Buruan
Buruan
"Kalian punya bantuan? Kita juga punya!" teriak Abidzar. Sial, ternyata dia masih bisa bicara.
Ada orang-orang lain yang berlari ke arah kami, juga beberapa orang lain berlari menjauh. Aku tak tahu yang mana lawan atau kawan. Deru derap kaki mereka terlalu ramai untuk kukenali tanpa membuka mata.
Terdengar suara teriakan, erangan dan tembakan. Kakiku bahkan sempat terinjak entah oleh siapa dan terasa sakit. Kemudian hening kembali menyergap.
"Lepasin anakku dan aku lepas istri kamu, Jaya!" teriak Abidzar.
Terdengar dua langkah kaki beriringan dan berhenti di satu titik sebelum terdengar suara seorang perempuan menjerit. Jaritan itu seolah membuat mereka saling berjalan menjauh satu sama lain karena saling bertukar tempat.
"Lepasin Oma!" teriak Ibu.
"Hah?! Kalian mau barter nenek tua ini pakai apa? Lagian semua keluarganya udah mati. Lebih bagus kalau nenek tua ini mati juga, kan? Mereka bisa ketemu lagi di kuburan. Hahahahaha!!"
"Kamu gila, Abidzar! Kamu ga perlu sampai sejauh ini!" teriak Ayah.
"Harusnya aku ngambil langkah ini setelah tau anak Abbas sial*n itu masih hidup. Sekarang udah terlambat, tapi ga pa-pa. Anak itu udah mati. Sekarang tinggal nenek tua ini, yang akan nyusul juga."
"Sinting kalian!!" teriak Ibu.
"Udahlah! Lebih baik kalian pergi. Bawa anak kamu yang pingsan itu sekalian. Aku ga butuh dia dan aku anggap urusan kita selesai di sini!"
Terdengar sebuah langkah dan suara terseret sesaat setelahnya. Mungkin itu adalah tubuh Astro yang dibawa menjauh entah oleh siapa. Kemudian ada suara langkah berlari mendekatiku, tepat saat Abidzar berteriak.
"Biarin anak itu di sana! Kalian pergi sekarang sebelum aku berubah pikiran."
"Oh ayolah, anak ini udah mati. Biar kita kubur dia baik-baik." ujar sebuah suara yang kukenali sambil meletakkan lengan dibawah tubuhku. Dia menunduk dan berbisik, "Tembak Abidzar. Dia di arah kaki Faza."
"Taruh anak itu! Aku masih punya urusan yang belum selesai!" teriak Abidzar.
Namun Om Chandra mengabaikan permintaannya. Om Chandra justru mengangkat tubuhku hingga aku bisa leluasa mengamit senapan dari balik punggung dan membuka mata. Om Chandra benar, di arah kakiku berada, hanya ada Abidzar seorang diri di dekat sebuah pohon. Namun Oma ada di pohon di sebelahnya. Sepertinya tempat dia berdiri saat ini adalah tempat Ibu sesaat lalu diikat.
"Sekarang." bisik Om Chandra.
Aku mengarahkan senapan dan membidik ke dada kiri Abidzar. Suara tembakan dan getaran di tanganku karena peluru terlontar membuat adrenalin mengalir ke seluruh tubuhku. Sialnya, peluruku meleset dan hanya mengenai bahu.
Suara erangan keras dan derap langkah kaki berlarian terdengar di sekitarku. Semua orang bergerak melindungi diri mereka sendiri. Hanya Om Chandra yang berdiri bersisian denganku setelah menurunkanku dari lengannya. Kemudian ada seseorang berlari ke arah kami dan sebuah tangan mengamit dan menggenggam tangan kiriku. Astro.
Aku bisa melihat dengan jelas, semua orang berlari dan berlindung di balik pohon atau batu besar. Orang-orang yang tak kukenali sedang saling mengacungkan senjata di balik pohon atau batu. Jika aku tak salah menebak, ada empat pasang kawan dan lawan yang sedang saling mengacungkan senapan sambil berlindung.
Aku mengedarkan pandangan. Ayah mengacungkan senapan ke arah seseorang yang sepertinya adalah orang yang menungguku di hutan dua minggu lalu, begitupun sebaliknya. Sedangkan Ibu dan seseorang yang kukenali sebagai orang yang menumpang di mobil Jian berlindung di balik batu sambil mengacungkan senapan pada seorang laki-laki tua yang kuduga adalah Djoko Pranoto, begitupun sebaliknya.
Donny yang berlindung di balik sebuah pohon sedang mengacungkan senapan ke arah Axelle dan Eboth yang bersembunyi bersisian, begitupun sebaliknya. Sedangkan Kyle dan Jian dengan sigap menghampiri Oma yang terikat di sebuah pohon. Omaku masih hidup dan sedang menatapku dengan sebuah senyum lemah.
Kyle dan Jian membawanya ke arah mobil yang kami pakai ke bukit berjam-jam yang lalu dan berkendara sesaat setelahnya, dengan Jian sebagai pengemudi. Sedangkan Kyle kembali dan menghampiri Ayah sambil mengacungkan senapan ke orang yang menungguku di hutan dua minggu lalu.
Aku mencari keberadaan Abidzar yang sedang mengintip ke arahku dari balik pohon dan melepaskan satu tembakan, "Aku belum mati! Anda mau main-main sama anak sial*n ini sekarang?"
Abidzar meludah dengan keras dan mendesis sambil menggumam entah apa. Dia berusaha mengamit sesuatu dengan tangan kirinya sedangkan tangannya yang lain memegangi lubang di bahu kiri yang mengucurkan darah segar.
Aku berjalan menghampirinya dengan senapan terus terarah padanya dan melepaskan satu tembakan lagi, "Takut sama anak Abbas sial*n ini?!"
Tembakan itu mengenai lengan kirinya yang sedang merogoh sesuatu dan sebuah senapan terjatuh di hadapannya saat dia mengerang. Kemudian terdengar suara sebuah tembakan lain yang mengenai tanah tepat di hadapanku. Aku menoleh ke arah asal tembakan, tembakan itu dari Donny.
"Kamu tau, papa kamu yang bunuh keluargaku dengan bayar orang buat pasang bom di bawah jembatan delapan tahun lalu?!" aku berteriak pada Donny dengan senapan terus ke arah Abidzar. "Papa kamu juga pernah bayar perempuan buat ngerayu ayahku, tapi justru dia yang punya anak dari perempuan itu! Kamu bukan anak satu-satunya, Donny. Kamu punya adik di luar nikah!!"
Donny terlihat terguncang dalam kegelapan malam. Senapan yang sesaat lalu terarah padaku, kini terlihat sedikit turun. Sepertinya dia tak tahu bahwa selama ini dia memiliki seorang adik. Walau sepertinya dia tahu bahwa papanya menyimpan rasa suka pada bundaku.
Aku mengabaikannya dan berjalan lurus ke arah Abidzar yang sedang berusaha mengamit senapan dari tanah. Dia menyedihkan sekali. Tangan kiri yang lengannya terluka tak mampu mengamit senapan hingga dia terpaksa melepas tangan kanannya yang sedang menutupi bahu yang terluka. Aku menembak tepat di senapan yang baru saja akan dia ambil hingga membuatnya menarik tangannya kembali.
Abidzar mundur beberapa langkah tanpa mampu mengamit senapannya di tanah sambil menatapku dengan tatapan jijik. Bahkan di saat tersudut seperti ini pun sikap arogan masih menguasai dirinya. Dia begitu menyedihkan.
"Anda mau ditembak di mana? Jantung atau kepala?" aku bertanya sambil terus berjalan menghampirinya, tapi satu langkah majuku disambut satu langkah mundur olehnya hingga aku sampai di pohon yang memberikan perlindungan padanya dan mengamit senapannya di tanah. "Anda mau pistolku yang nembak atau pistol anda sendiri?"
Tepat setelah pertanyaanku terlontar, Abidzar berlari menjauhiku dengan langkah tertatih walau cukup cepat. Suara tembakan yang bersahutan di telingaku kuabaikan karena mengejar Abidzar yang berada tepat di depan mataku.
Aku bahkan mengabaikan suara Astro yang berlari mengikutiku walau aku mendengar dengan jelas dia melarangku membunuh Abidzar. Namun aku tak akan membiarkan Abidzar lolos kali ini. Aku akan menjadikannya buruan dan membunuhnya seperti dia membunuh keluargaku.
Semua masalahku diawali oleh dirinya dan harus selesai dengan dirinya juga. Di sini. Di hutan angker yang sama tempat dia membunuh keluargaku.
Aku melepaskan satu tembakan untuk memberi Abidzar peringatan, "Mau sampai kapan anda lari ngehindarin anak sial*n ini? Hah?!"
=======
NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING, di google play kalian masing-masing karena dia udah MALING novel ini.
TUTORIAL LAPORANNYA BISA KALIAN LIAT DI AKUN FESBUK: NOU. Thank you atas bantuannya ♡
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Kalau kalian mau baca novel nou yang lain, bisa follow akun Wattpad @iamnouveliezte
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-