Tante Seksi Itu Istriku

Wejangan Dari Sopir Taksi



Wejangan Dari Sopir Taksi

1Tanpa dijawab, pria tua itu pun tahu. Kalau wanita di belakangnya tidak ingin diajak untuk berbicara. Sebagai orang yang sudah hidup lama, memiliki banyak masalah juga sudah biasa. Untuk menghadapi masalah itu, biarkan saja ia membawa wanita itu ke tempat yang cocok. Taksi terus melaju dengan kecepatan tinggi. Cukup cepat untuk ukuran pria tua sepertinya. Namun tidak ada yang tidak mungkin baginya. Yang terpenting adalah bisa membuat Farisha merasa baik saat berada di dalam taksinya.     

"Dasar tidak tahu malu! Bagaimana dia masih bisa berkata seperti itu padaku? Usman, kenapa kamu orangnya sangat bodoh? Apa kamu tidak tahu mengapa aku mengusirmu? Ah, kenapa aku ini? Bodoh! Sialan!" umpat Farisha lirih. Ia memegangi kepala sendiri dan menghempaskan tubuhnya ke belakang untuk bersandar pada jok mobil. Punggungnya merasa sakit saat itu juga. Namun yang lebih sakit adalah hatinya. Tidak seharusnya ia mengusir atau memarahi suaminya yang bodoh.     

Dari awal, dirinya lah yang membawa dan meminta bantuan Usman untuk membuat pernikahan palsu. Secara perlahan ia juga merasakan kehangatan pemuda itu. Namun siapa sangka, sekarang keadaan telah berubah. Mungkin tanpa Usman pun ia akan mengalami nasib buruk. Mungkin akan lebih buruk dari sekarang. Namun ia tidak tahu bagaimana kembali pada Usman lagi. Ia merasa salah secepat ini namun tidak punya keberanian untuk kembali padanya. Akan percuma jika kembali pada seorang yang ia beri kepercayaan tapi kepercayaan itu dirinya sendiri yang mengkhianati.     

Sang sopir membawa Farisha berkeliling entah ke mana. Terakhir ia menghentikan mobilnya di pinggiran kota. Berada di depan bangunan tua yang terlihat usang. Farisha tidak tahu apa yang direncanakan oleh pria tua itu. Namun ia waspada dan merasa bersalah telah membentak orang tua itu juga.     

"Kamu turunlah ... mungkin kamu butuh ketenangan. Di sini tempatnya tenang dan sunyi. Walaupun di sini tempatnya tidak begitu bagus, setidaknya dengan sendirian, bisa melampiaskan semuanya di sini. Bisa teriak atau apa saja. Asalkan jangan bunuh diri."     

Farisha merasa juga ingin berterima sekencangnya. Ini adalah hal yang bisa dilakukan saat ini. Rasa marah, rasa benci dan kehilangan. Membuatnya frustasi dan stres. Jika harus marah, harus marah pada siapa? Dengan keadaan atau melampiaskan ke mana? Kalau harus membenci, siapa yang harus ia benci? Usman, kah? Ibunya, kah? Sang sopir taksi, kah? Atau siapa lagi? Yang membuat masalah itupun tidak ia ketahui.     

"Memangnya harus bagaimana? Di sini mungkin aku yang bersalah pada semuanya. Usman, sebenarnya kamu apa membenciku? Ahhh ... kenapa jadi seperti ini? Ibu, sebenarnya kamu ada di mana? Apa kamu tidak tahu aku jadi seperti ini?" Masih di dalam mobil, ia merenungi nasibnya.     

"Ayo, Mbak. Turun dari mobil. Saya tidak akan berbuat macam-macam padamu. Lagian saya sudah tua dan tidak lagi punya keinginan terhadap perempuan. Walau tidak bisa menyelesaikan masalahmu, kamu bisa membuat pikiranmu lebih tenang. Jika masalah yang dihadapi dengan emosi, tidak akan selesai masalahnya. Malah bisa membuat masalah baru lagi. Lebih baik kalau masalahnya diselesaikan dengan kepala dingin, kan?"     

Pria itu membuka pintu mobilnya. Membiarkan Farisha keluar dari mobil taksi. Saat keluar, memang saat ini mereka berada di tempat yang berbeda dari tempat sebelumnya yang ia datangi. Terlihat banyak gedung-gedung pencakar langit yang terabaikan. Karena lokasinya yang tidak strategis, membuat semuanya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya saja ruko-ruko yang telah dibangun dengan megah. Namun yang terlihat adalah warna kusam dan terlihat temboknya sudah mengelupas. Atapnya juga sudah sebagian yang rusak.     

"Di sini adalah gedung-gedung tua yang tidak diurus lagi. Kamu tahu, ini sudah dibangun lima puluh tahun yang lalu. Waktu itu di kota ini belum seperti ini. Ini karena para pengusaha properti itu masih memakai cara yang lama untuk bertahan. Namun pada akhirnya mereka ketinggalan cukup jauh. Mereka tidak mau belajar dari luar untuk menyelesaikan masalah. Mereka ngotot dan tidak mau menerima masukan dari orang lain. Dan akan seperti ini jika orang yang hatinya telah memiliki sifat seperti itu ...."     

Pria tua itu menunjuk ke arah sebuah gedung tinggi. Gedung itu berdiri kokoh dan memiliki banyak gedung lain di sebelahnya. Dilihat dari bangunannya, itu cukup bagus dan tidak jelek. Hanya saja sudah terlihat tua dan tidak terurus. Ada hotel, apartment dan ruko yang terbengkalai. Jalan pun terasa begitu sepi dan memang ia tidak pernah ke tempat itu. Padahal tidak terlalu jauh dari rumahnya. Namun karena dikira tidak penting pun membuat jalan itu jarang dilalui kendaraan.     

"Kau tahu apa yang membuat perusahaan properti seperti itu hancur? Ini karena akses jalannya! Dan tidak ada inovasi untuk membuat mereka maju. Setiap harinya akan dibangun gedung baru di sekitar tempat ini. Dan lihatlah gedung yang dalam pengerjaan itu! Itu adalah gedung yang nantinya akan menjadi sebuah mall. Namun apakah dengan dibangun mall, akan membuat mereka untung? Yah, kita tidak akan tahu ke depannya. Mungkin kalau ada inovasi dari anak-anak muda, akan lain jadinya."     

Farisha melihat apa yang ditunjuk pria itu. Ia mendengarkan apa yang dikatakan pria tua itu. Walau tidak mengerti maksud dari perkataan itu. Tapi memang ada benarnya. Tapi ia saat ini sedang bermasalah. Tapi tidak tahu bagaimana masalahnya sudah mendingan hanya dengan mendengar pria itu berbicara.     

"Hehehe ... kamu malah seperti anakku saja. Tapi sayangnya anakku sudah berusia hampir lima puluh tahun. Sekarang sudah menjadi istri orang kaya. Ah, dia suka dengar ceritaku saat sedang dalam masalah. Mungkin karena saya melihat kamu seperti anakku. Tapi sudahlah ... mungkin ini nasib kakek tua yang tidak dipedulikan oleh kakek sepertiku. Maaf juga saya malah banyak omong. Saya juga memiliki seorang cucu dari pernikahan anakku itu. Namun sekarang cucuku entah di mana. Ah, mungkin umurnya sekarang sudah dua puluh tahun. Seperti pemuda yang bersama denganmu tadi. Melihatnya seperti melihat cucuku sendiri."     

"Iya, maafkan saya, Pak. Atau Kek? Maaf kalau saya sudah memarahi anda. Saya benar-benar tidak tahu harus ngapain. Ibuku hilang setelah saya tinggal ke tempat yang tidak ada jaringan internet dan tidak ada kabar dari ibuku. Saya frustasi."     

"Iya, paham. Yah, mungkin tidak banyak yang berpikir seperti itu. Semoga kamu masih memikirkan orang tua saat orang tua membutuhkan. Tidak serta merta meninggalkan orang yang sudah berjasa membesarkan anak-anaknya. Karena saya juga punya anak. Yah, kamu tahu, dia selalu berbuat sesuka hatinya. Pertama dia menikah dengan orang desa. Kami orang tua juga tidak menyetujuinya karena orang desa tidak pernah benar. Pada akhirnya dia kecewa dan meningalkan desa itu. Namun anak tidak bersalah itu juga tidak tahu keadaannya karena suami anak saya dipenjara karena kekerasan dalam rumah tangga dan suka berjudi."     

Meskipun tidak tahu siapa orangnya, Farisha merasakan kesedihan dari pria lanjut usia itu. Seharusnya dalam masa senjanya ditemani oleh anak dan cucunya. Namun entah mengapa malah masih bekerja sebagai sopir taksi seperti itu.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.