Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Benar



Benar

3Mama Denada memelukku lama sekali dan mengelus bahuku setelah melonggarkan pelukannya. Sepertinya mama Denada baru selesai menangis karena wajahnya masih sembab dan basah. Tatapannya sendu dan terlihat sangat merasa bersalah.     

Aku mengelap kedua pipi mama Denada dengan kedua tanganku sambil berusaha tersenyum, "Mama udah sarapan?"     

Mama Denada menggeleng dan hampir tertawa, "Mana bisa Mama sarapan kalau Denada ga mau makan udah berhari-hari?"     

"Maafin Faza ya, Ma. Denada jadi begitu gara-gara Faza."     

"Bukan. Denada bersikap begitu karena ga ngerti kalau niat Faza baik." ujar mama Denada dengan tatapan mantap sambil mengajakku masuk. "Denada baru aja tidur satu jam yang lalu, jadi kalian nunggu Denada bangun dulu. Ga pa-pa kan? Mama pikir kalian datengnya siang. Mama ga tau kalau kalian dateng sepagi ini."     

Aku dan Astro memang berangkat pagi-pagi karena kami harus berangkat ke mansion setelah dari sini. Kami bahkan menitipkan koper kami pada ayah dan ibu karena kami tak mungkin kembali ke rumah dulu.     

Ibu dan ayah menyerahkan penyelesaian masalah Denada pada kami berdua dan menunggu kami di mansion. Mereka berangkat menggunakan mobil ayah tepat saat kami berangkat ke rumah Denada dengan di antar Kyle. Kyle memutuskan untuk menunggu di mobil sementara kami keluar dan menemui mama Denada yang sudah ada di depan pintu saat mobil kami memasuki halaman.     

Aku menoleh untuk menatap Astro. Astro memberi anggukan kepala sebagai isyarat setuju.     

"Ga pa-pa kok, Ma. Kita temenin Mama sarapan dulu, ya?" ujarku.     

"Faza belum sarapan?"     

"Faza sama Astro udah sarapan tadi di rumah. Tapi Mama kan belum sarapan, jadi Faza temenin. Mama harus makan, nanti kalau sakit siapa yang jaga Denada?"     

Mama Denada terdiam dan mengangguk sesaat. Tapi tak mengatakan apapun.     

Kami berjalan dalam diam menuju dapur, dengan lenganku masih dipeluk oleh mama Denada. Astro bahkan tidak menyentuhku sejak kami tiba di halaman karena mama Denada langsung menghambur pada kami dan memelukku.     

Nanny Aster tersenyum saat melihatku walau ada raut lelah di wajahnya. Nanny Aster adalah nanny paling tua di rumah ini, yang membantu merawat Denada sejak bayi. Kurasa nanny Aster pasti sangat khawatir pada Denada.     

Mama Denada melepasku duduk di salah satu kursi meja makan, Astro duduk di sebelahku sesaat setelahnya. Mama Denada menghampiri nanny Aster dan membisikkan sesuatu sebelum duduk di kursi di sebelahku yang lain.     

"Mama minta nanny ke atap buat ambil strawberry. Nanti kalian bawa pulang ya." ujar mama Denada saat nanny Aster beranjak pergi meninggalkan kami.     

"Mama ga perlu repot begitu. Kita ke sini mau ketemu Denada kok." ujarku.     

"Ga repot kok. Kan nanny yang metik, bukan Mama." ujar mama Denada sambil memindahkan beberapa lembar waffle ke piring, menuang sirup di atasnya dan menaruh potongan pisang di sisinya lalu menyodorkannya padaku.     

"Mama.. Kan Faza cuma mau nemenin Mama sarapan. Bukan ikut sarapan juga." ujarku sambil menahan lengan mama Denada.     

"Kalau nemenin harus ikut makan dong." ujar mama Denada sambil tersenyum tipis. "Mana enak makan sendirian, diliatin lagi. Ya kan, Astro?"     

Aku menoleh untuk menatap Astro dan Astro sedang menganggukkan kepalanya dengan mantap.     

Uughh.. Apa-apaan ekspresinya itu? Seharusnya dia membelaku..     

Aku menggeser piring di antara aku dan Astro yang sesaat lalu disodorkan mama Denada padaku. Lalu memotong waffle dan memberi Astro satu suapan, Astro menerimanya dengan senyum lebar terkembang di bibirnya.     

Sial..     

Aku beruntung mama Denada lah yang sedang berada di sebelah kami. Kalau Denada yang sedang duduk di sana, kami mungkin saja sedang menaburkan garam di luka hatinya yang masih menganga.     

Aku menoleh saat mendengar mama Denada menghela napas. Mama Denada masih mengunyah waffle di mulutnya dan menatapku dengan tatapan sendu.     

"Kemarin Mama sempet mikir gimana kalau Denada Mama biarin aja nikah muda kayak kalian. Mungkin kejadiannya ga akan begini. Mama jadi ngerasa jahat banget sama Denada." ujar mama Denada setelah menelan wafflenya dengan susah payah.     

Aku menatap mama Denada ragu-ragu. Bagaimana aku harus menanggapi kalimatnya sekarang? Sedangkan yang paling mengerti apa yang terjadi di keluarga Denada adalah mamanya.     

"Mama yang paling tau yang terbaik buat Denada. Jangan ikut-ikutan ibu cuma karena ibu ijinin Astro sama Faza nikah muda." tiba-tiba saja aku mendengar Astro bicara.     

Aku menoleh padanya dengan tatapan tak percaya. Biasanya Astro lah yang paling bersemangat menularkan prinsip hidupnya pada orang lain. Sekarang dia mengatakan kalimat itu dengan jelas di telingaku. Aku benar-benar sulit mempercayainya.     

Astro tersenyum tipis padaku sebelum menatap mama Denada kembali, "Keluarga dari ayah emang udah biasa nikah muda, Ma. Ibu udah antisipasi dari dulu kalau Astro juga minta nikah muda. Mama kan ga biasa sama hal-hal kayak gitu, jadi Mama ga perlu maksain diri."     

Aku mengerjapkan mataku dan menatap Astro lekat. Aku tak tahu apakah dia sedang berpura-pura, tapi kalimatnya terlihat tulus bagiku. Setidaknya kuharap begitu.     

Aku mengalihkan tatapanku dari Astro dan menatap mama Denada karena aku mendengar isak tangis. Mama Denada sedang menangis dan terlihat dilema sambil meletakkan garpu yang sesaat lalu dipegangnya.     

Aku mengelus lengan mama Denada untuk membantunya menenangkan diri. Tapi sepertinya mama Denada memang sedang kehilangan arah pikirannya hingga memelukku dan menghela napas dengan keras sebelum melepasku kembali.     

"Mama.. Mama pikir selama ini mama tau yang terbaik. Mama sama sekali ga tau kalau Denada berani lewatin batas kayak gitu.. Mama baru tau kalau Denada.. Ngelakuin itu.. Mama juga baru tau kalau ternyata Denada udah biasa sama minuman keras.. Mama ga pernah ngajarin itu.. Mama ga.. Pernah.."     

Entah bagaimana tapi hatiku terasa tersayat saat mendengar setiap kalimat dari bibir mama Denada. Aku tahu itu bukan lah salah siapapun jika Denada memilih untuk melakukan hal-hal intim dengan Petra atau menghindarinya.     

Aku memeluk mama Denada tanpa mengatakan apapun. Tubuh mama Denada berguncang dengan kencang di pelukanku.     

"Denada udah dewasa, Ma." ujar Astro. "Denada cuma ketemu sama orang yang salah dan bikin keputusan yang salah. Semuanya bukan salah Mama. Sekarang bukan waktunya buat nyalahin siapa-siapa. Denada harus ambil resiko sama apapun yang dia pilih."     

Aku tahu semua yang dikatakan Astro adalah benar. Tapi.. Astaga.. Yang benar saja? Mengatakannya dengan begitu gamblang bukan lah di saat seperti ini. Mama Denada hanya sedang membutuhkan dukungan.     

Aku mengelus bahu mama Denada yang masih berguncang di pelukanku, "Nanti Faza ngobrol dulu sama Denada ya, Ma. Mama jangan banyak mikir dulu. Ini salah Faza. Mungkin Faza yang ga peka."     

Aku bisa merasakan mama Denada mengangguk dan melonggarkan pelukannya padaku. Lalu mengecup dahiku dan menatapku lekat.     

"Denada beruntung punya Faza yang jadi sahabat. Tolong.. Bantu Denada, ya?" ujar mama Denada dengan air mata menetes di pipinya yang segera diusap dengan kedua tangannya.     

Aku hanya mampu mengangguk dan mencoba tersenyum. Aku tahu aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana aku akan berbincang dengan Denada nanti. Aku hanya tahu aku perlu bicara padanya dan mengutarakan permintaan maafku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.