Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Bukit



Bukit

0Batu nisan penanda makam berderet di tengah hutan karet yang terlindung dari pandangan orang luar. Besar-kecil, tinggi-pendek, beragam bentuk tergantung pilihan dari keluarga yang ditinggalkan. Daun kering dari pohon karet berserakan menutupi tanah makam yang terlihat suram walau tersusun rapi.     

Aku menahan napas saat membayangkan aku akan berada di salah satu deret makam ini suatu hari nanti. Tanpa Ayah, kedua adikku, Opa dan Oma, juga mungkin tanpa Bunda.     

Astro menggenggam tanganku lebih erat dan menarikku lebih dekat padanya. Dia yang membimbing langkah menuju satu nisan paling ujung. Nisan kecil dan ramping yang bertuliskan "Pitaloka" saat kami sampai di depannya.     

"Makam nenek?" aku bertanya walau aku tak mengharapkan jawaban.     

Astro menggumam mengiyakan, "Lahan di sebelah sengaja dikosongin buat kakek Arya."     

Entah bagaimana tiba-tiba aku bergidik dan jantungku berdetak lebih kencang. Aku membayangkan lahan kosong di sebelah makam Ayah, yang mungkin untuk Bunda. Kurasa aku tahu kenapa Astro bisa dengan mudah menebak Bunda masih hidup sampai sekarang atau tidak.     

Aku mengikuti Astro duduk bersila menghadap makam neneknya, lalu menatap makam di sebelah makam nenek Pita, tertulis "Perwira Wisesa". Itu pasti makam Kakek Wira.     

Aku mengelus jari Astro dalam diam sambil mengedarkan pandanganku. Aku tidak merasa takut atau khawatir. Namun menatap deretan batu nisan disela kabut tipis pagi buta dengan cahaya remang-remang membuat hatiku disergap rasa sepi.     

"Kamu mau tau gimana nenek Pita meninggal?" tiba-tiba saja Astro bertanya.     

Aku menoleh padanya, "Gimana?"     

Astro menatapku lekat, "Nenek sakit Alzheimer beberapa tahun. Meninggalnya beberapa bulan setelah aku lahir. Aku sama sekali belum pernah ketemu."     

Aku mengelus wajahnya perlahan. Dia memang terlihat tenang, tapi ada sedikit semburat kesedihan di tatapan matanya.     

Astro mengalihkan tatapannya ke makam neneknya dan menatapnya dengan tatapan sendu, "Ayah ngabisin banyak waktu sama nenek sampai ga sempet nemenin ibu waktu ibu hamil tua atau sekadar bantu ngurusin aku di awal-awal aku lahir. Ibu sempet stress waktu itu."     

Apakah itu sebabnya Ibu kesulitan mengelola dirinya sendiri setelah melahirkan Astro? Ibu pernah bercerita padaku Ibu pernah merasa tak tahu harus melakukan apa padahal ada orang lain yang membantunya mengurus Astro saat masih bayi.     

"Aku ga bisa nyalahin ayah karena yang ayah lakuin demi kepentingan nenek, tapi sempet kesel juga waktu tau itu alasan aku jadi ga punya adik." ujarnya dengan senyum tipis sambil menoleh padaku. "Seru kan punya adik?"     

Aku tersenyum dan mengangguk. Memang menyenangkan memiliki adik. Aku selalu mencari cara membuat ulah untuk menggoda Fara dan Danar saat mereka masih hidup. Aku selalu mendapatkan tatapan tajam dari Bunda jika aku terlalu kelewatan saat bercanda atau membuat mereka menangis.     

Aku bisa mengerti Astro merasa kesepian karena dia adalah anak satu-satunya. Di antara semua saudara sepupunya, dia lah yang paling muda. Aku memang sempat mengira Teana seumuran dengan kami saat pertama kali aku ke mansion karena dia terlihat imut, walau sebetulnya Teana ternyata beberapa tahun lebih tua dibandingkan kami.     

"Aku ga keberatan punya anak banyak, tapi nanti kalau kuliahku selesai. Mm ... atau kalau aku udah ngerasa siap jadi bunda."     

Astro mengelus puncak kepalaku dan meletakkan kepalaku di bahunya, "Nanti aku tagih. Awas kamu nanti kalau ga nepatin omongan kamu."     

Entah kenapa ini terasa lucu hingga aku tak dapat menyembunyikan senyum di bibirku. Terlebih, menatap makam dengan suasana hati yang baik terasa aneh untukku.     

"Semua keluarga dimakamin di sini? Maksudku ... semua keturunan kakek Indra."     

"Cuma keluarga keturunan yang warisin tombak. Keluarga om Ganesh sama tante Lusi ga akan dimakamin di sini nanti."     

Begitukah?      

Kurasa itu menjelaskan kenapa makam ini tak terlalu ramai. Jika semua keturunan Kakek Indra dimakamkan di sini mungkin batu nisan yang berada di area ini akan ada empat atau lima kali lebih banyak.     

"Kita balik ke mansion sekarang ya. Kita ga bisa lama-lama di sini. Kita harus sarapan, trus ngobrol sama kakek." ujarnya sambil mengajakku bangkit.     

Aku hanya mengikuti apa yang dia putuskan dan berjalan dalam diam menuju ke arah mansion sambil terus menggenggam tangannya. Untuk sampai ke area makam ini dari arah mansion, kami melewati tepi sungai berarus cukup deras. Astro mengambil sisi yang dekat dengan sungai sambil memeluk pinggangku seolah sedang menjagaku agar tidak terjatuh saat kami menuju ke area makam ini.     

Setelah itu kami melewati hutan karet sepanjang beberapa puluh meter lebih dalam. Aku sempat melihat beberapa bukit kecil tertutup semak dan tanaman liar dalam perjalanan kami kesini dan aku melihat bukit-bukit itu lagi saat ini.     

Aku menatap setiap gundukan bukit kecil itu penuh minat. Jika aku sedang melihatnya bersama Fara, kami pasti sudah menari tanpa arah di atas bukitnya dan bercerita panjang lebar tentang apa yang akan kami lakukan keesokan hari di bukit itu.     

"Bukit-bukit itu bukan markas rahasia kan?" aku bertanya begitu saja tanpa berpikir lebih jauh sambil menatap bukit-bukit yang kumaksud.     

Tiba-tiba saja langkah Astro terhenti, yang membuatku menghentikan langkahku dan menoleh padanya. Dia sedang menatapku dengan tatapan tak percaya.     

"Kenapa berhenti? Kenapa kamu liatin aku begitu?"     

Astro terdiam selama beberapa lama, lalu mengalihkan tatapannya ke salah satu bukit kecil yang ada. Langkah kakinya menuju ke sana dan aku mau tak mau harus mengikutinya. Banyak semak liar tumbuh menghalangi langkah kami, tapi aku menyadari ada jalan setapak yang terbentuk tipis menuju balik bukit yang sedang kami tuju.     

"Seriously?" aku bertanya dengan jantung yang berdetak kencang.     

Astro masih terdiam sambil menatap mantap ke arah depan, dengan genggaman tangannya yang erat di tanganku. Namun justru membuat sesuatu yang dingin menjalar di tengkukku dan sesuatu yang hangat menjalari setiap langkah kaki kami.     

Astro menyibakkan ilalang yang cukup tinggi di satu sudut bukit yang tak terlihat oleh mataku sebelum ini, lalu sebuah pintu kecil terpampang di depan mataku. Pintu kayu pendek yang hanya setinggi pinggangku, dengan kenop pintu kuno berbentuk bulat artistik tanpa lubang kunci.     

Astro membuka kenop pintu dengan hati-hati dan mengajakku masuk dengan membungkukkan tubuh kami. Di luar dugaan, di dalam sini kami bisa berdiri dengan leluasa walau sedikit pengap dan lembab.     

Astro masih menggenggam tanganku dan mengajakku masuk lebih dalam. Dia mengambil sebuah korek dan menyalakan lampu sentir jaman dulu (lampu minyak, biasanya diisi minyak tanah sebagai bahan bakar). Terpampang lah ruangan besar di sekeliling kami dengan pintu-pintu tertutup yang entah mengarah ke ruangan apa.     

Aku hampir saja memekik saat melihat sekelilingku, tapi aku menahannya dengan menutup mulut dengan tangan. Aku justru menatap Astro dengan tatapan takjub setelah puas mengedarkan pandangam dan menatapi ruangan luas beraksen kuno khas jawa jaman dulu.     

"Feeling kamu selalu bagus, kamu tau?" ujarnya sambil menatapku lekat di sela cahaya temaram dari lampu sentir yang dipegangnya.     

Aku terpaku sambil terus menatapnya. Aku tak dapat mengatakan apapun walau hanya satu kata.     

"Cuma yang pegang tombak yang tau tempat ini. Keluarga om Ganesh sama tante Lusi ga tau apa-apa." ujarnya dengan tenang dan mantap. "Aku diajak ke sini sama ayah ga lama setelah aku terima modal keluarga. Ayah bilang ini tempat sembunyi kakek Indra waktu jaman penjajahan dulu. Kadang dipakai sama ayah kalau butuh ngobrol berdua sama kakek."     

Aku hanya mendengarkan penjabaran Astro sambil mengikuti pergerakan langkah kakinya melalui ruangan dan membuka pintu menuju ruangan lainnya. Ruangan itu adalah sebuah kamar berisi tempat tidur dan lemari tua dari kayu jati yang masih terlihat kokoh, juga ada sebuah meja dan kursi.     

Astro mengajakku melihat ruangan lainnya. Ada dua kamar yang lain, satu lumbung makanan dan satu ruang baca dengan dua rak penuh buku di satu sisi dinding, juga sebuah meja yang dikelilingi beberapa kursi.      

Astro mengajakku duduk di kursi itu dan menatapku lekat, "Ada pertanyaan, Honey?"     

=======     

Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : iamno     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.