Kembali Ke Swalayan
Kembali Ke Swalayan
Farisha mengambil kunci rolling door yang berada di tasnya. Ia selalu membawa itu dan saat akan membukanya, beberapa orang melihat Farisha seorang diri. Hal itu membuat orang-orang merasa lega karena swalayan itu diharapkan akan segera buka kembali. Saat masuk ke dalam, sudah banyak debu di dalam. Sudah lama ditinggal oleh Farisha dan Usman, kini ia kembali seorang diri. Yang berarti ia harus membersihkan tempat itu seorang diri.
'Mungkin masalah ini tidak sederhana itu. Aku harus bertahan apapun yang terjadi. Sebelum menemukan ibu, aku akan tetap berusaha semaksimal mungkin. Tapi ini harus ada yang mengurus. Hari ini aku kembali lagi ke tempat ini. Tapi sekarang sendiri lagi seperti dulu.'
Setidaknya ada beberapa barang yang jatuh. Dan banyak debu yang bertebaran ke segala arah. Ada yang menempel di lantai dan ada juga yang berada di tempat yang tinggi. Walau keadaannya saat ini sedang dalam keadaan tidak baik, ia tetap melakukan pekerjaannya. Menyelesaikan masalah dengan menangisi atau mengeluh tiada artinya. Tidak ada yang bisa diselesaikan dengan cara yang tidak baik. Yang ada hanya kekacauan dan masalah akan semakin banyak. Hidup selama tiga puluh tahun lamanya, membuat dirinya harus kebal dengan segala masalah.
"Ah, kenapa semuanya kotor begini?" Farisha meletakan tasnya ke meja kasir yang sudah ia bersihkan. Lalu ia membuka jaketnya dan hanya menyisahkan BHnya saja. Hari ini semakin panas dan nafas terasa pengap. Itulah yang membuat dirinya tidak tahan lagi. Namun jika ia memakai kipas angin, hanya akan menyebarkan debu dan membuat semakin berantakan.
Butuh satu jam lebih untuk membersihkan tempat itu. Hari ini belum makan dan hari semakin siang. Tidak banyak yang bisa dilakukan olehnya saat ini karena rasa lelahnya. Ia mengambil air mineral yang berada di dalam lemari pendingin. Bukan hanya merasa haus, ia juga merasa sangat lapar hari ini. Ia masih memiliki uang seratus ribuan sisa dari uang yang diberikan kepada Usman.
"Lebih baik makan terlebih dahulu. Setelah makan mungkin akan mendingan. Karena rasa lapar tidak akan menyelesaikan masalah yang semakin datang." Kembali Farisha mengenakan pakaiannya lalu menyambar tas yang berisi dompet. Dibawanya dompet itu meninggalkan swalayan.
Di sepanjang perjalanan, toko-toko mulai buka. Ada yang sudah buka sejak awal dan ada pula yang baru saja dibuka. Farisha memilih ke warung makan yang biasa Usman kunjungi. Walaupun sebenarnya ia tidak ingin ke sana. Tapi keadaannya sekarang ia tidak memakai mobil. Ia masih meninggalkan mobilnya di bengkel dan sampai sekarang belum diambil. Ia menghubungi pihak bengkel dengan mengirimkan pesan. Sambil menunggu balasan, ia masuk ke dalam warung makan.
"Mbak, nasi satu dibungkus!" ungkap Farisha tanpa ekspresi. Ia melihat perempuan muda yang sedang membantu orang tuanya. Dirinya cukup beruntung karena tidak bertemu langsung dengan wanita paruh baya itu. Tapi tidak kecil kemungkinan wanita itu muncul dan biasanya malah bikin kesal saja.
"Mau pakai apa, Mbak? Eh, ini bukannya Mbak Farisha? Kupikir sudah lama swalayannya tutup. Sekarang mau buka lagi, kah?" tanya perempuan itu. Ia mengambil bungkusan berupa kertas nasi. Tidak lupa juga ia ambil nasinya sambil menunggu apa saja lauk yang harus ditambahkan.
"Pakai apa saja, deh. Yang penting enak dimakan. Jangan lupa semur ayamnya, yah!" balas Farisha dengan agak kesal. Ia tidak ingin ditanya-tanya lagi kalau masalah hidupnya. Karena ia hanya ingin sendiri saat ini dan dari dulu juga merupakan orang tertutup pada orang lain.
Anak perempuan itu segera mengambil apa yang ada di dekatnya. Seperti yang biasa dipesan oleh Usman selama ia melihat pemuda itu membeli makanan. Melihat ekspresi Farisha, ia hanya bisa menahan pertanyaan lainnya. Karena hanya ada Farisha, membuktikan kalau Usman sudah tidak bekerja lagi. Dan itu sudah menjadi kebiasaan kalau Farisha akan kehilangan karyawan yang dimiliki.
"Semoga dapat lagi karyawan yang lebih baik lagi. Maaf, ini pakai sambal atau tidak? Saya belum tahu kesukaan Mbak ini." Perempuan muda itu gemetaran dan merasa sungkan. Padahal mereka adalah tetangga. Sama-sama menyewa ruko yang berdekatan. Namun belakangan terdengar kabar bahwa, Farisha sudah membeli ruko itu. Menjadikan Farisha pemilik ruko yang sah.
"Terserah saja, lah. Kasih sedikit saja, deh." Lalu ia melihat perempuan itu memasukan sambal ke atas nasi. Lalu Farisha bertanya, "Sudah? Berapa semuanya?" Setelah ia melihat makanannya sudah dibungkus dengan rapi, saatnya untuk membayar. Ia memberikan uang ratusan ribu yang satu-satunya ia miliki saat ini.
"Eh, ini belum ada kembalian, Mbak. Nanti balik ke sini lagi aja, setelah siang nanti, In Sya Allah sudah ada kembaliannya, kok," pungkas perempuan muda itu dengan senyuman ramah.
"Kalau begitu, ambil saja kembaliannya! Aku juga nggak akan ke sini lagi nanti siang. Atau kalau masih ke sini, tinggal itung lagi saja. Jadi ini berapa?" Kembali Farisha bertanya pada lawan bicaranya.
"Ini lima belas ribu saja, Mbak. Kalau begitu uangnya ada di sini tinggal delapan puluh ribu, yah?" pungkas sang anak pemilik warung makan itu. Ia mengambil uang dan memberikan makanan yang sudah dibungkus rapih.
Tanpa berkata apapun, Farisha mengambil makanan itu dan meninggalkan tempat itu. Tidak ingin berurusan orang tua dari perempuan yang melayaninya membeli nasi bungkus. Pandangannya lurus ke depan dan dilihatnya beberapa orang berkumpul. Sudah pasti para wanita itu sedang bergunjing tentangnya. Ia juga mendengar apa yang mereka katakan. Tapi ia harus tetap menahan amarahnya.
"Hei, dia kok balik lagi, yah? Padahal sudah dua mingguan swalayan itu tutup. Mana mungkin bisa bertahan lama? Mungkin karyawannya yang itu juga tahu kelakuan wanita itu. Makanya jadi keluar dari pekerjaan. Memang wanita pembawa sial itu."
"Iya, loh. Kenapa wanita seperti dia hanya bisa merusak pemandangan saja? Mungkin karyawannya yang terakhir itu kelihatan tidak ganteng. Tapi dia baik anaknya. Melihat bosnya yang tidak normal pun akhirnya sadar juga. Kalau butuh karyawan juga saya mau memperkerjakan pemuda itu. Tapi sekarang sudah entah ke mana itu bocah."
Orang-orang masih bergosip di samping Farisha. Wanita itu tidak akan gentar dengan omongan para tetangga julidnya. Ia memilih untuk kembali ke swalayan miliknya. Namun ia mungkin sudah kebal dengan omongan orang-orang itu. Tapi tetap saja, saat ia membuka swalayan itu lagi, akan ada yang membelinya. Tapi ia sudah sangat lelah dengan semua masalah yang harus ia hadapi.
"Dasar orang-orang gila. Beraninya ngomongin di belakang. Nyesel beli ruko di sini kalau orangnya seperti itu terus. Tidak tahu apa, mereka akan tetap menghancurkannya." Farisha berkata lirih. Kembali ia ke swalayan miliknya tanpa harus memperdulikan masalah mereka. Setidaknya ia tidak ada masalah dengan siapapun lagi. Tapi karena mereka sendiri yang membuat masalah.
***