Buku
Buku
"Dia yang punya toko oleh-oleh yang sering Zen kasih buat Opa, kan? Dia juga punya sentra batik. Zen yang ngasih tau Faza."
Mama mengangguk, "Tapi dia udah pindah. Ga tau ke mana."
"Mama ga tau dia pindah ke mana?"
"Mama ga tau. Dia pernah tiba-tiba pergi ga bilang-bilang dan baru pulang setengah tahun kemudian. Waktu Mama nanya, dia cuma bilang abis keliling nyari inspirasi. Dia emang nyentrik gitu, warna rambutnya aja ganti-ganti terus. Sebentar merah, sebentar biru, kemarin yang paling baru warna coklat."
"Ngomongin tante Ana?" tiba-tiba Zen datang dan ikut duduk di meja makan, tepat di sisi mamanya yang lain.
"Kamu berangkat ke toko oleh-oleh sana. Faza mau berangkat ke Jerman nanti malem." ujar Mama.
"Nanti malem?" Zen bertanya dengan tatapan terkejut yang jelas sekali.
Aku mengangguk, "Tapi ga usah repot-repot. Jogja kan jauh."
"Kunci motor di mana, Ma?" Zen bertanya dan langsung bangkit. Sepertinya dia akan mengabaikan permintaanku.
Aku bangkit dan mengamit lengannya, "Aku serius. Ga usah. Oma sama Ibu udah bawain banyak barang. Kalian ga perlu repot-repot. Kalau kalian bawain barang lagi aku bisa ditahan karena bagasiku ga muat."
Zen bertatapan dengan mamanya dan Mama mengangguk. Zen kembali duduk dan menatapku lekat, "Trus kamu mau ngapain ke sini?"
"Bukan buat minta oleh-oleh kalau itu maksud kamu." ujarku sambil menatapnya sebal dan kembali duduk. "Aku kepo sama temen Mama yang namanya Ana itu."
"Kenapa kepo?" Zen bertanya dengan tatapan menyelidik.
Bagaimana aku harus menjawabnya? Aku tak mungkin memberi tahu mereka tentang dugaanku. Terlebih hasil tes DNA kami belum juga muncul.
"Ana itu temen Mama." ujar Mama dengan tatapan sendu.
"Kalau boleh tau, Mama ketemu dia di mana?" aku bertanya seolah tak tahu data-data mengenai perempuan itu.
Mama terlihat salah tingkah hingga Zen yang bicara, "Kenapa kamu pengen tau? Nanya hal kayak gitu tentang orang yang kamu ga kenal itu ga sopan."
Zen masih sama seperti saat aku pertama mengenalnya. Selalu memaksudkan kata di dalam kalimatnya dan terasa menyebalkan di saat seperti ini.
"Aku pernah ketemu dia sekali di sebelah apartemennya Astro. Apartemen Astro ditempatin sepupunya tiga minggu lalu, tapi sepupunya Astro ngaku didatengin perempuan yang nanya apa apartemen Astro dijual. Sepupunya Astro bilang perempuan itu tau apartemen Astro udah lama ga ditempatin. Dia bener karena aku sama Astro emang lebih sering tinggal di workshop setelah nikah. Sepupunya Astro punya teleskop dan dia liat ada teleskop di apartemen perempuan itu yang ngarah ke apartemen Astro. Aku cari tau ke pihak apartemen perempuan itu, tapi mereka bilang apartemen perempuan itu dijual atas nama Auriana Gayatri dan udah ditempatin sejak Astro mulai kuliah di ITS. Itu temen Mama, kan?"
Mama terkejut hingga pupil matanya bergetar, "Ana punya apartemen di Surabaya?"
Aku mengangguk, "Tolong kasih tau Faza, dia siapa? Dia aneh banget. Katanya mau beli apartemen Astro, tapi berapa hari kemudian justru dia yang jual apartemennya dan sekarang dia ngilang ke luar negeri. Mungkin aja dia ke Jerman dan akan ngincer Astro di sana."
"Ga mungkin. Ana ga gitu. Ana baik banget."
"Kalau gitu tolong kasih tau Faza. Mama ketemu dia di mana? Faza ga mau dibuntutin diem-diem sama orang yang ga dikenal. Faza justru lebih khawatir kalau ternyata dia orang jahat yang manfaatin Mama selama ini buat dapetin info soal Faza atau Astro."
Mama terkejut sekali hingga menutup mulut dengan tangan, "Ana ga mungkin begitu, Sayang."
"Tapi kenyataannya dia udah mata-matain Astro sejak setahun lalu. Faza takut kalau tiba-tiba ketemu dia di Jerman. Zen pernah bilang Faza bisa minta tolong apa aja dan permintaan Faza ga akan ditolak karena Opa udah banyak bantu keluarga Mama. Faza mau minta tolong satu ini aja. Kasih tau Faza, dia siapa?"
Mama menghela napas panjang dan memijat pelipis, lalu bangkit sambil mengamit tangan Zen dan memberi isyarat padaku untuk menunggu. Entah berapa lama, mungkin setengah jam atau lebih saat Mama dan Zen kembali bersama Astro di sisinya.
Zen membawa setumpuk buku yang hampir menutupi setengah wajah. Zen menaruh tumpukan buku itu ke meja makan. Mama mengamit satu sebelum membukanya, lalu menyodorkannya padaku.
Aku menoleh pada Astro yang sedang duduk tepat di sisiku. Dia mengamit buku yang disodorkan oleh Mama dan memperhatikannya dengan seksama. Buku itu adalah buku sketsa motif-motif batik.
"Ini semua Ana yang bikin. Masih ada banyak di rumah ibunya mama di Jogja, tapi ini sketsa awal-awal Ana yang bikin. Sketsanya bukan cuma desain batik, ada banyak yang lain. Pemandangan, orang-orang, sketsa anak kecil, bunga, macem-macem. Semuanya ada." ujar Mama sambil menunjuk pada tumpukan buku. "Ana itu ... pasiennya papa."
"Papanya Zen?" Astro bertanya.
Mama mengangguk, "Papa ketemu Ana di perjalanan pulang dari dinas. Kebetulan waktu itu Mama, Zen sama Liana nginep di Jogja, jadi papa nyusul kita ke sana. Itu udah lama, sekitar delapan tahun lalu. Papa ketemu Ana sendirian tengah malem cuma pakai kemeja sama celana panjang lusuh yang kayaknya ga diganti berhari-hari."
Aku dan Astro saling bertatapan. Namun jantungku berdetak kencang sekali. Kepalaku bahkan berdenyut mengganggu dan telingaku tiba-tiba berdengung entah kenapa.
"Anehnya Ana pakai scarf yang nutupin sebelah muka dan sikapnya waktu ketemu Mama kayak orang bingung. Scarf itu keliatan masih bagus dan baru, jadi waktu papa dateng bawa Ana, Mama sempet mikir Ana mungkin aja nyuri dan Mama nganggep Ana ... orang gila." ujar Mama dengan tatapan sendu. "Mama bilang ke papa, harusnya bawa Ana ke rumah sakit jiwa, tapi papa buka scarf dan ngasih liat muka Ana yang hancur. Bener-bener hancur dari pipi kiri atas sampai dagu. Bibirnya juga kebelah dan lukanya kayak bekas luka bakar. Ternyata scarf itu awalnya hadiah buat Mama, tapi dikasih ke Ana karena ga tega liat bekas lukanya.
"Papa minta Mama bersihin badan Ana dan ngajak Ana makan. Mama pikir Ana akan nolak karena Mama pikir Ana gila, tapi ternyata nurut banget. Kayak anak kecil. Mama mandiin dan gantiin bajunya pakai baju Mama. Mama ajakin makan dan pinjemin kamar di rumah ibunya Mama di Jogja. Mama tanya namanya siapa? Ana cuma diem aja, kayak ga kenal sama dirinya sendiri. Akhirnya papa bawa Ana ke rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan ternyata luka bakar di muka Ana itu karena air keras. Dokter temennya papa yang bantu papa bilang, Ana trauma sampai lupa sama dirinya sendiri. Semacam sengaja ngehapus memorinya sendiri dan kita ga bisa nanya-nanya lebih lanjut Ana kenapa karena khawatir akan bikin Ana tambah trauma."
Aku mengamit tangan Astro dan menggenggamnya. Aku hampir saja menangis, tapi aku menahannya sebisaku. Jantungku terasa hampir melarikan diri dari tubuhku dan terasa panas. Aku tahu akan bisa meledak kapan saja, tapi aku harus berusaha bersikap tenang untuk bisa mendengar semuanya.
"Anehnya Ana pinter bantu-bantu ibu Mama di sentra batik. Dulu ibu Mama punya sentra di tempat yang sekarang jadi toko oleh-oleh. Dia berbakat jualan dan bisa diem berjam-jam bikin desain-desain batik itu, tapi sikapnya tiba-tiba berubah waktu ada anak laki-laki teriak manggil Ana. Dia langsung lari dan ngumpet di semak-semak di belakang sentra kayak orang depresi. Sehari setelah itu Ana ngilang."
=======
NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING & NOVELFULL, di google play kalian masing-masing karena dia udah MALING novel ini.
TUTORIAL LAPORANNYA BISA KALIAN LIAT DI AKUN FESBUK: NOU. Thank you atas bantuannya ♡
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Kalau kalian mau baca novel nou yang lain, bisa follow akun Wattpad @iamnouveliezte
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-