Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Balai



Balai

1"Gimana kalau kita benerin jembatan ini?" aku bertanya sambil memperhatikan teralis baja dengan sedikit sisa cat yang dimakan usia.     

Kami sedang melewati jembatan yang menuju rumah pohon dengan saling menggenggam tangan. Entah kenapa membuatku mengingat saat pertama kali kami ke sini. Saat itu, Astro bahkan menghindari untuk menyentuhku dan memintaku berpegangan pada ranselnya.     

"Buat apa? Kita aja jarang ke sini."     

"Biar ga keliatan rusak begini."     

Astro terlihat berpikir sebelum bicara, "Nanti aku benerin kalau kita udah punya anak."     

Aku menatapnya tak percaya, "Kita punya anak masih lama, kamu tau?"     

Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Aku tau. Aku ada rencana tinggal di sini kalau kita punya anak nanti. Biar mereka tau masa kecil ayah sama bundanya seru."     

Aku hampir saja tertawa. Memangnya dia sudah berpikir sejauh apa hingga bisa memikirkan akan membawa anak-anak kami kembali ke sini? Aku menggeleng perlahan sambil menatapnya. Aku benar-benar tak mengerti dengan arah pikirannya.     

"Aku serius, Honey." ujarnya sambil menatapku lekat.     

"Kita liat nanti ya? Dari pada kamu mikirin itu mending mikir gimana ngomong ke Ibu buat ngasih modal usaha ke aku. Aku ga tau gimana mulai ngomongnya."     

Astro mengelus puncak kepalaku, "Tenang aja. Tanpa kamu minta juga ibu pasti ngasih duluan."     

Begitukah? Tunggu sebentar, apakah aku baru saja terkesan seperti memanfaatkan keluarganya?     

Aku berusaha meneliti ekspresinya. Dia terlihat tenang seolah tak berpikir tentang apapun. Namun kenapa aku merasa buruk dengan diriku sendiri?     

"Aku keliatan manfaatin keluarga kamu ga sih?" aku memberanikan diri untuk bertanya. Mungkin akan lebih baik jika aku menanyakannya saja dari pada menduga-duga.     

Astro menatapku dalam diam dalam setiap langkah menyusuri hutan. Entah apa yang dia pikirkan. Aku tak bisa menebaknya.     

"Aku pernah bilang kan kamu bukan tipikal orang yang suka manfaatin orang lain?"     

Aku mengangguk. Aku mengingat setiap kalimatnya saat dia mengatakan hal itu. Namun memintanya untuk membantuku membicarakan masalah modal usaha pada ibunya memang terasa seperti aku sedang memanfaatkannya.     

Astro mengecup dahiku, "Aku ga pernah berubah pikiran soal itu. Kan ibu yang nawarin kamu modal usaha, jadi kamu punya hak buat nagih. Jangan terlalu ngerasa sungkan sama ibu. Ibuku udah jadi ibu kamu juga, Honey."     

Aku tahu dia benar. Aku bisa merasakan hatiku berubah menjadi lebih hangat dalam setiap kalimatnya yang terdengar di telingaku, "Tapi aku ngerasa ga enak. Aku inget sama omongan Donny soal Om Neil yang ngincer aset keluarga kamu. Aku ga mau dianggap begitu."     

"Kamu ga pernah begitu. Lagian sejak kapan kamu peduli omongan orang?"     

Kalimatnya membuatku berpikir. Aku pun merasa heran dengan bagaimana pola pikirku belakangan ini. Terutama setelah kami menikah.     

Ada begitu banyak hal yang terjadi. Ada begitu banyak informasi baru bagiku. Bahkan pertengkaran pertama kami hanya berjarak dua minggu sejak menikah. Jika aku boleh jujur, beberapa waktu belakangan ini aku memang merasa bingung dengan diriku sendiri.     

"Kamu lebih suka aku cuek kayak biasanya?" aku bertanya.     

Astro menghentikan langkah, yang juga membuatku menghentikan langkahku, "Aku suka kamu apa adanya. Aku selalu bebasin kamu jadi apapun yang kamu mau. Aku tau kamu ga akan salah milih keputusan. Kalau suatu saat kamu bingung ngambil keputusan, kamu selalu bisa minta pendapatku kapan pun kamu butuh."     

Aku tahu dia benar.     

Astro memelukku erat, "Kamu udah lewatin banyak hal buruk. Kamu ga akan milih hal yang salah walau mau."     

Entah bagaimana, tapi dia mengingatkanku pada keputusanku saat kami bertengkar minggu lalu. Aku begitu gelisah dan memikirkan banyak hal buruk, tapi pilihan yang kuambil adalah kembali padanya.     

Aku tak tahu apakah itu adalah keputusan yang benar untuk dilakukan, tapi merasa lega aku memilih untuk kembali padanya karena kami berakhir baik-baik saja. Hingga saat ini.     

Aku tahu usia pernikahan kami masih begitu muda. Aku hanya berharap kami akan selalu baik-baik saja. Apapun masalah yang kami hadapi sekarang dan di masa depan.     

Aku melingkarkan lenganku di pinggangnya untuk memeluknya lebih erat. Hangat tubuhnya selalu berhasil menenangkanku. Sepertinya aku baru saja menyadari aku sedang berpikir berlebihan.     

Sampai kapan aku akan terus seperti ini? Aku ingin menjadi sepertinya yang bisa melihat semua masalah dengan baik dan jernih.     

Aku mendongak untuk menatapnya, "Kamu pernah janji sama aku mau ngajarin caranya niru perilaku orang. Bisa aku tagih sekarang?     

Astro mengelus pipiku dengan lembut, "Aku lupa soal itu. Nanti ya kalau kita pulang ke Surabaya. Sekarang kita istirahat sebentar. Kita harus ketemu Donny abis dari sini. Ibu juga udah nanyain kamu. Kita udah janji mau nginep di rumah malem ini."     

Sepertinya aku tak memiliki pilihan lain. Maka aku mengangguk untuk menyetujuinya.     

Astro melepas pelukannya dan mengamit tanganku. Dia membimbingku berjalan di sisinya menuju rumah pohon. Rumah pohon yang kami tuju hanya berjarak belasan meter dari tempat kami berdiri saat ini, dengan angin semilir yang membelai tubuh beberapa saat sekali.     

"Kamu naik duluan." ujarnya saat kami sampai di depan tangga.     

Aku mengangguk dan mulai meniti tangga dengan hati-hati. Tangga dan rumah pohon ini masih terlihat kokoh, tapi akan lebih baik jika aku waspada. Aku sudah bukan anak-anak. Aku tak tahu apakah berat badanku bisa membuat bangunannya rusak atau tidak. Aku bahkan sempat menoleh ke bawah untuk memperhatikan Astro menyusulku.     

Sepertinya masih baik-baik saja.     

Aku memasuki rumah pohon dengan hati-hati dan duduk di balai kayu. Astro menyusul sesaat setelahnya dan duduk di sisiku.     

Balai kayu kecil ini dulu bisa menampung aku, Mayang dan Denada tidur bersama. Sekarang benar-benar terlihat kecil karena tubuh Astro yang tinggi mendominasi rumah pohon ini.     

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sketsa Bunda masih berada di salah satu sisi dinding, berdampingan dengan beberapa sketsaku sendiri. Memang sudah terlihat kusam dan tua, tapi setiap goresannya mampu membuat hatiku merasa hangat.     

Astro mengamit pinggangku dan memelukku erat, "Jangan nangis di sini. Nanti kalau rumah pohonnya roboh kita ikut jatuh."     

Aku menoleh untuk menatapnya, "Seriously? Bercandaan kamu ga lucu."     

Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Aku cuma mau liat kamu senyum. Kamu cantik kalau lagi senyum, kamu tau?"     

Aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku, "Aku udah senyum. Kamu mau kasih aku apa?"     

"Aku kasih kamu ciuman. Jangan nolak ya."     

Aah, dia membuatku tertawa.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSI.F di aplikasi W.EBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.     

Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.