Tengkurap
Tengkurap
Mobil kami diparkir di luar gerbang dan kami mengendap sambil melihat situasi di dalam halaman dalam gelap. Tak ada mobil lain di sini kecuali mobil yang kami pakai ke bukit dan mobil yang kami tinggalkan di penginapan. Itu berarti siapapun yang datang meninggalkan kendaraannya entah di mana dan berjalan kaki hingga sampai di sini.
Axelle menendang tengkuk laki-laki yang tersungkur kesakitan itu dan mengambil paksa senapan yang masih dipegang olehnya, "Mati aja kamu di sini."
"Ada dua orang di bawah. Hati-hati." terdengar suara Kyle dari earpods. Saat aku mengedarkan pandanganku ke penginapan, dia terlihat di dekat salah satu jendela lantai dua.
Aku dan Astro saling bertatapan dan mengangguk. Kami menoleh pada Ayah dan membagi tugas tanpa suara. Kami akan ke lantai dua, dengan Ayah dan Axelle yang akan menjadi tameng bagi kami.
Mereka bergerak lebih dulu dan mengendap-endap melewati halaman, lalu kami masuk ke ruang tamu yang terlihat berantakan. Axelle memberi isyarat pada kami untuk terus bergerak ke ruang tengah. Sialnya, kami menemui dua orang di tangga yang langsung mengacungkan senapan pada kami.
"Ternyata di sini. Yang di tangan kamu itu bukan mainan, Sayang. Sini kasih ke Om." ujar seseorang dengan tato yang tersenyum lebar saat melihatku sambil menegadahkan tangan.
Aku terdiam dengan senapan terarah padanya. Aku ingin menembak kakinya, tapi dia berteriak dengan suara menggelegar.
"Kelinci kecil kita di tangga!"
Sedetik kemudian terdengar suara tembakan dari lantai dua bersamaan dengan erangan seorang laki-laki, lalu dua tambakan terdengar dan mengenai laki-laki yang sesaat lalu berteriak menyebutku kelinci kecil. Ayah menembak kakinya, sedangkan Axelle menembak lengannya hingga senapan yang dipegang oleh laki-laki itu terpental.
Aku baru saja akan menembak satu orang lain yang beberapa saat lalu berada di tangga, tapi dia berlari ke lantai dua dan tak terlihat lagi setelahnya. Ayah mengamit senapan yang terlontar dan mengajak kami ke lantai dua. Kupikir kami akan mengabaikan laki-laki yang kesakitan di tangga, tapi Ayah menendangnya hingga berguling ke lantai satu dan dia mengerang kesakitan di bawah sana.
Terdengar suara tembakan lain sebelum kami sampai di anak tangga lantai dua. Saat kami sampai, Kyle baru saja menembak laki-laki yang sesaat lalu kabur dari kami. Tepat di pangkal paha yang membuatnya terjatuh dan berguling di lantai. Aku merasa kasihan dengannya karena jika tembakan itu meleset sedikit saja, mungkin akan mengenai alat vitalnya.
"Gimana caranya kamu naik ke lantai dua tanpa lewat tangga?" aku bertanya pada Kyle.
"Lewat pohon kamboja." ujar Kyle sambil memperhatikanku dengan teliti dari atas, ke bawah, lalu kembali. "Mereka nyari Nona. Kita harus pergi dari sini."
Aku baru saja akan mendebatnya karena aku belum menemui Oma dan Ibu, tapi Ayah sudah masuk ke kamar yang aku dan Astro pakai semalam. Aku menyusulnya dan mendapati satu tubuh tergeletak tengkurap di lantai penuh darah, dengan Oma yang sedang memegang sebuah senapan dan terlihat seperti sedang frustasi. Ibu berada di samping Oma, sedang berusaha meminta senapan di tangan Oma. Namun Oma bergeming.
Aku menghampiri Oma dan memeluknya, "Oma? Liat Faza. Ini Faza."
Oma menoleh padaku dan tersenyum dingin yang membuat bulu halusku bergidik, "Dia mati?"
Aku menoleh pada Kyle untuk memeriksa orang yang bersimbah darah. Kyle membalik tubuh laki-laki itu dan terlihat jelas sebuah lubang menganga di dada sebelah kiri karena terkena peluru. Darah segar mengalir dari sana yang berusaha dia tutupi. Dia masih hidup.
"Oma tadi ngambil pistol yang Ibu pegang trus langsung nembak, tapi Oma jadi kayak bingung gini." ujar Ibu sambil mengusap bahu Oma dan terus berusaha mengambil senapan dari tangan Oma, tapi gagal.
"Kita harus pergi dari sini." ujar Kyle sambil menghampiri Oma. "Ayo, Nyonya. Kita harus pastiin kalian aman. Kita harus pergi."
Entah bagaimana Oma justru menurut pada Kyle. Kyle membawa Oma ke luar kamar dan kami semua mengikuti mereka menuruni tangga. Kyle mengamit senapan di tangan Oma dan menyodorkannya pada Ibu.
Ada tiga tubuh yang kami abaikan dan kami lewati sebelum sampai di ruang tamu. Namun saat kami akan ke luar, ada satu orang kekar penuh tato di tubuhnya yang berdiri di halaman. Tepat di sebelah mobil kami yang kami tinggalkan di penginapan ini.
Kyle mendorong pelan tubuh Oma pada Astro dan Ayah sebelum ke luar dengan langkah perlahan. Aku memperhatikannya mengendap di balik pohon melalui jendela hingga sampai di sisi mobil yang lain tanpa disadari oleh laki-laki bertubuh kekar itu.
Kyle mengamit sesuatu dari balik punggung dan menyuntik laki-laki itu tepat di lengan dengan menggunakan inject vet. Aku tahu pasti apa isi inject vet itu karena sudah beberapa kali melihatnya saat kami sedang berada di Bogor. Tak lama, tubuh laki-laki itu rubuh dan Kyle menyeretnya ke tepi halaman.
Kyle memberi isyarat pada kami untuk ke luar. Kami melangkahkan kaki dengan cepat menuju sisinya, lalu menggiring Ibu dan Oma untuk duduk di jok tengah. Sedangkan Ayah mengambil posisi pengemudi, dengan Axelle duduk di sisinya.
Kyle menarik lenganku menjauh ke luar gerbang. Astro mengikuti langkah kami dalam diam dan kami memasuki mobil yang tadi kami pakai ke bukit. Astro menemaniku duduk di jok tengah, sementara Kyle yang akan menjadi pengemudi.
Semuanya terjadi cepat sekali hingga baru sekarang aku mampu bertanya, "Di mana Om Chandra sama Rilley? Harusnya Om Chandra di penginapan kan?"
"Chandra ngejar satu orang ke hutan. Dia sepupunya Abidzar." ujar Kyle tanpa menoleh padaku dan justru fokus menatap ke depan dengan kendali mobil ini di tangannya.
"Sepupunya Abidzar?" Astro bertanya.
"Papanya Gon."
Detakan jantungku yang sejauh ini tak kusadari keberadaannya tiba-tiba muncul. Dia berdetak kencang sekali. Aku tahu aku lah yang mereka cari dan aku tahu siapa yang sebetulnya mencariku.
Aku hampir saja tertawa dan aku menyesal karena tak menembak satu orang pun di penginapan beberapa saat lalu. Sekarang tanganku terasa gatal dan panas.
Mobil kami berhenti tepat di tepi jalan beraspal di tepi hutan saat Kyle malihat seseorang berdiri di sana. Rilley masuk ke mobil kami dan duduk di sebelah Kyle tanpa mengatakan apapun, tapi kedua tangannya berlumuran darah. Kyle menyodorkan sebuah botol berisi air padanya dan Rilley membuka jendela sebelum membasuh tangan dengan air yang mengucur di luar sana.
"Tangan kamu luka?" aku bertanya.
Rilley menoleh padaku, "Ini bukan darah saya, Nona."
Entah bagaimana aku merinding mendengarnya. Aku tahu Rilley tak suka berbasa-basi hingga yang terbayang di mataku adalah entah siapa yang dibunuh olehnya beberapa saat lalu, walau itu hanya sebuah asumsi.
Mobil yang dikendarai Ayah melaju di samping kami. Ayah memberi kami isyarat untuk mengikutinya dan Kyle mengangguk. Mobil kami beriringan menembus kegelapan malam di tengah jalur hutan.
"Oma mau semobil sama Faza." terdengar suara Oma di telingaku.
=======
NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING, di google play kalian masing-masing karena dia udah MALING novel ini.
TUTORIAL LAPORANNYA BISA KALIAN LIAT DI AKUN FESBUK: NOU. Thank you atas bantuannya ♡
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Kalau kalian mau baca novel nou yang lain, bisa follow akun Wattpad @iamnouveliezte
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-