Takdir
Takdir
Astro menatapku lekat, "Coba telpon."
Aku menatapnya tak percaya, "Kamu serius?"
"Biar aku yang ngomong."
Aku menatapnya dalam diam selama beberapa lama sebelum menuruti keinginannya dan menyalakan mode speaker. Zen mengangkat telepon dariku hanya berselang satu dering telepon saja.
"Kalian harusnya udah tidur sekarang." ujarnya. Seperti biasa, dia memaksudkan setiap kata dalam kalimatnya. Dia tahu Astro sedang bersamaku.
"Kamu juga harusnya udah tidur sekarang." ujar Astro.
"Ada apa nelpon jam segini? Kalau mau pamer kemesraan kalian salah jam. Aku lagi di jalan pulang. Udah capek, jadi ga mood ngeladenin kalian."
Aah....
Aku bangkit dan berjalan perlahan menuju kompor. Astro sempat menahan lenganku, tapi aku memberinya isyarat aku bisa melakukannya sendiri.
Astro melepas lenganku dan melanjutkan percakapannya dengan Zen, "Aku ga niat pamer sekarang. Aku cuma mau minta kamu cek boneka kanguru kamu. Di dalem boneka Faza ada alat perekam, mungkin ada alat yang sama di boneka kamu."
Zen terdiam.
Entah bagaimana Astro bisa berpikiran sama denganku, tapi aku bersyukur karena aku tak perlu mengatakannya dengan canggung padanya.
Aku melanjutkan aktivitasku memindahkan nasi ke sebuah mangkuk dan membawanya ke meja makan. Aku kembali untuk menghangatkan lauk dan sayuran yang sudah Astro masak, lalu memindahkannya ke piring.
Aku mengambil dua piring kosong lain dan membawa semuanya di sebuah nampan, lalu meletakkannya di meja makan. Aku baru saja memindahkan nasi ke sebuah piring saat suara Zen kembali terdengar.
"Ada recorder kecil di sebelah alat yang ngeluarin suara kalau dipencet." ujar Zen dengan nada yang terdengar sangat kesal.
Astro memijat pelipisnya sebelum bicara, "Apa yang mama sama kakak kamu mau dari kita Zen?"
"Aku ga tau."
Lalu hening hingga aku menaruh piring yang sesaat lalu kupegang. Aku mengamit tangan yang memijat pelipis Astro dan memeluk kepalanya di dadaku.
"Aku cari tau dul ..."
"Opa bantu kamu waktu kamu bikin kafe kan? Mama sama kakak kamu pasti tau opa bantu kamu." ujar Astro untuk memotong kalimat Zen.
"Mereka tau, tapi keluargaku bukan tipe keluarga matre, kalau itu maksud kamu. Papaku dokter, kita cukup berlebihan soal materi. Opa bantu aku bikin kafe karena pengen ngajarin bisnis ke aku." ujar Zen dengan nada tersinggung.
Saat hening menyebar di antara kami, aku tahu percakapan ini hanyalah jalan buntu. Sebetulnya aku sudah bisa menduganya. Yang membuatku penasaran adalah kenapa Zen? Saat ada banyak orang lain yang bisa menjadi pilihan untuk dibantu. Namun kurasa hanya opa yang bisa menjawabnya.
"Sorry udah ganggu kamu, Zen. Kamu bisa kabarin aku kalau kamu udah nemu alasan kenapa mama sama kak Liana bersikap kayak gini. Jujur aja, mereka bikin aku bingung dan aku pengen tau kenapa." ujarku.
Zen tidak menjawabku.
"Kita mau istirahat sekarang. Kamu juga bilang kamu capek. Jadi telponnya aku matiin ya."
"Sebentar." ujar Zen tiba-tiba dan terdengar helaan napas panjang di ujung sana. "Aku minta maaf keluargaku selalu ganggu kalian. Aku udah bilang aku udah nyerah, tapi mama sama kak Liana ga pernah nanggepin. Aku tau mereka ga niat bikin kalian pisah. Mungkin mereka cuma pengen kalian tau aku juga suka sama Faza. Aku tau emang telat banget bilang begini. Kalian juga udah nikah beberapa bulan lalu, tapi aku minta maaf kalian ngerasa keganggu."
Aku menatap Astro lekat. Dia juga sedang menatapku seperti aku menatapnya. Aku mengangguk padanya sambil mengelus rambutnya perlahan.
"Okay. Kamu cari tau informasi soal mama sama kakak kamu. Kamu bisa kabarin aku." ujar Astro dengan tenang dan mantap. "Aku mau, kamu cuma kontak Faza buat urusan kerjaan kalian ke Donny. Buat urusan lain kamu chat atau telpon aku aja. Nanti aku yang sampaiin ke Faza."
Zen terdiam sesaat sebelum menjawab, "Kalau itu mau kamu. Okay."
"Alat perekam di boneka kamu bisa kamu buang kalau kamu mau. Kalau kamu mau simpen, terserah kamu. Jujur aja aku punya firasat jelek soal kakak kamu."
"Udah aku buang di jalan."
"Bagus. Aku matiin telponnya."
Lalu sambungan telepon kami terputus begitu sama. Aku menghela napas perlahan. Aku tahu percakapan kami aneh sekali.
Bagaimana mungkin kami meminta Zen memberitahu apa rencana mamanya dan kak Liana sementara mereka adalah keluarganya? Sepertinya kepalaku mulai berdenyut sekarang.
Astro memelukmu lebih erat dan membenamkan wajahnya di dadaku, "Mereka aneh banget."
Aku hanya menggumam mengiyakan sambil mengelus rambutnya yang masih basah. Aku pun memiliki pendapat yang sama. Aku mengamit dagunya untuk memintanya menatapku, "Kita harus makan sekarang. Kerjaan kamu udah nunggu, deadline kamu juga belum selesai. Ga usah pikirin soal Zen dulu, okay?"
Astro mengangguk ragu-ragu, tapi melepas pelukannya padaku dan memintaku duduk di sebelahnya. Dia bangkit dan membantuku mengambil porsi makanan untuk kami berdua. Kami makan dalam diam walau aku tahu dia masih memikirkan mama Zen dan kak Liana.
Aku mengelus lengannya saat dia mengankat semua piring kotor dari meja, "Besok aja cuci piringnya. Ini udah malem banget. Aku temenin kamu kerja ya. Mau kerja di kamar atau di studio?"
"Di studio?"
Aku hanya mengangguk dan membantunya membereskan semua sisa makanan yang ada. Kami beranjak ke lantai dua dengan tangan saling menggenggam. Genggaman tangannya terasa hangat dan nyaman, seperti yang selalu kuingat.
Astro memintaku menunggu di studio sementara dia mengambilkan laptopku di kamar. Dia duduk di sofa di sampingku untuk mulai mengerjakan semua pekerjaan dan deadlinenya.
Aku melirik jam di sudut laptopku yang baru saja menyala, pukul 23.19. Sudah laut sekali.
"Kerjanya sampai jam setengah dua aja ya. Kita harus istirahat." ujarku sambil mengelus rambutnya yang masih lembab dan menguarkan aroma green tea.
Astro mengangguk dan mengecup dahiku, "Kalau kamu ngantuk tidur aja ya. Nanti aku gendong ke kamar."
Aku hanya menggumam mengiyakan, lalu kami mulai berkutat dengan pekerjaan kami yang tertunda. Walau aku sedang bekerja, aku justru berpikir andai saja aku tak pernah bertemu kak Liana atau mamanya. Mungkin masalah ini tak akan pernah ada. Lagi-lagi aku tak yakin dengan ke mana takdir akan membawaku.
Aku pernah mempertanyakan tentang takdir saat aku merasa ragu untuk menikah dengan Astro atau menunda niatku. Namun aku bertemu Nino, yang memberiku pelajaran bahwa tak ada yang kebetulan yang terjadi di dunia ini.
Lalu sekarang, kenapa aku mendapatkan kesulitan dengan kak Liana dengan mamanya? Sementara Zen dengan jelas berkata sudah melepasku dan hanya membutuhkan waktu membuka hatinya untuk perempuan lain.
Andai bunda ada di sampingku saat ini, apa yang akan bunda katakan padaku?
=======
Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..
Regards,
-nou-