Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Dinding



Dinding

1Astro : Aku di atap ya, mau ngerjain deadlineku dulu. Nanti kabarin aku kalau mereka udah pulang     

Aku : Okay, aku di sebelah kamu     

Aku meletakkan handphone di meja dan kembali berkutat dengan hasil perhiasan buatan partner kerjaku. Sudah ada empat cincin, dua liontin, tiga gelang juga satu bros berbahan mutiara dan perak yang sedang kufoto di atap workshop.      

Aku berencana akan mengunggah semua fotonya di website dan semua akun sosial media malam ini. Sepertinya akan ada tiga atau empat buah perhiasan lagi yang akan bisa kufoto sesaat lagi.     

Handphoneku bergetar, aku mengambilnya. Ada pesan dari Astro.     

Astro : Kamu di atap workshop?     

Aku : Iya, lagi ambil foto (mengirimkan foto berbagai perhiasan yang terhampar di hadapanku)     

Astro : Sendiri?     

Aku : Iya aku sendiri     

"Honey." tiba-tiba terdengar suara Astro memanggil, membuatku menoleh ke arah dinding pembatas. Ada kepala Astro menyembul di sana.     

Astaga ... yang benar saja?     

Aku menggelengkan kepala, lalu memberinya panggilan video call yang membuatnya kepalanya menghilang dari dinding pembatas atap kami. Aku meletakkan handphone di meja dan menyangganya menggunakan cangkir.     

"Jangan nongol begitu tiba-tiba. Nanti kalau ada yang liat bahaya." ujarku sambil menatapnya tajam.     

Astro tersenyum tipis sambil mengecek laptopnya, "Aku kangen."     

Bagaimana aku akan memberinya tatapan sebal jika dia bertingkah begitu menggemaskan?     

"Kenapa kamu ga ke sini aja? Kita bisa kerja bareng." ujarku yang langsung mengalihkan tatapanku dan melanjutkan mengambil foto.     

"Muternya jauh, Honey. Setengah jam kalau bawa mobil."     

Aku mengalihkan tatapanku kembali ke kamera handphone, "Bukannya kamu pernah bilang mau minta motor kamu dianter ke sini?"     

"Dua hari lagi. Ga ada yang bisa nganter sekarang."     

"Boleh sekalian ti ..." aku menghentikan ucapanku karena aku hampir saja menyebut tentang titipan kak Liana.     

"Kamu mau titip apa?" Astro bertanya tanpa mengalihkan tatapannya dari laptop.     

"Mm ... aku mau titip sepedaku sekalian. Bisa sekalian sama sepeda kamu biar kita bisa sepedaan bareng di sini." ujarku sambil merapikan letak perhiasan dan mengangkat kameraku kembali.     

Untunglah Astro sedang tidak menyadarinya. Setidaknya kuharap seperti itu.     

Aku bisa membayangkan suasana hatinya tiba-tiba berubah menjadi sangat buruk jika aku menyebut tentang barang pemberian kak Liana yang dititipkan di rumah opa. Aku tak ingin melihat tatapan mata dengan kilat menyeramkan yang kemarin malam terlihat di matanya saat kami membahas fotoku bersama Zen di bianglala.     

"Perempuan hamil ga boleh naik sepeda, kamu tau?"     

Ucapan Astro tiba-tiba membuatku menurunkan kameraku dan menatapnya. Namun tak ada satu pun kalimat keluar dari bibirku saat melihat tatapan matanya yang tenang dan mantap.     

Seingatku, aku tak pernah merasa mual lagi sejak hari kami berkunjung ke dokter kandungan. Aku cukup yakin aku sedang tidak mengandung, tapi aku sudah terlanjur menyanggupi permintaan Astro untuk menjaga diriku dengan baik sampai tiba waktunya USG kembali.     

"Aku lupa." hanya itu kalimat yang bisa keluar dari bibirku setelah rasanya lama sekali hening di antara kami.     

Astro menghela napas, "Jaga diri baik-baik, Honey. Aku ga akan ngelarang kamu naik sepeda kalau kamu lagi ga hamil."     

Namun aku memang sedang tidak mengandung.     

"Okay." ujarku singkat.     

Aah kenapa aku merasa gelisah?     

"Satu jam lagi mereka selesai kan?" Astro bertanya.     

Aku melirik jam di sudut layar handphone, "Iya, tapi liat nanti. Kayaknya mereka baru pulang kalau yang mereka kerjain bener-bener selesai. Mereka gila kerja ternyata."     

"Cocok sama bosnya kan." ujar Astro setengah tertawa.     

Entah apakah dia sedang sengaja menggodaku atau bagaimana, tapi aku masih merasakan kegelisahan yang sesaat lalu datang. Terasa seperti aku bisa membuat kesalahan kapan saja.     

Aku mendengar suara seseorang berjalan menaiki tangga. Akan lebih baik jika aku mematikan sambungan video callku dengan Astro.     

"Ada orang naik. Nanti aku kabarin kalau mereka udah pulang ya." ujarku sambil mengamit handphone.     

Astro mengangguk dan melambaikan tangan padaku. Aku mematikan sambungan video call kami dan meletakkannya di meja tepat saat Putri muncul di anak tangga paling atas.     

Aku menoleh ke arahnya yang sedang berjalan menuju ke kursi panjang tempat aku duduk, "Udah selesai?"     

Putri menggeleng sambil duduk di sebelahku, "Kayaknya satu jam kurang buat selesaiin yang terakhir. Mereka minta nambah jam, gimana?"     

Aku memang sudah menduganya. Aku berpikir sesaat, tapi sepertinya satu-satunya jalan keluar memang menambahkan jam kerja.     

"Okay, sampai selesai aja kalau gitu. Yang udah selesai duluan boleh pulang."     

"Tapi gajinya?"     

"Nanti aku itung lembur per jam."     

"Kenapa ga samain aja jam kerjanya kayak toko Lavender? Kita biasa baru pulang jam delapan, kadang jam sembilan."     

"Itu karena kamu nginep di sana. Kalian kan ga ada yang nginep di sini. Lagian bikin perhiasan butuh konsentrasi lebih dibanding craft biasa."     

Putri terdiam, tapi dia terlihat ragu-ragu.     

"Ada yang lain yang mau kamu bahas?" aku bertanya karena dia sepertinya tak berniat untuk beranjak dari duduknya. Padahal pembahasan kami sudah cukup jelas.     

"Kamu dapet kabar dari Sari?"     

"Soal adiknya yang sakit?"     

"Bukan itu." ujar Putri sambil menghela napas sebelum melanjutkan. "Sari ga bilang yang lain selain itu ke kamu?"     

Aku menggeleng, "Kemarin dia cuma bilang itu waktu aku tegur dia karena laporannya ga lengkap. Trus aku ijinin dia pulang."     

Putri menatapku dengan tatapan bersalah, "Em ... sebelum aku berangkat ke sini dia sempet bilang sama aku kalau dia ... mau minta resign."     

Aku terkejut, "Minta resign? Tapi kemarin dia bilang adiknya sakit."     

Putri terlihat salah tingkah, "Aku ga tau kalau emang adiknya sakit, tapi dia emang sempet ngomong ke aku kalau dia mau resign beberapa hari sebelum aku berangkat ke sini."     

Aku hampir saja mengamit handphoneku, tapi Putri mengamit lenganku dan membuatku membatalkannya.     

"Aku ga yakin dia cocok jadi penggantiku jagain toko Lavender. Dia belakangan ini kayak orang bingung. Aku juga ga ngerti kenapa." ujar Putri dengan hati-hati. "Sebenernya aku mau ajuin Gon yang gantiin posisiku di sana, tapi ... aku ragu-ragu. Soalnya kamu kayak lebih percaya sama Sari."     

Aku berpikir lama sebelum bicara, "Menurut kamu kenapa Sari begitu? Kita udah kerja bareng dua tahun. Bukannya aneh tiba-tiba sikapnya berubah?"     

Aku memang sengaja bertanya tentang Sari lebih dulu. Kurasa, akan lebih baik jika aku memahami alasan dari sikapnya, dibandingkan dengan mengambil jalan keluar secara terburu-buru.     

"Aku ... ga tau apa ini emang ada hubungannya, tapi mungkin karena dia cuma lulusan SMP? Kemampuannya emang banyak berkembang, tapi kalau soal managemen dia ga bisa sistematis. Berantakan banget. Trus dia juga gampang panik kalau kena tekanan. Dia juga ser ..."     

"Sebentar." ujarku untuk memotong ucapannya.     

Aku mengingat dengan jelas bagaimana sikap panik Sari saat pertama kali bertemu denganku dua tahun lalu. Aku juga tahu dengan jelas bagaimana dia berusaha menyamakan irama bekerjanya dengan Putri. Mungkin tingkat pendidikan memang mempengaruhi, tapi aku tidak setuju jika hal itu menjadi penghalang yang justru menghambat seseorang untuk bisa melangkah lebih jauh.     

"Kasih aku waktu buat mikir dulu ya. Aku mau perhatiin kerja dia dulu dari CCTV toko. Pasti ada alasan kenapa sikapnya begitu." ujarku dengan hati-hati. Aku tak ingin membuat Putri tersinggung.     

Putri terlihat ragu-ragu walau mengangguk pada akhirnya, "Okay. Aku turun lagi ya."     

Aku mengangguk dan memperhatikan Putri hingga menghilang dari pandanganku. Aku menghela napas dan baru saja akan melanjutkan mengambil foto perhiasan di hadapanku saat ada panggilan video call dari Astro.     

"Kamu harus pertimbangin kemungkinan Putri yang bikin Sari stress, Honey." ujarnya tepat saat aku menerima video call darinya dan menatapnya.     

"I know."     

Aku lega ternyata bukan hanya aku yang berpikir seperti itu, tapi kurasa aku harus lebih berhati-hati saat berbincang dengan siapapun di sini. Dinding pemisah atap ini tak cukup tinggi untuk menghalau percakapan yang terjadi.     

=======     

Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : iamno     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.