Blueprint
Blueprint
Aah sial....
Seharusnya ayah dan ibu tak boleh tahu tentang ini. Kami bahkan belum benar-benar yakin ada janin di dalam rahimku atau tidak.
"Kalau ayah mau nanti Astro bikin." ujar Astro dengan senyum menggodanya yang biasa.
Entah bagaimana tiba-tiba terasa seperti ada aliran es menjalari tengkukku, mengalir hingga ke ujung kaki. Laki-laki ini benar-benar menyebalkan. Kuharap ayah dan ibu hanya menganggap Astro bercanda.
"Ada ring tinju ga di sini? Ayah masih punya waktu setengah jam sebelum pulang." ujar ayah dengan santai sambil mulai menggulung lengan kemeja yang dikenakannya. "Ga usah pakai ring juga bisa sih. Di atap lumayan luas kan?"
Astro memelukku dari belakang dengan erat. Seolah aku bisa menjadi tameng baginya.
"Ayah tega ya liat suaminya Faza babak belur? Kerjaan Astro tambah banyak soalnya mau ikut kompetisi robotik akhir tahun ini. Nanti kalau ga ada yang jagain menantu Ayah gimana?" Astro bertanya.
Aku mencubit pipi Astro dengan kencang, "Jangan bercanda kelewatan begitu."
"Aah iya ... maaf."
"Nanti malem tidur di luar ya kamu." ujarku sambil melepas cubitanku.
"Jahat." ujar Astro sambil membenamkan wajahnya di tengkukku.
Aku memberinya tatapan sebal walau aku tahu Astro tak akan melihatnya, tapi aku sudah berniat akan memberinya hukuman jika ayah dan ibunya sudah pergi.
"Kalian katanya mau nunda punya anak. Kalau bikin kesepakatan harus serius dijalanin. Ga boleh bikin yang lainnya bingung. Salah-salah malah ga akan jalan kesepakatan yang kalian bikin. Lebih parah lagi kalau kalian jadi saling salah paham." ujar ibu.
"Kamu denger?" ujarku pada Astro.
Astro hanya menggumam. Entah menggumam mengiyakan atau bagaimana. Sepertinya dia masih belum berani bertatap mata dengan ayahnya.
Tiba-tiba saja aku mengingat setengah tahun yang lalu saat Astro sangat kesulitan mengendalikan diri hingga ayah mengajaknya sparring dan membuatnya babak belur. Alasan dia kesulitan mengendalikan diri sepertinya adalah aku yang sedikit nakal. Sepertinya dia benar saat mengatakan aku memang nakal, aku hanya tidak menyadarinya.
"Faza harus tegas. Anak ini emang rese banget." ujar ayah.
Aku hanya mengangguk dan tak mengatakan apapun. Jika Astro mirip dengan kakek Arya, itu berarti kakek Arya juga sama menyebalkannya dengannya. Mungkinkah hanya aku yang tak pernah melihat kakek bersikap seperti itu?
Lalu jika benar Zen mirip dengan opa ... sepertinya aku baru menyadari, Zen selalu memaksudkan setiap kata dalam kalimatnya. Opa pun sama. Opa tak akan mengatakan sesuatu yang tak perlu.
"Ayah tau kenapa opa bisa deket sama kakek?" aku bertanya.
Ayah menatapku penuh minat, "Faza bisa tanya sama kakek kalau Faza nginep di mansion lain kali. Mungkin kakek akan lebih terbuka sama Faza soalnya Ayah juga cuma tau sedikit."
Jawaban ayah sama seperti jawaban yang Teana berikan padaku saat pertama kali aku menginap di mansion. Yang membuatku bertanya-tanya, mungkinkah kakek menyimpan rahasia dari keluarganya sendiri sama seperti opa? Jika benar begitu, sebetulnya mereka mirip, bukan?
Tunggu sebentar....
"Mansion itu udah ada dari dulu? Maksud Faza, itu warisan dari kakek Indra?" aku bertanya.
Ayah mengangguk, "Kakek Indra beli ga lama sebelum meninggal. Itu rumah rahasia. Rumah yang biasa didatengin sama kenalan ada ga jauh dari benteng Port Willem 1. Rumah itu diwarisin ke Astro juga."
"Bener?" aku bertanya sambil menoleh pada Astro yang masih membenamkan wajahnya di tengkukku.
Astro hanya mengangguk.
"Bisa temenin aku ke sana?"
Astro menghela napas sebelum mengangkat wajahnya dan menyandarkan dagunya di bahuku, "Nanti aja kalau libur semester. Kerjaanku banyak banget. Lagian kita harus nginep di rumah opa. Kita ga akan sempet ke mansion atau ke rumah tua itu."
Sepertinya aku harus menerima keputusannya, maka aku mengangguk sambil mengelus rambutnya perlahan. Aroma green tea yang lembut menguar membelai hidungku.
"Oh iya, Astro pernah bilang ayah punya villa. Boleh Faza main ke sana kalau kita punya waktu?" aku bertanya.
"Boleh. Faza bisa bilang dulu sebelum ke sana ya. Biar Ayah sama Ibu ngatur waktu, kita bisa nginep bareng." ujar ayah.
Aku mengangguk dan tersenyum.
"Villa itu akan diwarisin ke Astro juga nanti, Ayah kan ga punya anak lain. Ah atau nanti Ayah balik nama pakai nama Faza aja ya? Sekalian sama perusahaan tekstil Ayah." ujar ayah.
Entah bagaimana tiba-tiba pembahasan ini membuatku merasa salah tingkah. Aku sama sekali tak mengharapkan hal itu. Lagi pula, yang benar saja?
Ibu bahkan terlihat tenang dan tak mengatakan apapun. Seperti akan setuju saja pada semua keputusan yang akan ayah berikan.
"Astro ga keberatan. Sekalian sama perusahaan pengolahan limbah punya Ayah, tapi divisi robot tetep Astro yang pegang." ujar Astro tiba-tiba.
"Heii barter kita gimana? Berani barter apa sama Ayah buat bongkar data di komputer sama laptop peninggalan Ana?" ayah bertanya.
"Ayah minta apa? Astro usahain." Astro kembali bertanya.
Ayah terlihat berpikir keras sebelum menjawab, "Gimana kalau bikin blueprint rancangan robot burung mata-mata?"
"Ayah mau sekarang? Astro udah bikin beberapa bulan lalu, tapi belum Astro eksekusi karena dananya ga ada."
"Mana Ayah mau liat."
"Ada di studio. Astro ambilin sebentar." ujar Astro sambil beranjak dari duduknya.
"Bercanda kelewatan lagi sama Ayah, Ayah keluarin kamu dari divisi robot." ujar ayah yang juga bangkit dan merangkul bahu Astro saat sampai di sebelahnya.
Bukan merangkul. Lebih tepatnya mencekik dengan setengah tenaga, tapi Astro sudah kesulitan benapas dan meminta ampun saat mereka berjalan menjauh.
"Faza minum ramuan madu yang Ibu kasih ke Astro kan? Ibu selalu minum itu sebelum nemenin ayah." ujar ibu dengan seulas senyum di bibirnya.
Astaga ... yang benar saja? Ramuan yang Denada berikan untukku sebelum aku menikah ternyata diri ibu?
"Mm ... cuma sekali-sekali kalau Astro lagi sempet bikin. Faza ga pernah bikin sendiri." ujarku jujur.
Aku tak akan dengan sengaja membuat ramuan itu karena akan memalukan. Astro akan tahu aku akan mengajaknya bercinta lebih dulu, walau sebetulnya hal itu wajar saja dilakukan karena aku berkali-kali melakukannya.
"Ibu dapet resep itu dari bundanya Faza. Bunda dapet resep dari kenalannya waktu pergi dari rumah. Waktu itu Ibu sempet khawatir bunda ngelakuin yang aneh-aneh, tapi bunda bilang bunda masih perawan sebelum nikah sama Abbas. Bunda cuma sempet bantu temennya bikin ramuan itu waktu dia mau nikah."
"Bunda ga bilang siapa yang dibantu?"
Ibu menggeleng, "Bundanya Faza ga cerita apa-apa soal itu. Bunda bener-bener mirip opa, bunda cuma ga sadar mereka mirip."
Kurasa pendapat ibu benar. Entah bagaimana, tapi aku setuju dengannya.
"Faza lebih mirip Abbas." ujar ibu dengan tatapan sendu.
"Mm ... kenapa Ibu tiba-tiba sedih?" aku memberanikan diri untuk bertanya.
Ibu tersenyum simpul, "Ga pa-pa. Ibu inget gimana dulu Abbas berusaha nyari bunda. Kayak liat Astro bertahun-tahun berusaha deket sama Faza. Kalian berdua lebih mirip dari yang kalian pikir. Kalau nanti Faza berantem sama Astro, inget-inget gimana kalian bisa sampai di titik ini. Usaha kalian ga gampang, kan?"
Kurasa aku tak dapat menyembunyikan senyum di bibirku. Aku hanya mampu mengangguk tanpa mengatakan apapun.
"Ah iya, Ibu masih simpen kalung bikinan bunda. Kalau Faza mau nanti Ibu minta Kyle nganter ke sini."
Aku menatap ibu dalam diam sebelum bicara, "Ga usah, Bu. Kalung itu pasti bunda sengaja bikin buat Ibu. Jadi Ibu harus simpen."
Aku mengatakannya dengan jujur walau aku memang sempat menginginkannya sedetik lalu. Aku mengingat Denada dan Mayang yang masih menyimpan tiara dan buket bunga yang kubuat bertahun-tahun yang lalu. Aku benar-benar menghargai usaha mereka untuk menjaganya.
"Mungkin nanti Faza mau liat aja sebentar kalau Faza pulang. Kalau Ibu ngijinin." ujarku.
Ibu hanya mengangguk dan tersenyum. Senyum yang terlihat cantik sekali, membuatku membayangkan bagaimana jika Astro memiliki adik perempuan.
"Bu, anak Ibu ternyata bikin banyak blueprint rancangan robot selama LDR sama Faza kemarin. Ibu tau?" ayah tiba-tiba saja muncul dan bertanya. Ada rona bahagia di wajahnya saat menunjukkan gulungan-gulungan di dekapannya.
"Untung Ayah baru tau sekarang. Kalau Ayah tau dari dulu Ayah mau nunda mereka nikah pakai cara apa lagi?" ibu bertanya.
Ayah terlihat salah tingkah walau segera menoleh untuk menatap Astro yang berada di belakangnya, "Ayah dukung kalian nikah kok dari dulu. Kalau Ayah ga dukung Ayah ga akan setuju."
"Yeah, right." ujar Astro tanpa minat.
Aku menutup mulut untuk menyembunyikan tawa yang hampir keluar. Akan lebih baik jika aku menjaga sikap sekarang walau aku tahu betapa Astro merasa gusar karena ayah selalu berusaha menunda rencananya.
Astro langsung memelukku saat sampai di sebelahku dan berbisik, "Kamu harus hati-hati sama Ayah. Mulutnya manis banget, tapi banyak racunnya."
"Kayak kamu. Kamu belajar dari Ayah kan?" bisikku.
"Bukan, aku belajar dari kakek."
"Sama aja. Kamu juga kalau ngomong manis banget, tapi banyak racunnya
"Makanya kamu juga harus hati-hati sama aku."
Dia membuatku melepas tawaku.
=======
Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..
Regards,
-nou-