Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Angin



Angin

2Aku menggeser tubuh dan mengintip untuk melihat siapa yang sedang bertanya. Seorang laki-laki sedang memegang selembar kertas yang tak terlihat olehku. Namun laki-laki itu bukan Jian, juga bukan Astro. Entah apa yang kuharapkan dan entah kenapa aku merasa kecewa.     

Aku lah yang tak ingin diikuti, kenapa aku ingin ditemukan? Aku bahkan belum menemukan sesuatu dari diriku yang hilang. Kemana aku harus mencarinya?     

Aku membenahi posisi berbaringku. Kali ini telentang menghadap ke dahan pohon yang menghalangi pandanganku ke langit malam, dengan kedua kaki tertekuk karena tak ada cukup ruang.     

Sepertinya laki-laki yang mencari seseorang tadi sudah pergi dan sekumpulan laki-laki di bawah sana sedang membicarakan tentang sebuah game baru. Aku bisa menebak mereka sedang mabar (main bareng) saat ini.     

Aku baru mengingat Astro tak pernah bermain game lagi. Terakhir aku melihatnya bermain sepertinya adalah sebelum kami sibuk mempersiapkan kelulusan SMA kami hampir setahun yang lalu. Astro bahkan sudah tak pernah membeli action figure baru.     

Aku mengangkat sebelah tanganku dan berusaha menggapai sesuatu. Sesuatu yang tak ada di hadapanku, tapi hatiku terasa sakit.     

Tiba-tiba terasa hening. Mungkinkah sekumpulan laki-laki di bawahku sudah pergi? Atau justru sedang sibuk bermain game online hingga tak mengatakan apapun? Namun aku terlalu malas untuk menengok. Aku lelah.     

Aku menurunkan tangan dan memeluk diriku sendiri, lalu memejamkan mata. Entah kenapa aku merasa jauh lebih tenang selama beberapa lama.     

Hingga kupikir ada angin sedang membelai rambut di dahiku, tapi sepertinya bukan. Angin malam akan terasa dingin, tapi belaian di dahiku terasa hangat.     

Aku membuka mata. Aku baru menyadari kakiku terjatuh hingga menggantung setengah tanpa ditopang oleh papan.     

Kepala yang menguarkan aroma green tea mendarat di bahuku, "What are you doing here (Lagi ngapain kamu di sini)? Aku nyariin kamu kemana-mana."      

Sebelah tangannya memeluk kedua lengan yang memeluk tubuhku, sedangkan sebelahnya lagi mengelus puncak kepalaku. Bahuku mulai terasa basah. Aku membuatnya menangis.     

Aku meloloskan sebelah tanganku dan mengelus rambutnya perlahan. Tak ada kalimat yang terucap karena aku terlalu lelah untuk memikirkan apapun.     

Astro mendongkak dan menatapku, "Kita pulang, ya?"     

Aku mengusap air yang membuat wajahnya lembab, tapi aku menggeleng. Entah kenapa tiba-tiba aku tak ingin beranjak ke mana pun.     

Astro menatapku dengan tatapan sendu, "Kamu laper kan? Kita cari makan."     

Aku hanya menggeleng.     

Astro menghela napas, "Kamu mau ke mana? Aku anter. Aku bawa helm kamu. Kamu capek kan jalan kaki jauh."     

Aku hampir saja berkata aku belum menemukan apa yang sedang kucari. Namun aku membatalkannya karena kurasa aku tak akan menemukannya jika aku tak tahu ke mana aku akan pergi atau ke mana aku harus mencari.     

Astro menggenggam tanganku yang sedang mengelus rambutnya dan mengecupnya tepat di cincin pernikahan kami. Ada bulir air mata lolos dan mengalir di tanganku.     

"Jangan pergi sendiri lagi. Aku pikir kamu cuma mau ke dapur, tapi kamu ga balik ke studio. Aku nelpon Jian, tapi Jian bilang kamu ngilang. Aku panik liat hape sama dompet kamu ada di kamar.     

"Aku keliling cari kamu keliling Surabaya. Aku nanya ke semua orang di jalan. Aku pikir kamu nekat pulang ke rumah opa. Aku udah pesen tiket pesawat pulang besok pagi kalau aku ga nemu kamu malam ini, tapi kamu malah di sini. Sendirian, kelaperan, kedinginan, kamu juga capek kan?"     

Tiba-tiba sesuatu yang hangat mengaliri aliran darahku. Aku baru menyadari hanya kalimat khawatir darinya lah yang kuinginkan. Dan aku mencarinya dengan berjalan kaki sejauh ini.     

"Kamu pikir aku ga akan khawatir kamu tiba-tiba pergi begini? Kamu pikir lucu ya bikin aku nyari kamu keliling Surabaya? Kamu tau ga sekarang jam berapa?"     

Entah kenapa dia terlihat lucu bagiku. Coba lihat ekspresinya. Dia baru saja akan mengatakan sesuatu saat aku memotong ucapannya lebih dulu.     

"Kenapa kamu cuekin aku? Kamu ga tau rasanya sakit dicuekin begitu?"     

Astro menatapku dengan tatapan putus asa, "Kamu kan bisa ngomong duluan."     

Astaga ... yang benar saja?     

"Aku nunggu kamu ngomong duluan." ujarnya tiba-tiba.     

Aku hampir saja mencubitnya, tapi aku membatalkannya. Mencubitnya akan percuma. Laki-laki di hadapanku ini lihai sekali berpura-pura.     

"Kamu pikir dengan kamu beliin aku bunga dan coklat trus masalah kita selesai kalau kamu ga ngomong apa-apa? Aku bukan anak kecil yang bisa disogok gitu aja." ujarku penuh rasa kesal.     

Astro terdiam.     

Aku memaksa tubuhku bangkit dan duduk. Aku hampir saja memutuskan untuk melompat ke bawah, tapi rumah pohon ini tinggi sekali. Aku akan melukai diriku sendiri jika aku nekat melakukannya.     

Aku menoleh untuk menatapnya. Aku baru menyadari selama ini dia menopang tubuhnya dengan potongan kayu yang dipaku sebagai tempat berpijak untuk naik ke atas pohon. Sekarang dia sedang berusaha naik dan duduk di sebelahku.     

Astro menggenggam tanganku dan menatapku lekat, "Aku pikir kamu pasti suka. Aku ga niat nyogok. Aku kan ga pernah begitu."     

Aah laki-laki ini benar-benar....     

"Aku emang kecewa kamu ga hamil. Aku cuma belum bisa terima waktu kita masih belanja, tapi liat kamu tidur di mobil kamu pasti kecapekan. Mungkin ... emang belum waktunya kita punya bayi. Aku bisa terima."     

"Kenapa kamu diem aja waktu aku ke studio?"     

"Aku ... ga tau mau ngomong apa."     

Aku menatapnya tak percaya. Seorang Astro yang begitu pandai berkelit, begitu lihai menggunakan kalimat persuasif untuk membuat orang lain menuruti keinginannya, baru saja berkata dia tak tahu apa yang harus dia katakan.     

Aku benar-benar tak ingin mempercayai pendengaranku. Namun aku tahu aku mendengarnya dengan baik, dalam setiap kata yang dia ucapkan.     

"Aku ga mungkin tiba-tiba bilang aku bisa terima kamu ga hamil waktu kamu baru aja bangun tidur. Itu aneh banget, kamu tau?"     

Aku menatapnya tak percaya, "Kamu kan bisa bilang yang lain. Kamu selalu pinter ngomong selama ini. Bilang kamu cinta aku atau ap ..."     

Tiba-tiba saja dia meraih tengkukku dan mengecup bibirku, "Aku kangen banget."     

Aku terdiam.     

"Aku hampir aja nelpon Kyle minta dia pulang sekarang. Bagus aku masih bisa mikir lurus sampai sekarang. Kamu ga tau gimana ngaconya pikiranku nyariin kamu berjam-jam keliling Surabaya. Aku hampir aja gila."     

Sepertinya kalimatnya yang baru saja dia lontarkan padaku adalah jujur. Tatapan sendu dan bersalah di matanya juga terlihat tulus.     

Astro mengelus pipiku perlahan, "Jangan begini lagi, ya?"     

Aku masih terdiam.     

Astro mendekap kepalaku di dadanya dan mengecup dahiku sambil bicara, "Please, Honey. Jangan begini lagi."     

Suaranya bergetar dan setetes air matanya mengaliri dahiku. Aku benar-benar membuatnya menangis.     

=======     

Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : iamno     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.