Tumpangan
Tumpangan
Aku merasa buruk dengan diriku sendiri karena dia mengabaikanku. Aku bahkan belum mengatakan apapun tentang rasa nyeri yang kurasakan. Juga tentang betapa aku merasa bersalah karena aku belum bisa memberikannya seorang bayi yang dia inginkan.
Kami memang saling membantu memilih barang belanjaan, tapi hanya dengan isyarat. Ini benar-benar terasa menyebalkan.
Aku menghempaskan tubuh di kursi sebelah kemudi dan membiarkan Astro yang membereskan belanjaan kami. Aku sempat memperhatikannya mengatur semua barang di bagasi dari spion tengah sebelum memejamkan mata. Tubuhku terasa lelah sekali. Mungkin aku akan langsung tidur jika kami sampai di rumah rahasia kami.
Aku sudah membeli obat yang mengandung ibuprofen jika rasa nyeri di perutku tak juga pergi. Juga membeli jahe dan madu lebih banyak dari biasanya.
Aku bisa merasakan mobil bergerak, tapi aku memilih untuk tetap memejamkan mata. Entah kenapa ini terasa lebih baik. Mungkin aku akan menuruti saran Putri dan Kyle untuk beristirahat sampai tubuhku terasa lebih baik.
Aah bagaimana dengan Denada?
Aku belum mendapatkan kabar darinya atau pun dari Kyle. Aku sengaja mengaktifkan nada dering jika salah satu dari mereka menelepon atau memberiku pesan, tapi handphoneku tak berbunyi sejak tadi.
Denada tak mungkin pingsan selama ini. Ini udah berjam-jam berlalu sejak Kyle meneleponku. Kemungkinan yang terjadi adalah Denada menolak untuk bicara padaku. Namun kenapa Kyle tak juga memberi kabar? Kyle seharusnya mengabariku bagaimana keadaan mereka secara berkala. Kyle pasti tahu aku sangat mengkhawatirkan Denada.
Seseorang muncul berkelebat menghampiri indra penglihatanku. Perempuan?
Bukan.
Itu adalah seorang anak laki-laki.
Aku menghampirinya dan menepuk bahunya perlahan. Dia menoleh padaku dan tersenyum. Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi di mana?
Aku mencoba bertanya, tapi tak ada sedikit pun suara yang keluar. Aku memegang leherku dengan penuh tanda tanya. Apa yang terjadi? Aku tak mungkin tiba-tiba menjadi bisu, bukan?
Tiba-tiba anak laki-laki itu menghilang. Aku mengedarkan tatapanku ke sekelilingku, tapi yang terlihat hanya gelap.
Sebetulnya aku sedang berada di mana? Apa yang kulakukan di sini? Kenapa aku sendiri? Bukankah aku tadi sedang bersama Astro?
Aku bisa merasakan tubuhku melayang. Apakah aku sedang terbang? Ke mana? Untuk apa? Lalu hening yang terasa seperti selamanya.
Saat aku membuka mata, yang kulihat adalah langit-langit kamar rumah rahasia kami. Dengan dinding berwarna maroon yang sudah familiar bagiku.
Perutku terasa nyeri. Aku memeganginya dan meringkuk ke samping untuk menahan rasa sakit. Ada satu buket bunga lavender dengan tujuh bar coklat almond kesukaanku bertumpuk rapi di atas meja kecil di samping tempat tidur.
Aku tahu aku sedang tersenyum. Aku tahu aku sedang merasa sangat senang, tapi ini aneh sekali hingga senyum dan rasa senangku menguap tiba-tiba. Aku tak mengingat apapun tentang membeli bunga lavender dan coklat saat di supermarket tadi. Aku dan Astro hanya berbelanja kebutuhan kami. Lagi pula, di supermarket itu tak ada bunga lavender.
Astaga ... aku pasti tertidur saat perjalanan pulang kami dan Astro yang menggangkat tubuhku ke kamar. Di mana Astro sekarang?
Bukankah dia sedang sangat kecewa padaku karena aku sedang menstruasi? Dia bahkan mengabaikanku sejak aku memberitahunya tentang hal itu. Kenapa dia membelikanku satu buket bunga lavender dan coklat almond kesukaanku jika dia memang kecewa padaku?
Aku memaksa tubuhku bangkit walau rasa nyeri di perutku masih terasa. Aku harus mencarinya untuk bertanya.
Aku hampir saja berjalan untuk menuruni tangga saat melihat sosoknya sedang duduk di sofa studio. Dia sedang menatapi layar laptop dan mengetik dengan cepat, dengan tumpukan berkas dan sebuah cangkir di sebelahnya.
Astro menoleh padaku saat aku berjalan menghampirinya, dengan jari masih mengetik dengan cepat tanpa melihat layar. Tatapan matanya mengikuti gerak langkahku hingga aku duduk di sebelahnya.
Aku menatapnya lekat. Namun tak bisa menebak apakah dia sedang marah padaku, atau kecewa, juga senang. Karena tatapannya terlihat tenang sekali. Seperti tak ada apapun yang terjadi di antara kami sebelum ini.
Astro mengalihkan tatapannya kembali ke laptop tanpa mengatakan apapun padaku. Apakah dia beniat akan mengabaikanku selamanya? Hatiku terasa sakit sekali melihatnya mengalihkan tatapannya dariku.
Aku bangkit dan berjalan dengan langkah panjang dan cepat untuk menuruni tangga. Aku mengabaikan rasa nyeri di perutku dan keluar dari rumah, menuju mobilku. Aku baru saja akan membukanya, tapi aku lupa dengan kunciku. Sepertinya kunci mobilku masih bersama Astro.
Aku melanjutkan langkah keluar gerbang, lalu menutupnya kembali. Aku berniat akan berjalan menuju gerbang utama perumahan yang berjarak jauh sekali jika aku berjalan kaki.
Aku harus melewati gerbang cluster lebih dulu dan melewati cluster lain karena clusterku berada di ujung paling belakang sebelum sampai di gerbang utama di depan sana. Namun aku akan menempuhnya. Tak peduli berapa lama aku akan sampai. Aku hanya ingin pergi.
Aku memasukkan kedua tangan ke saku jaket yang kupakai. Handphone dan dompetku tak ada di sana. Kurasa jam tanganku pun telah dilepas. Mungkin Astro yang mengambilnya dan meletakkannya entah di mana, tapi aku tidak menyadarinya.
Aku menghela napas dengan keras sambil terus berjalan. Senja hampir menghilang dan hari hampir gelap. Dalam banyak kesempatan, aku sangat suka senja. Begitu cantik, terlihat hangat. Seperti sedang menemukan sesuatu yang hilang, kembali padaku. Mungkin itulah yang saat ini sedang ingin kucari : menemukan sesuatu yang hilang. Entah ke mana.
Aku tak yakin apakah Astro akan mencariku. Sejak aku keluar gerbang aku tak mendengarnya memanggil namaku. Aku pun tak ingin menoleh hanya untuk sekadar melihat. Aku tak ingin merasa kecewa jika benar tak ada Astro di belakangku.
Area perumahan ini sepi. Hanya ada beberapa mobil yang lalu lalang karena hari hampir malam. Aku baru saja melewati gerbang utama saat matahari benar-benar tenggelam, tapi masih menyisakan sedikit cahaya yang perlahan menghilang.
Aku menghentikan langkah. Aku sudah sampai di gerbang utama perumahan. Setelah ini, aku akan ke mana?
Aku menghela napas, lalu berbelok mengikuti arah kendaraan yang lewat. Di depan sana ada beberapa restoran dan rumah makan kecil, tapi dompet dan handphoneku sedang tidak bersamaku. Akan percuma jika aku memesan sesuatu walau kurasa perutku mulai lapar.
Sepertinya aku sudah berjalan cukup jauh dari gerbang utama perumahan karena area ini mulai terlihat padat dengan berbagai ruko kecil dan rumah-rumah yang berderet di sisi jalan. Aku baru saja akan menghentikan langkah dan duduk di salah satu halte karena kakiku terasa lelah, tepat saat seseorang menepuk bahuku.
Dalam sedetik waktu yang terlewat, aku membayangkan Astro dengan motornya. Namun laki-laki itu bukan dia.
Dia melepas helm yang dipakai dan tersenyum, "Kamu temennya Jeanny kan? Kemarin aku liat kamu jalan kaki bareng Jenny sama Jojo keluar kampus. Kamu butuh tumpangan?"
=======
Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..
Regards,
-nou-