Hati
Hati
"Apanya yang ga perlu? Itu brownies harusnya dimakan, bukan dibauin gitu. Ga akan berasa." ujar Astro sambil meletakkan handphone yang sesaat lalu digenggam olehnya.
Aku menggelengkan kepala melihat tingkah mereka berdua, "Ga pa-pa. Aku kan udah janji mau bikin brownies kalau ke sini. Lagian sebentar lagi aku pindah, jadi ini brownies terakhir dariku."
Axelle duduk di salah satu kursi sambil menatapku, "Kan bisa bikin lagi kalau kamu pulang."
Aku tersenyum sambil duduk di kursi di samping Astro, "Kita mungkin baru pulang empat tahun lagi, atau mungkin lebih. Lagian katanya kamu mau ngelamar Mayang? Nanti aku ajarin Mayang bikin brownies pakai video call biar bisa bikin buat kamu."
Ada rona merah menyebar di wajah Axelle hingga dia mengalihkan tatapan dariku. Dia imut sekali.
"Mau berangkat sekarang?" Astro bertanya.
Aku mengangguk dan mengalihkan tatapan pada Axelle, "Kalau udah dingin masukin kulkas ya. Tadi Teana mau dua, sekarang dia lagi mandi. Jadi jangan kamu ambil semuanya."
"Kalian mau ke mana?" Axelle bertanya.
"Mau ketemu Donny."
"Kalian udah ketemu kakek?"
"Udah tadi sebelum bikin brownies. Inget ya, buat Teana dua loyang." ujarku sambil mengamit tangan Astro.
Axelle hanya mengangguk saat kami bangkit. Kami berjalan ke luar mansion dan menyusuri deretan pohon karet menuju pintu rahasia ke rumah sakit. Aku sudah meminta Ibu menemani Oma hari ini karena harus bertemu dengan Donny.
Sebetulnya Astro memintaku bertemu Donny beberapa hari lagi setelah perasaanku lebih baik, tapi aku menolak. Entah kenapa aku merasa lebih cepat bertemu dengan Donny akan lebih baik. Aku sangat berharap bisa melepas beban di dadaku setelah bertemu dengannya.
Setelah berbincang dengan Kyle dan Rilley semalam, aku tak mampu tidur walau hanya sebentar. Rasa kesal pada Abidzar dan keluarga Zen masih mengendap di hatiku. Ini terasa sangat menyebalkan. Aku hampir saja berteriak untuk melepas perasaan itu, tapi aku menahannya karena ada Oma yang membutuhkan istirahat lebih dari apapun.
Jian dan Eboth menjemput kami di depan rumah sakit. Kami langsung berkendara ke sebuah hotel dan sampai di hotel itu satu jam kemudian. Ada seorang perempuan berpakaian formal yang menjemput kami. Dia mengajak kami ke sebuah ruang pertemuan privat di lantai dua hotel itu.
Ruangan itu terdiri dari sebuah meja lebar dan banyak tatami di sekeliling mejanya. Hanya ada Donny dan Djoko Pranoto di ruangan itu. Aku dan Astro menundukkan bahu sebelum duduk, sedangkan Jian dan Eboth berdiri di dekat pintu masuk sambil mengawasi pembicaraan kami di dalam ruangan.
"Kami ikut berduka cita atas meninggalnya Om Abidzar." ujar Astro dengan tenang.
Ada raut yang berubah-ubah di wajah Donny dan Djoko Pranoto. Aku tahu mereka sedang menahan diri untuk tak menuduh kami. Terlebih, mereka sudah melakukan perjanjian dengan Pak Bambang sebelum dipulangkan kemarin.
"Aku ga akan basa-basi. Bukan aku yang bunuh papa kamu." ujarku sambil menatap Donny. "Papa kamu ngilang waktu aku kejar, tapi aku emang sempet nembak kakinya. Om Chandra minta aku sama Astro balik ke lokasi kalian nyekap Ibu sama Oma. Om Chandra yang lanjutin pencarian dan baru nemu mayat papa kamu di bawah tebing waktu udah siang."
Donny menatapku dalam diam. Begitu pun dengan Djoko Pranoto.
"Kita bisa nunggu kalian buka suara, tapi cuma setengah jam. Ada Oma yang harus aku jaga di rumah sakit. Jadi kita ga bisa lama-lama di sini."
"Kamu tau dari mana papaku punya anak lain?" Donny bertanya.
"Aku bisa kasih datanya ke kamu kalau kamu mau. Kamu bisa tes DNA juga kalau kamu mau, tapi aku minta jangan ganggu dia. Dia udah punya keluarga baru yang lebih baik dari keluarga kalian dan akan lebih baik kalau dia ga kenal kalian. Lagian, dia ga akan punya hak waris atas aset keluarga kalian, kan? Kalian harus berhenti ganggu orang lain cuma karena alasan ga suka."
Donny menatapku sendu, "Aku cuma nanya kamu tau dari mana papaku punya anak lain. Setauku papaku cuma suka sama satu perempuan. Papaku ga mungkin punya anak dari perempuan lain."
Aku mendengus pelan, "Siapa perempuan yang papa kamu suka?"
Donny menatapku dilema walau menjawab pada akhirnya, "Bunda kamu."
"Dan kamu masih heran kenapa dia bisa punya anak lain? Dia bahkan ga suka sama mama kamu, tapi kamu tetep lahir dan hidup sampai sekarang."
Donny terlihat terguncang hingga tak mampu mengatakan apapun. Djoko Pranoto pun terlihat salah tingkah.
"Maaf kalau kata-kata istriku bikin kalian tersinggung. Kalian tau, istriku udah kehilangan keluarga sejak masih kecil dan baru aja kehilangan Opa. Kalian juga bikin masalah berkali-kali belakangan ini, jadi emosinya lagi naik. Semoga kalian ngerti." ujar Astro, yang meninggalkan raut bersalah di kedua wajah yang duduk hadapan kami.
"Sebenernya aku pengen banget maafin kalian. Bukan dari perjanjian yang dibikin di atas kertas, tapi dari hati. Kalian ngerti?" ujarku sambil menunjuk ke dadaku yang masih terasa sakit dan gelisah. "Tapi kalian main-main sama hidup orang lain kayak kalian yang punya kuasa atas mereka. Itu bikin aku ga rela. Kalau aku mau jujur, aku pengen banget bunuh papa kamu. Sayang dia kabur."
Pupil mata Donny dan Djoko Pranoto bergetar hingga matanya memerah. Entah apakah mereka sedang merasa marah padaku atau merasa dipermalukan, yang manapun tak ada bedanya.
Aku menatap Djoko Pranoto, "Kenapa anda bunuh calon tanteku?"
Tubuh Djoko Pranoto bergetar dan bicara dengan nada tertahan, "Itu kecelakaan."
Aku tersenyum, "Kecelakaan? Tapi anda ga pernah minta maaf ke Opa atau Oma. Mungkin anda emang seneng karena bundaku akhirnya gagal punya adik."
Mata Djoko Pranoto terbelalak. Oma tak pernah menyebut apapun tentang apakah dia meminta maaf atau tidak setelah menembak calon adik Bunda. Namun sepertinya dugaanku benar, padahal aku hanya menebak dan sengaja memancing reaksi.
"Aku minta maaf, Faza." ujar Donny dengan tatapan sendu. "Aku minta ketemu kamu karena pengen minta kamu maafin perbuatan papaku. Juga perbuatan kakekku ke Oma kamu."
"Kalau cuma biar kalian bisa bebas, percuma. Kalian udah bikin perjanjian sama pengacaraku kemarin. Semua pasalnya jelas dan harusnya kalian tau kalian ga akan aku tuntut ke pengadilan selama kalian nepatin janji buat ga ganggu aku atau keluargaku lagi. Sampai keturunanku bertahun ke depan."
"Bukan itu maksudku." ujar Donny yang tiba-tiba tercekat. "Aku mau minta maaf dengan pantas, bukan dengan perjanjian. Kamu yang bilang kamu mau maafin kita. Tolong kasih kita kesempatan."
Aku hampir saja tertawa, tapi aku menahannya. Aku tahu Donny memiliki perjanjian dengan Opa untuk menjagaku seumur hidup. Yang dia lakukan kemarin juga adalah salah satu bentuk bukti darinya, tapi aku belum mempercayai Djoko Pranoto. Dia masih terlihat begitu arogan di mataku.
"Kamu mau minta apa buat ganti maaf dari kamu buat keluargaku? Aku akan kasih ke kamu. Apapun." Donny bertanya.
Aku menatap Djoko Pranoto lekat, "Anda harus ngaku apa aja yang kalian lakuin ke keluargaku di depan Oma. Aku akan tau kalau kalian bohong karena aku pegang semua data. Kalian harus dapetin maaf dari Oma sebelum dapet maaf dariku."
=======
NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING, di google play kalian masing-masing karena dia udah MALING novel ini.
TUTORIAL LAPORANNYA BISA KALIAN LIAT DI AKUN FESBUK: NOU. Thank you atas bantuannya ♡
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Kalau kalian mau baca novel nou yang lain, bisa follow akun Wattpad @iamnouveliezte
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-