Harapan
Harapan
"Semua dugaan bisa aja bener. Kita ga tau Ana ada di mana atau sama siapa sekarang." ujar ayah.
Ayah benar, tapi hal ini juga menjadikan pencarian informasi ini terasa sia-sia saja karena hanya dugaan yang bisa kami pikirkan.
"Mungkin Faza bisa coba tanya oma. Ajak oma ngobrol soal bunda tentang apa aja. Asal jangan soal dugaan bunda masih hidup. Soalnya Ibu juga ga yakin oma tau lebih soal bunda. Oma terpukul banget abis kalian kecelakaan itu. Bunda kan anak oma satu-satunya." ujar ibu.
Tunggu sebentar....
"Maksud Ibu, kalau bunda masih ada dan opa yang sembunyiin, mungkin aja oma juga ga dikasih tau?" aku bertanya.
Ibu mengangkat bahu, "Ibu ga berani bayangin, tapi Ibu emang ngerasa oma ga tau apa-apa soal bunda. Bisa aja dugaan Ibu salah, jadi baiknya kalau Faza ajak oma ngobrol nanti, ngobrolnya yang biasa aja. Jangan nanya apapun soal kemungkinan oma tau bunda masih ada. Lagian di rumah opa kan ada banyak kamera. Bisa aja obrolan kalian ketauan. Faza harus hati-hati."
Aku menatap ibu dalam diam selama beberapa lama. Aku tahu semua yang dikatakannya adalah benar dan aku tak mungkin mengambil resiko untuk membuat oma meragukan opa, sama sepertiku.
Nakun bagaimana mungkin opa menyembunyikan bunda dari oma? Bagaimana pun jika dugaan ini benar, maka itu keterlaluan.
Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Genggaman tangan Astro dan elusan lembut di jarinya memang selalu bisa membantu menenangkan pikiranku.
"Kita tunggu informasi dari Axe ya" ujar Astro, yang membuatku menoleh padanya.
"Kalian minta Axe ngapain?" ayah bertanya.
"Faza minta Axelle hack laptop sama hape Zen." ujar Astro.
Ayah terkejut, "Buat apa?"
"Zen pernah bilang ke Faza katanya dia dapet bantuan dari opa waktu buka cafe. Mungkin bantuan modal atau apa, Faza juga kurang ngerti. Faza ga mungkin nanya opa. Faza ga mau bikin opa tersinggung, tapi Faza ngerasa aneh. Kenapa Zen yang dibantu? Opa kan punya banyak anak asuh." ujarku.
"Astro ngasih tau Faza kalau opa punya anak asuh?" ibu bertanya.
Astro menggeleng, "Faza tau dari Paolo. Kalau bisa, Ibu bisa temuin Faza ke mereka."
Ibu terlihat berpikir sesaat, "Ibu ga bisa ketemuin mereka gitu aja. Opa pasti curiga, tapi hubungan opa sama Zen emang aneh. Ya kan, Yah?"
Ayah mengangguk, "Sayangnya kita ga tau apa aja yang mereka obrolin selama ini."
"Astro udah nawarin Faza buat bobol sistem keamanan CCTV rumah opa, tapi Faza nolak." ujar Astro.
"Jangan coba-coba. Kalau kamu ketauan hubungan kita sama opa bisa berantakan. Opa sama kakek udah bangun hubungan baik dari dulu. Jangan sampai gara-gara kalian terlalu nafsu buat dapet informasi, kalian justru salah ambil keputusan. Lagian kalau Axe bisa dapet informasi dari laptop atau hape Zen, mungkin kita bisa dapet petunjuk." ujar ayah.
Entah kenapa seperti ada sedikit beban berat terbang dari dadaku setelah mendengarnya. Aku memberikan keputusan yang tepat saat melarang Astro. Aku menatap Astro dan mengangguk. Kuharap dia tahu apa maksudku.
"Sebenernya ... Faza curiga bunda ada sama Zen." ujarku.
Ayah dan ibu tiba-tiba saja terlihat terkejut. Kurasa aku bisa mengerti karena kecurigaanku benar-benar tanpa alasan. Mau dipikir bagaimana pun, tak mungkin bundaku bersama Zen sedangkan Zen dan opa baru saling mengenal dua tahun yang lalu.
"Faza pernah liat Zen beli bunga lavender. Putri juga bilang Zen pesen lavender astifisial di toko, juga pesen macrame yang sama kayak yang bunda bikin dulu." ujarku ragu-ragu. "Faza ga tau apa ini firasat atau Faza yang mikir berlebihan, tapi Faza ngerasa begitu."
Ibu mengelus bahuku perlahan, "Siapa aja bisa aja suka sama lavender, Sayang. Macrame yang dipesen Zen mungkin karena Zen pernah liat waktu main ke rumah opa."
Aku tahu ibu benar dan aku sama sekali tak memiliki sanggahan tentang itu. Aku hanya bisa menatapnya dalam diam, dengan segala pikiran yang berkecamuk dalam kepalaku.
"Astro boleh tau, kenapa bunda milih Bonaire buat jadi tempat nikah?" Astro bertanya.
Ibu menghela napas, "Karena pantainya pink. Abbas (ayah) pernah cerita ke bunda dan mereka tiba-tiba terobsesi sama tempat itu. Abbas pernah ke sana sekali. Faza pernah denger ceritanya?"
Aku menggeleng. Aku memang sering mendengar ayah bercerita tentang banyak tempat yang didatanginya, tapi seingatku ayah tak pernah menyebutkan tentang Bonaire sebelumnya. Jika aku pernah mendengarnya aku tak akan mungkin lupa.
"Mereka tinggal di Bogor karena oma yang minta kan?" tiba-tiba ayah bertanya, yang segera mendapatkan perhatian kami. "Oma ga mau mereka pindah terlalu jauh. Apalagi sampai beda benua. Ayah pikir mereka akhirnya pindah ke Bogor karena lumayan jauh dari sini dan ga terlalu jauh sama rumah Abbas yang lama."
"Rumah ayah yang lama?" aku bertanya.
Ibu mengangguk, "Abbas kan dulu tinggal sama ayahnya di Jakarta waktu kuliah. Ayahnya Abbas pindah ke Papua setelah Abbas ngelola beberapa gerai kopi. Ibu bisa temenin Faza ke rumah itu kalau Faza mau, tapi ibu ga yakin sekarang rumah itu jadi punya siapa atau rumah itu masih ada atau ga."
Benar juga, yang menemani bunda ke Jakarta ada ibu. Tak mengherankan ibu mengetahui tentang rumah itu.
Jika rumah itu masih menjadi milik ayah, seharusnya rumah itu diwariskan padaku. Namun opa tak pernah membahas apapun tentang itu, jadi mungkin saja rumah itu sudah menjadi milik orang lain sekarang.
Aku berpikir sesaat, "Bunda dulu ke Jakarta ketemu sama ayah di rumah itu?"
Ibu mengangguk, "Tapi cuma sebentar waktu ayahnya Abbas ga ada. Mereka ga mau ayahnya Abbas tau dan bikin keadaan makin parah. Setau Ibu, ayahnya Abbas dulu tempramental."
Dan pencarian informasi ini kembali menemukan jalan buntu. Sepertinya kepalaku mulai berdenyut mengganggu.
Sebetulnya aku masih bisa menggali informasi dari Gerard, tapi aku tahu pasti akan sulit sekali menemuinya sekarang. Aku juga bisa berkunjung ke rumah peninggalan ayah di Bogor, tapi aku jelas tak bisa ke sana tanpa Astro. Sedangkan kami sedang sangat sibuk sekali.
Aku menghela napas, "Mungkin nanti kalau Faza ga sesibuk sekarang, Faza bisa minta Ibu nemenin Faza ke Jakarta?"
Ibu mengangguk sambil terus mengelus bahuku, "Sekarang fokus dulu sama bisnis baru. Urusan bunda jangan terlalu dipikirin ya. Kalau emang bener opa sembunyiin bunda, opa pasti jaga bunda baik-baik."
Aku mengangguk lemah. Aku tahu ibu benar.
"Honey, bukannya kamu sempet pakai komputer sama laptop bunda dulu?" Astro tiba-tiba saja bertanya.
Aku mengangguk, "Ada di gudang karena udah ga aku pakai. Udah lemot banget waktu aku ganti."
"Nanti kita ambil kalau kita pulang. Kita pasti dapet sesuatu." ujar Astro.
Betul juga. Entah kenapa tiba-tiba dadaku dipenuhi semangat baru, sesuatu yang menyala dan terasa hangat. Harapan baru.
"Mau minta Axe bongkar data? Tapi kamu udah ngasih Axe banyak banget kerjaan." ujarku.
Astro menggeleng, "Ayah mau bantu?"
Ayah menatap kami bergantian selama beberapa saat, "Berani barter apa sama ayah?"
Astro tersenyum lebar sekali, "Calon cucu?"
=======
Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..
Regards,
-nou-