Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Berpisah



Berpisah

1"Eh ada Mas Astro. Sehat, Mas? Lama ga ke sini." ujar seorang perempuan gemuk yang mungkin berumur 50 tahun sambil menatapku penuh minat. "Ini toh istrinya?"     

Astro mengangguk dan tersenyum lebar sekali, "Iya, Mbok. Namanya Faza."     

Perempuan itu tersenyum lebar dan mengusap bahuku berkali-kali, "Cantik. Cocok sama Mas. Mau pesen yang biasa?"     

"Iya, Mbok. Dua ya."     

"Sek yo, agak ngantri. Duduk dulu, nanti dianter."     

Astro mengangguk dan mengamit pinggangku untuk berjalan bersamanya. Lalu menaiki tangga dan mengajakku duduk di meja lesehan di satu sudut dekat jendela. Di lantai ini tak terlalu ramai seperti di lantai bawah, hanya ada dua orang yang duduk di meja yang berbeda.     

Astro membuka seplastik kecil berisi kerupuk dan menawarkannya padaku, tapi aku menggeleng untuk menolaknya. Aku lebih tertarik dengan pembahasan kami tentang Ray dan Denada.     

"Kenapa Denada ga memenuhi syarat?" aku bertanya dengan suara pelan.     

Astro terlihat ragu-ragu, "Kita ga tau Denada beneran masih virgin atau ga. Lagian Denada pernah begitu sama Petra aja udah pasti di blacklist."     

Entah kenapa tiba-tiba ada sesuatu yang dingin di dadaku, mengalir ke setiap aliran darahku.     

"Tapi kalau ga ketauan ga masalah kan?" aku bertanya begitu saja.      

Aku tak yakin akan mendaoatkan jawaban yang kuinginkan. Aku bahkan tak yakin aku akan menginkan jawaban yang terlontar dari bibirnya.     

Astrilo menatapku lekat sebelum bicara, "Kamu ga akan bisa sembunyiin hal semacem itu dari keluarga, Honey. Apalagi Eboth udah ngikutin Denada beberapa hari waktu di Aussie."     

Astaga ... aku melupakan hal itu.     

"Jadi maksud kamu aku diterima jadi menantu karena aku ga pernah begitu?" aku bertanya.     

Astro mengusap puncak kepalaku dan memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Lebih tepatnya, kita ga pernah begitu."     

Aku menatapnya tak percaya. Kami memang tak pernah melakukan hal itu sebelum kami menikah, tapi dia hampir selalu kesulitan menahan diri sejak pindah. Dia bahkan pernah babak belur karena sparring dengan ayah, juga mendapatkan tes dari opa dengan menginap di rumah.     

Jika memang ada peraturan semacam itu, bukankah seharusnya dia lebih berhati-hati dalam bertindak? Aku bahkan masih mengingat dengan jelas raut wajah ayah yang sangat panik dan bertanya apakah aku masih perawan atau tidak saat aku membuka pintu kamar pagi harinya.     

"Denada ga akan punya kesempatan." ujarnya setelah menghabiskan kerupuknya.     

Aku menghela napas, "Aku ga tau ada peraturan kayak gitu."     

"Sekarang kamu udah tau. Percuma kamu jodohin Denada sama Ray."     

Tunggu sebentar....     

"Bukannya Ray dibuang ke Irlandia karena dulu dia nakal?"     

"Tapi Ray ga pernah mainin perempuan. Dia cuma minum alkohol dan main sama temen-temen tongkrongan yang ga jelas. Ray ga gitu lagi sejak balik ke sini."     

"Kenapa kamu ga kayak Ray? Kalian deket dari kecil kan? Bukannya biasanya akan nular walau sedikit?" aku bertanya dengan hati-hati sekali. Aku tak ingin membuatnya tersinggung, tapi dia justru mengelus puncak kepalaku dan mengecup dahuku.     

"Karena kamu." ujarnya dengan senyum tipis.     

Sepertinya aku merasa aku bodoh sekali. Aku menatapnya dalam diam selama beberapa lama, tapi aku masih tak menemukan jawaban yang kucari.     

"Aku?" aku bertanya pada akhirnya.     

Astro mengangguk, "Aku pernah bilang kan dulu aku ngomong apa aja semauku sebelum ketemu kamu. Aku ga enak ngomong kasar lagi karena kamu ga pernah begitu. Kalau aku ga ketemu kamu mungkin aku udah jadi kayak Ray. Aku udah dibuang ke Greenland kayaknya sekarang."     

"Seriously?"     

"Aku serius. Ada alasan kenapa ayah selalu nyuruh aku nemuin kamu tiap aku libur. Ayah tau kamu bisa ngerubah aku."     

Merubahnya dia bilang? Kupikir aku lah yang selama ini banyak berubah karenanya.     

Tiba-tiba aku mengingat perdebatan kami tadi siang. Aku begitu defensif saat mengira dia akan berusaha merubahku. Padahal selama ini aku memang sudah banyak berubah karenanya.     

Aku menatapnya dalam diam selama beberapa lama. Dia masih menungguku bicara, dengan tatapan yang tenang dan mantap.     

"I'm sorry."     

Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Udah sadar sekarang?"     

Aku mengangguk pelan lalu mengalihkan tatapanku ke luar jendela. Entah ada apa denganku. Rasanya beberapa waktu belakangan ini aku begitu mudah tersulut emosi.     

Astro mendekatkan dirinya padaku dan mengecup puncak kepalaku, "Aku ga tau kamu kenapa, tapi kamu selalu bisa cerita kalau ada sesuatu yang ganggu pikiran kamu."     

Aku hanya mengangguk. Aku tak tahu bagaimana harus menjawabnya karena aku pun tak mengerti ada apa denganku.     

Pekerjaanku terasa sebaik yang bisa kuharapkan. Aku selalu berusaha menelepon ma setiap pagi dan berusaha menelepon ibu jika aku memiliki waktu. Aku juga memastikan hubunganku dengan Astro baik-baik saja. Lalu apa yang membuatku menjadi seperti ini? Mudah terbawa emosi benar-benar terasa seperti bukan aku.     

Aku menoleh untuk menatapnya, "Aku masih di masa puber kan?"     

Astro menatapku tak percaya, "Kamu mau pakai alasan pubertas buat emosi kamu yang labil itu?"     

"No idea? Aku kan masih delapan belas tahun."     

Astro menyentil dahiku, "Sebentar lagi umur kamu jadi sembilan belas dan umurku dua puluh."     

Astro benar dan entah kenapa ini terasa menyebalkan. Terasa seperti aku tak rela umurku bertambah tua.     

"Kamu ga bisa bikin robot yang bisa bikin kita tetep muda?" tiba-tiba saja aku bertanya tanpa berpikir lebih dulu.     

"Emangnya kamu pikir ada robot yang bisa bikin kita jadi manusia abadi?"     

Aku tersenyum, "Ga jadi deh. Aku mau liat kamu jadi kakek-kakek. Nanti rambut kamu berubah putih semua kayak opa."     

Astro tersenyum tipis, "Kalau aku jadi kakek-kakek nanti kamu jadi nenek-nenek. Nenek-nenek cantik."     

"Kayak oma?"     

"Kayak nenekku."     

Aku lupa Astro juga memiliki nenek, tapi kedua neneknya sudah tiada. Dan kurasa aku baru mengingat sesuatu.     

"Nenek Pita (istri kakek Arya) dimakamin di mana?" aku bertanya.     

Astro terdiam sesaat sebelum bicara, "Nenek dimakamin deket mension. Di makam keluarga. Kalau kita meninggal nanti, kita dimakamin di sana juga."     

"Apa itu peraturan juga?"     

Astro mengamit tanganku dan mengangguk, "Kamu ga akan dimakamin di samping makam ayah sama adik-adik kamu nanti. Aku minta maaf."     

Entah bagaimana, tapi ada sesuatu yang hangat mengaliri kedua pipiku. Astro mengelapnya dengan jarinya.      

Aku tahu dia benar-benar tulus meminta maaf. Aku hanya ... merasa tak rela jika harus berpisah dengan ayah dan kedua adikku. Terlebih saat aku tak tahu di mana keberadaanku bunda sekarang atau apa yang sedang bunda lakukan.     

Jika memang bunda sudah meninggal, aku ingin sekali tahu di mana makamnya berada. Aku akan memindahkannya ke sebelah makam ayah tak peduli bagaimana pun caranya.     

=======     

Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : iamno     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.