Jantung
Jantung
Oma sedang tidur saat kami sampai hingga aku tak tega untuk mengganggu, maka aku membiarkan Oma di ruang rawat seorang diri dan kembali ke ruang tamu. Kakek memang meminta Oma dirawat di ruang super VVIP.
Ruangan ini terasa seperti apartemen bagiku karena memiliki ruangan-ruangan terpisah di dalamnya. Ruangan ini bahkan memiliki sebuah ruangan khusus lain yang berfungsi sebagai kamar tamu. Aku meminta izin pada Astro untuk menempati kamar tamu itu karena ingin lebih dekat dengan Oma.
Kakek dan Om Chandra memberi laporan secara berkala padaku. Semua orang yang kami tangkap sudah diamankan ke markas khusus, sedangkan mayat Abidzar sudah berhasil dievakuasi dari jurang.
Aku hanya berkutat dengan handphone dan laptop sepanjang hari untuk menerima laporan terbaru dari Kakek dan Om Chandra. Sejauh ini keluarga Abidzar sudah menandatangi kesepakatan dengan Pak Bambang. Mereka berjanji tak akan menggangguku atau keluargaku lagi sebagai syarat kebebasan mereka.
Namun Pak Bambang ternyata lebih cerdas dari perkiraanku. Dia menjerat mereka untuk mengakui perbuatan mereka yang melakukan pengejaran padaku berkali-kali sebagai senjata jika terjadi sesuatu di kemudian hari. Dia bahkan berhasil mendapatkan pengakuan bahwa yang mencelakai keluargaku di jembatan bertahun lalu adalah keluarga Pranoto, juga mendapatkan pengakuan bahwa mereka sempat menyekap bundaku di sebuah gedung di perbatasan Semarang.
Menurut informasi dari Om Chandra, awalnya Donny meminta dipertemukan dengan papanya. Namun Om Chandra meminta maaf karena kami kehilangan jejak saat mengejarnya dan baru menemukan mayat Abidzar yang terjatuh di jurang saat matahari sudah muncul. Donny hampir murka pada Om Chandra, tapi Om Chandra memberikan janji dia bisa menemuiku dan Astro beberapa hari lagi untuk mendapatkan penjelasan.
Pemakaman untuk Abidzar dilakukan setelah semua jejak tembakan yang kubidikkan ke arahnya dibersihkan. Mayatnya diberikan pada Djoko Pranoto dan Donny setelah mereka menandatangani kesepakatan denganku dan dikuburkan.
Tepat pukul enam sore saat aku menerima pesan bahwa mayat Abidzar sudah dikuburkan, Oma terbangun. Aku yang sedang menatapi senja dari jendela mendengar suara Oma terbatuk-batuk. Aku segera mendatangi ruang rawat dan duduk di sampingnya sambil mengusap tangannya yang terasa dingin.
"Maaf ya Oma jadi harus dirawat."
Oma menggeleng, "Ga pa-pa. Faza sakit?"
Aku menggeleng sambil mengecup tangan Oma dan menatapnya, "Abidzar mati. Dia ga akan bisa ganggu kita lagi."
Oma terkejut, "Faza ..."
"Dia jatuh ke jurang waktu kabur dari Faza. Faza ga tau kenapa dia ada di sana. Om Chandra yang nemuin."
Oma terlihat lega hingga memejamkan mata sesaat sebelum kembali menatapku, "Oma pikir Faza yang balas dendam. Faza ga boleh balas dendam ya, Faza ngerti?"
Aku bergeming sambil terus menatapi Oma. Padahal di dalam hati aku merasa menyesal karena bukan aku yang membunuh Abidzar.
"Kalau cuma balas dendam, opa bisa lakuin itu dari dulu. Nyatanya opa ga pernah ngelakuin apa-apa, kan?" Oma bertanya sambil mengelus wajahku.
Aku hampir saja mendebat Oma, tapi yang kulakukan justru mengangguk. Bagaimanapun, Oma benar. Opa sudah mengantongi berbagai fakta bahwa Abidzar mengganggu keluarganya berkali-kali, tapi Opa tak melakukan apapun untuk membalas perbuatan Abidzar. Entah aku atau Opa yang bodoh, tapi aku tak akan membahas ini lebih lanjut.
Oma menghela napas pelan dan mengelus wajahku dalam diam hingga aku merebahkan kepala di sisi tubuh Oma. Entah berapa lama waktu terlewat saat Astro datang. Dia membawakan makanan untuk Oma dengan sebuah nampan di kedua tangannya.
"Oma makan dulu ya. Oma kan tadi ga makan siang." ujar Astro sambil meletakkan nampan di meja. Dia meletakkan sebuah kursi di samping tempat tidur Oma dan membantu Oma duduk ditopang beberapa bantal.
"Kamu yang nyuapin, ya? Aku mau manja-manja sama Oma." ujarku.
Astro mengangguk dan mengambil makanan Oma sebelum duduk. Dia menyuapi Oma dengan telaten sekali. Tak terlalu cepat, juga lambat.
"Ada kabar dari Om Chandra?" Astro bertanya.
"Katanya Abidzar udah dikubur. Om Chandra minta kita ketemu Donny. Kamu mau kapan?"
"Terserah kamu aja. Aku temenin kalau kamu siap ketemu Donny." ujar Astro sambil menyodorkan satu suapan lain pada Oma, tapi Oma menolak. "Oma mau bubur kacang hijau?"
"Ga usah. Mulut Oma rasanya aneh."
Astro mengangguk dan meletakkan mangkok di meja, "Oma mau teh atau susu?"
"Teh aja." ujar Oma sambil melepas tanganku untuk mengamit gelas berisi teh dari Astro dan meneguknya. "Kalian harus istirahat. Oma ga perlu ditungguin."
"Faza mau nemenin Oma. Di sebelah ada tempat tidur kok, Faza tidur di situ. Kalau Oma butuh sesuatu bisa panggil Faza, ya?"
Oma mengangguk sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, "Ini pasti kerjaan Arya. Dia berlebihan banget. Padahal Oma ga masalah di ruang rawat yang biasa."
Aku dan Astro saling bertatapan dalam diam. Oma benar, ruangan ini memang Kakek yang memesannya.
"Opa ga pernah mau dirawat di ruangan kayak gini. Pemborosan katanya. Sekarang Oma ngerti."
"Ga pa-pa, Oma. Kan kita jadi leluasa jenguk Oma." ujar Astro.
Oma mengangguk lemah sambil menyodorkan gelas pada Astro, "Sampaiin makasih buat Arya, ya?"
"Nanti Astro sampaiin. Kalau Oma mau makan atau minum sesuatu, bilang ya. Nanti Astro cariin. Oma ga ada pantangan makan kok." ujar Astro sambil meletakkan gelas di meja.
Oma mengangguk dan mengelus puncak kepala kami masing-masing dengan satu tangan, "Kalian ... tau gimana kabar orang yang ... Oma tembak?"
"Dia meninggal. Udah dikubur kok." ujar Astro hati-hati, tapi sepertinya Oma merasa terguncang karena tangannya bergetar.
Aku mengamit tangan Oma dari puncak kepalaku dan menggenggamnya, "Bukan salah Oma. Oma kan cuma ngelindungin diri."
Oma tersenyum dengan sudut bergetar dan ada air menggenang di pelupuk matanya, "Oma ga bermaksud nembak dia di jantung. Oma cuma pengen nembak tangannya. Oma payah banget."
Aku bangkit dan duduk di sisi Oma untuk memeluknya, "Ga pa-pa. Salah dia kenapa bikin masalah sama kita. Oma ga perlu mikirin itu lagi, ya?"
Oma menatapku dilema, tapi mengangguk. Aku mengelap air mata yang meleleh di pipi Oma dalam diam. Mungkin sebaiknya aku memang membiarkan Oma mengelola emosinya sendiri. Lagi pula, Oma pasti lelah sekali karena perjalanan panjang dari Alas Purwo ke rumah sakit ini.
Terdengar suara ketukan pintu. Astro bangkit dan menghilang ke luar ruang inap, tapi kembali dengan Rilley di sisinya.
Aku menatapi Rilley sejak dia masuk ke ruang rawat dan menanyakan keadaan Oma. Selama mereka berbincang, aku hanya diam memperhatikan semua ekspresi wajah Rilley. Aku mengikutinya ke ruang tamu setelah Rilley pamit untuk membiarkan Oma beristirahat ditemani Astro. Aku bahkan duduk tepat di hadapannya sambil menatapnya penuh minat.
"Ada yang Nona butuh dari saya?"
"Bukannya kamu ikut Oma ke rumah sakit ini? Aku tau kamu belum ke luar dari mobil waktu Jian nganter Oma."
"Saya berhenti di tengah jalan."
"Kenapa?"
"Nembak seseorang."
"Abidzar?" aku bertanya dengan nada pelan. Namun Rilley hanya diam dan sepertinya aku sudah menemukan jawaban yang kucari.
=======
NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING, di google play kalian masing-masing karena dia udah MALING novel ini.
TUTORIAL LAPORANNYA BISA KALIAN LIAT DI AKUN FESBUK: NOU. Thank you atas bantuannya ♡
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Kalau kalian mau baca novel nou yang lain, bisa follow akun Wattpad @iamnouveliezte
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-