Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Float



Float

2Aku membaca diary Bunda semalaman dan berharap menemukan jawaban yang kucari, tapi pembahasan tentang anak lain dari Oma tak ada di manapun lagi. Yang tertulis di sana adalah kebencian Bunda pada Opa yang semakin membesar seiring waktu.     

Aku menemukan fakta bahwa Bunda memang tak pernah menyukai pertemuan berkala di antara anak-anak orang berpengaruh. Alasannya cukup masuk akal untukku, karena Bunda sudah bertemu Ayah sejak SMP.     

Opa dan Oma tak tahu bahwa Bunda dan Ayah saling menyukai sejak mereka bertemu. Mereka merahasiakannya karena Ayah merasa tak memiliki cukup keberanian untuk menemui Opa di usia yang begitu muda.     

Ayah berusia tiga tahun lebih tua dari Bunda dan berasal dari keluarga pebisnis yang biasa saja. Ayah sangat terkejut saat Bunda bercerita bahwa Opa adalah agen rahasia yang khusus mengatur strategi politik dan keamanan negara. Mereka sangat hati-hati dengan hubungan mereka karena khawatir Opa akan mengetahui dan memisahkan keduanya.     

Yang kupahami dengan terlambat adalah sepertinya Opa menganggap Bunda membangkang. Hal itu mempengaruhi perlakuan Opa yang menjadi jauh lebih protektif, tapi proteksi itu disalahpahami oleh Bunda sebagai bentuk pengekangan.     

Pertengkaran demi pertengkaran terjadi antara Bunda dan Opa sejak Bunda beranjak remaja. Semuanya terjadi karena kesalahpahaman yang sebetulnya bisa aku mengerti, tapi sepertinya mereka menutup diri dari yang lain, yang membuat mereka semakin menjauh dan salah memahami satu sama lain.     

Kepalaku berdenyut setelah selesai membaca buku ketiga. Saat hubungan Bunda dengan Ayah diketahui oleh Opa, tepat saat pertemuan berlangsung dan Bunda memilih tidak datang karena Ayah harus pindah ke Jakarta.     

Opa menentang dengan keras hubungan itu dan memaksa Bunda untuk memilih salah satu dari anak-anak kolega Opa. Opa bahkan mengancam Ayah untuk tak mendekati Bunda menggunakan pistol, yang membuat keduanya putus dengan terpaksa. Hal itu jelas membuat Bunda semakin membenci Opa.     

Rumah pohon dibuat setelah Bunda dan Ayah berpisah atas izin Oma karena Oma tak sampai hati membiarkan Bunda selalu murung di rumah. Rumah pohon itu juga yang biasanya menjadi tempat Bunda menyendiri setelah bertengkar dengan Opa.     

Aku menghela napas. Aku merindukan Ayah dan Bundaku. Aku baru tahu bahwa cerita mereka serumit itu.     

Aku melirik jam di dinding kamar, pukul 05.09. Mungkin aku bisa tidur sebentar sebelum berangkat ke kampus untuk menghadiri perkuliahan siang ini.     

***     

Astro memarahiku saat menelpon untuk membangunkanku karena aku tak tidur semalaman, tapi berubah menjadi khawatir saat aku menolak bercerita tentang diary Bunda padanya. Dia bahkan memintaku untuk membolos kuliah, tapi aku menolak.     

Aku menelpon Oma sebelum berangkat kuliah karena tak menemukan Opa dan Oma di rumah. Mereka sedang dalam perjalanan ke rumah Kakek dengan diantar Ayah. Oma berkata akan menginap dan pulang besok pagi. Oma sempat membangunkanku sebelum berangkat, tapi aku tidak menyadarinya.     

Hari ini terasa buruk sekali. Tak ada satupun materi yang kupahami karena pikiranku penuh dengan cerita Bunda. Sepertinya aku harus segera membaca dua diary lainnya agar bisa mendapatkan jawaban dari kegelisahanku.     

"Kamu berantem sama Astro?" Zen bertanya saat kami berjalan menuju parkiran bersama. Jam perkuliahan kami baru selesai sesaat lalu.     

"Ga kok. Kenapa?"     

"Kenapa mata kamu bengkak?"     

Aku menatap Zen sesaat sebelum memaingkan wajah. Aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya sekarang hingga kami berjalan dalam diam. Aku tak mungkin bercerita apapun, sedangkan Zen mungkin tak ingin menggangguku lebih dari ini.     

Sesampainya di parkiran, aku melihat pantulan diriku di jendela mobil entah siapa. Aku benar-benar terlihat menyedihkan. Aku bahkan baru menyadari kepalaku terus terasa berdenyut sejak bangun pagi tadi.     

"Harusnya kamu bilang kalau kamu lagi punya masalah. Aku bisa jemput. Bahaya banget kalau kamu nyetir pas punya banyak pikiran."     

Aku menoleh padanya, "Aku ga pa-pa kok. Oh ya, minggu kamu ga usah ke rumah. Astro pulang jadi Astro yang nemenin Opa main catur."     

"Tapi sabtu aku tetep dateng?"     

"Mungkin, kalau kamu bisa. Astro cuma bilang hari minggu."     

"Okay. Kamu harus minta pak Said ambil mobil kamu di sini. Kamu ikut aku aja. Aku anter."     

"Ga perlu, Zen. Aku bisa kok." ujarku sambil membuka pintu mobilku.     

"Serius, Faza. Bahaya bawa mobil kalau kamu lagi punya banyak pikiran. Sini kuncinya. Aku yang nyetir." ujar Zen sambil mengamit kunci dari tanganku.     

"Zen ...,"     

"Nurut aja." ujarnya sambil mengamit tanganku dan membawaku ke kursi sebelah kemudi. Dia memintaku duduk dan berjalan memutar kembali.     

"Trus mobil kamu gimana?" aku bertanya setelah dia duduk di belakang kemudi.     

"Kita ke kafe dulu. Aku kasih kuncinya ke kak Liana." ujarnya sambil menyalakan mobil.     

"Kamu ga harus begini."     

Zen tak menanggapi kalimatku. Wajahnya serius sekali. Entah apa yang dipikirkannya.     

Handphoneku bergetar, Astro mengirimiku panggilan video call. Aku menerimanya dan sengaja membiarkan layar handphone memperlihatkan Zen juga. Aku tak ingin Astro menganggapku sedang melakukan tindakan sembunyi-sembunyi darinya.     

"Are you okay?" alih-alih bertanya kenapa Zen yang memegang kemudi, Astro justru bertanya bagaimana keadaanku. Seolah Zen mengemudikan mobilku bukanlah masalah baginya.     

"I'm okay. Masih di kampus?"     

"Iya, mau ketemu dosen. Hai, Zen."     

Zen menoleh, "Sorry, pacar kamu keliatannya lagi punya masalah jadi aku anter dari pada kenapa-napa di jalan."     

"It's okay. Tolong anter sampai rumah."     

Aku tahu apa yang terjadi di antara keduanya. Hal ini membuat kepalaku berdenyut semakin kencang.     

"Hati-hati, Honey. Kabarin aku kalau udah di rumah." ujar Astro yang dengan sengaja memanggilku dengan panggilan kesukaannya.     

Aku mengangguk dan video call kami terputus di sana. Aku melirik Zen dan menemukan raut kesal yang berusaha dia sembunyikan, "Thank you, Zen."     

Zen menoleh, "Masalah kamu apa? Kayaknya kamu baik-baik aja sama pacar kamu."     

"Sorry, aku ga bisa cerita."     

Hening di antara kami. Sepertinya Zen cukup tahu diri untuk tak bertanya lebih lanjut tentang apapun. Dia memintaku tetap di mobil sebelum masuk ke kafe untuk menitipkan kunci mobil pada kakaknya. Dia kembali dengan green tea float yang disodorkan padaku sebelum menyalakan mobilku kembali.     

"Ga usah mikir aneh-aneh. Itu kak Liana yang ngasih."     

"Thank you."     

Zen mengangguk, "Kamu ikut ke pameran?"     

Kurasa yang dimaksud olehnya adalah pameran lukisan Hanum Cokronegoro, papa Kak Sendy. Aku menaikkan bahu, "Aku belum tau."     

"Kalau Astro ga bisa nemenin kamu, kamu ga mungkin dateng ya?"     

Aku menoleh padanya. Aku tahu dia selalu memaksudkan setiap kata dalam kalimatnya, tapi kalimatnya yang terakhir membuatku berpikir. Sepertinya dia memahamiku dengan baik.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.