Sasaran
Sasaran
Astro hanya memberiku senyum menggodanya yang biasa sambil berusaha menyamai irama langkah kakiku. Elusan jarinya yang lembut di jariku membuatku semakin merasa kesal.
Aku melirik jam di lengan, pukul 08.49. Sepertinya kami akan terlambat berangkat ke rumah Opa. Aku menoleh padanya, "Nomor berapa tadi?"
"257, Honey." ujarnya sambil mengecup tanganku.
Aku memberinya tatapan sebal sebelum mengedarkan pandangan untuk mencari kamar rawat inap dengan nomor yang dimaksud.
Itu dia.
Aku baru saja akan mengetuk pintu saat Astro memutar engsel pintu dan mendorongnya hingga terbuka. Aku baru saja akan memberinya tatapan tajam saat aku melihat Donny dan Zen sedang tertawa di dua tempat tidur pasien yang berbeda. Mereka menoleh bersamaan ke arah kami dan menghentikan tawa dengan canggung.
Zen terlihat lebih ceria dibanding biasanya. Pipi sebelah kirinya lebam, dengan tungkai kaki kanan dan lengan kiri bagian atasnya diperban. Sedangkan leher Donny yang kemarin tersayat belati tertutup perban, dengan lengan kiri diperban entah kenapa.
Aku berjalan ke tengah tempat tidur pasien mereka dan menaruh sekeranjang buah di meja, "Sejak kapan kalian berdua bisa ketawa-ketawa begini?"
Zen tersenyum singkat, "Baru kemarin sore. Aku nembak tangannya, tapi dia nawarin aku bisnis bareng."
Aku menoleh untuk menatap Donny. Dia terlihat tenang, tapi ada senyum tipis yang sepertinya lolos dari pertahanan dirinya. Donny hanya menaikkan bahu dan tak mengatakan apapun. Sepertinya ucapan Zen sesaat lalu adalah benar.
"Kamu nawarin Zen bisnis apa?" aku bertanya pada Donny.
"Aku mau produksi furniture lukis. Aku minta dia bikin desain lukisannya." ujar Donny.
"Bukannya kamu bilang ga boleh ketauan khianatin keluarga Zenatta?"
"Mereka kan ga perlu tau kalau kita kerja sama."
Aku menatap mereka berdua bergantian sebelum menatap Astro, "Pulang aja yuk."
Astro menyentil dahiku pelan, "Bagus kalau mereka kerja sama dari pada musuhan terus."
Aku tahu Astro benar. Aku hanya merasa sia-sia saja mengkhawatirkan mereka. Aku berpikir mereka akan terus berdebat karena diletakkan di kamar rawat inap yang sama.
"Kamu nembak tangan Donny?" aku bertanya pada Zen.
Zen hanya mengangguk.
"Kaki kamu kenapa?"
"Diinjek papanya Zenatta."
"Kamu udah ngabarin Mama?"
"Kemarin sore aku nelpon mama. Aku bilang lagi nginep di rumah Reno. Mungkin nanti aku bikin alasan jatuh atau apa gitu."
Aku menghela napas, "I'm sorry."
"Ga perlu. Kemarin sore opa ke sini. Minta maaf sama bilang makasih."
Aku menoleh pada Astro. Sepertinya dia juga tak tahu Opa datang karena terlihat terkejut. Aku menatap Donny dan Zen bergantian, "Thank you kemarin bantu kita kabur."
"Itu sebagai ganti nya ..." ujar Donny ragu-ragu.
Aku menatapnya lekat, "Itu bukan aku yang bisa mutusin, tapi aku berterima kasih kamu mau nolong aku."
"Kemarin aku ngobrol banyak sama opa. Opa bilang itu udah lewat, tapi aku bener-bener ngerasa bersalah karena tindakan keluargaku. Aku minta maaf."
Aku tak tahu bagaimana harus menanggapi situasi ini. Mungkin akan lebih baik jika aku menyetujuinya saja. Lagi pula, jika memang benar dia sudah bicara dengan Opa, seharusnya permasalahan di antara mereka sudah selesai.
"Kamu jadi pindah ke Surabaya?" Zen bertanya.
Aku mengangguk, "Nanti sore berangkat."
Zen menatapku lama sebelum bicara, "Temen kamu jadi ikut ngelukis di galeri?"
"Denada?"
Zen mengangguk.
"Aku ga tau, tapi nanti aku coba tanya."
Zen hanya diam. Entah apa yang sedang dia pikirkan.
"Bisa kita ngobrol serius sebentar?" aku bertanya pada Zen.
Zen terlihat bingung, tapi mengangguk pada akhirnya.
"Aku keluar ya. Bosen juga di sini. Aku mau ke taman." ujar Donny sambil beranjak dari tempat tidur pasiennya.
Aku baru saja akan membantunya membawakan infus saat Donny menolak dengan isyarat tangan. Sepertinya aku akan menurutinya saja. Dari caranya berjalan sepertinya dia terlihat baik-baik saja.
Aku menoleh ke arah Zen setelah Donny menutup pintu. Bagaimana aku harus memulai pembicaraan ini?
Aku duduk di tepi tempat tidur pasien yang ditinggalkan Donny dan menarik Astro mendekat padaku, "Kalian punya urusan yang belum selesai. Aku mau liat kalian selesaiin masalah itu sekarang."
Astro menatapku lekat, "Begini caranya kamu mau bantu?"
Aku menghela napas, "Come on. Kalian dua laki-laki dewasa. Kalian bisa bahas masalah baik-baik. Kalian bukan anak SMP lagi sekarang."
Aku menatap mereka bergantian. Aku tahu mereka ingin bicara, tapi sepertinya ragu-ragu. Bagaimana mungkin aku bisa terjebak di situasi seperti ini?
"Zen, Astro mau minta maaf karena bikin kamu cedera waktu kalian kelas sembilan dulu. Astro bilang itu kecelakaan. Ya kan, Honey?" ujarku sambil terus menggenggam tangan Astro.
Astro terlihat salah tingkah walau mengangguk, "Sorry, aku ga maksud lempar bola itu ke kamu. Aku lagi mikirin perempuan, jadi aku salah sasaran."
Zen mendengkus pelan, "Jangan bilang kamu lagi mikirin Faza."
"Aku emang lagi mikirin Faza." ujar Astro dengan tatapan serius.
Zen terlihat terkejut. Rahangnya mengeras selama beberapa saat sebelum kembali terlihat lebih tenang.
"Ini emang kedengerannya konyol banget, tapi aku emang lagi halusinasi liat Faza waktu itu. Aku ga bermaksud bikin kamu malu di depan Tiara atau apapun. Itu kecelakaan. Aku minta maaf." ujar Astro yang sedang menatap Zen dengan mantap.
"Kamu bener-bener suka sama Faza dari dulu?" Zen bertanya sambil menatap mata Astro dengan tatapan tajam.
"Aku suka dari pertama kali liat. Aku cuma nahan diri ga pacaran karena di keluargaku ga ada yang begitu."
Zen terdiam, tapi menatap Astro dengan penuh pertimbangan. Entah apa yang sedang dia pikirkan sekarang.
"Aku bisa ngerti kalau kamu ga mau maafin. Aku minta maaf karena istriku yang minta. Dia nganggep kamu sahabatnya. Dia ga mau aku nyimpen salah paham sama kamu."
Zen menatapku dan tatapannya berubah lebih lembut, "Anggep aku udah maafin suami kamu kalau emang itu bikin kamu lebih tenang."
Aku menggeleng, "Astro serius minta maaf sama kamu Zen. Kamu ga perlu maafin dia kalau emang ga mau."
Zen menatapku lekat sebelum mengalihkan tatapannya ke Astro, "Gimana kalau kita sparing basket kapan-kapan? Kalau kamu menang aku anggep kita ga pernah punya masalah."
"Sure. Nanti aku kabarin kalau pulang." ujar Astro dengan senyum tipis yang kusukai.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSI.F di aplikasi W.EBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.
Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-