untukku, maka apapun yang terjadi hal itu akan tetap menjadi bagianku. Masalah-masalahku, orang-orang yang membantuku, bahkan orang-orang yang berkomplot untuk menggangguku pun sebetulnya memang menjadi bagianku.
Aku menggenggam tangan Opa dan mendekatkan bibir di telinga Opa. Aku ingin Opa mendengarku bicara. Tak masalah bagiku jika Opa tak akan merespon. Astro berkata apapun yang kukatakan akan masuk ke alam bawah sadar Opa. Aku mempercayainya.
"Ini Faza, Opa." ujarku dengan nada lembut. "Semua orang bilang Opa sekarat. Faza ga mau Opa pergi secepet ini, tapi ... Faza akan serahin ke Opa. Faza udah terima semua berkas hak waris dari Pak Bambang. Faza juga udah baca surat Opa buat Faza."
Aku terdiam dengan air mata mengalir di pipi. Angka di pasien monitor semakin turun seiring dengan kedipan mataku. Entah kenapa ini terasa seperti sedang diperlihatkan di depan mataku dengan lambat.
"Nanti Faza sampaiin salam Opa buat Bunda. Faza sayang Opa." ujarku sambil mengecup pipi Opa.
Tiba-tiba saja jari Opa yang kugenggam bergerak. Hanya satu detik waktu yang terlewat dan terasa seperti sebuah gerakan refleks. Aku menatapi tangan Opa dengan seksama, tapi tak ada gerakan lain lagi. Yang terdengar di telingaku adalah suara mirip dengung yang jauh, dan entah bagaimana tiba-tiba ruangan ini penuh dengan orang lalu lalang.
Ramai sekali. Hanya aku yang membeku menatapi tangan opaku. Namun tangan itu segera terlepas dariku, disambut pelukan entah siapa dan aku dibawa ke luar ruangan dengan paksa.
Aku mendengar suara isak tangis dan ratapan, juga kalimat penghiburan. Namun yang terlihat jelas di mataku adalah sosok Opa yang hampir transparan. Terlihat lebih pucat, tapi terlihat lebih nyaman.
Opa sedang berdiri di samping Oma yang sedang menangis dengan tatapan sendu, lalu Opa menatapku dan tersenyum. Hanya satu kedipan mata dan opaku menghilang, tapi ada kalimat terima kasih yang menggema samar di telingaku.
Apakah aku baru saja melihat hantu?
Bukan. Aku yakin itu bukan hantu.
"Kamu hebat." ujar Astro lirih tepat di telingaku.
Tubuhku lemas sekali hingga aku terduduk dan manutup wajah dengan kedua tangan. Astro duduk di sisiku dan mendekapku erat di dadanya. Gema langkah kaki dan ucapan semua orang memasuki telingaku seolah itu adalah suara yang datang dari alam lain.
Saat aku membuka mata, yang terlihat di depan mataku adalah langit-langit putih dan aroma yang tak pernah kusukai menghampiri indera penciumanku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan menatap ke sekeliling, tak ada siapapun. Namun ada sebuah selang infus terpasang di lenganku.
Aku memaksakan diri duduk dan memperhatikan sekeliling lebih seksama. Aku sedang berada di atas tempat tidur pasien, tapi aku bisa melihat orang-orang bergerak di luar ruangan. Aku melihat sosok Astro dan memanggilnya, tapi sepertinya suaraku tak terdengar olehnya.
Aku mencoba mengingat berbagai hal. Kelebatan kejadian di rumah Oma terputar di depan mataku. Kelebatan berkas-berkas hak waris dan juga ...
Aku mencabut jarum infus dari lenganku dan memaksa diri menghampiri pintu. Kepalaku terasa berat sekali seiring tiap langkah yang kuambil. Namun aku berhasil memegang gagang pintu tepat waktu sebelum tubuhku oleng.
Aku terdiam sesaat dan berusaha merasakan tubuhku sendiri. Saat merasa cukup kuat, aku membuka gagang pintu dan Astro langsung berlari memelukku. Aku hampir saja terjatuh andai dia tidak menangkap tubuhku.
"Kenapa kamu turun?" Astro bertanya dengan tatapan khawatir sambil mengangkat tubuhku di lengannya. Dia menoleh entah pada siapa dan bicara dengannya, "Panggil suster."
Aku belum sempat melihat siapa dia saat Astro membawaku kembali ke tempat tidur pasien. Dia menatapku khawatir sambil duduk di tepi tempat tidur dan mengelus dahiku.
"Opa?" hanya itu yang mampu ke luar dari bibirku.
"Lagi disiapin. Kamu harus istirahat sebentar lagi. Nanti kita anter Opa sama-sama."
Aku menatapnya dalam diam. Aku tahu opaku sudah meninggal dan entah kenapa tak ada air mata yang ke luar. Aku hanya tiba-tiba merasa tenang.
"Oma dianter pulang sama Jian buat nyiapin yang lain, dibantu Ibu sama Denada. Berita duka soal Opa juga udah disebar. Pemakamannya nanti sore. Oma bilang Opa pernah minta dimakamin di sebelah makam ibunya, di Magelang."
Aku mengangguk. Aku tak memiliki kalimat apapun yang akan kukatakan padanya. Aku juga tak memiliki pertanyaan apapun. Aku hanya ingin melihat opaku untuk yang terakhir kalinya.
Sebuah ketukan di pintu dan seorang perawat memasuki ruangan, dengan Teana di belakangnya. Sepertinya Teana yang menemani Astro di luar beberapa saat lalu. Perawat itu memasang kembali infus di lenganku dan memintaku beristirahat sampai infusnya habis. Dia ke luar setelah selesai memasangnya.
"Aku ikut berduka, Faza." ujar Teana dengan tatapan sendu. "Axelle nanti dateng ke makam, tapi kalau semua orang udah pergi. Tadi dia titip salam buat kamu."
Aku mengangguk dan baru menyadari earpods di telingaku sudah terlepas. Mungkin Astro yang melepasnya saat aku tak sadarkan diri.
Astro menggenggam tanganku dan memberi isyarat pada Teana. Teana langsung bangkit dan ke luar untuk memberi kami ruang.
"Tadi papanya Zen ke sini, waktu kamu masih pingsan. Dia dokter di rumah sakit ini. Dia bilang mau ketemu kamu setelah pemakaman, atau besok kalau kamu bisa. Kalau boleh, dia mau ajak istrinya sama Zen juga. Aku temenin, ya?"
=======
NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING, di google play kalian masing-masing karena dia udah MALING novel ini.
TUTORIAL LAPORANNYA BISA KALIAN LIAT DI AKUN FESBUK: NOU. Thank you atas bantuannya ♡
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Kalau kalian mau baca novel nou yang lain, bisa follow akun Wattpad @iamnouveliezte
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-