Mengajari Suami
Mengajari Suami
"Baik, sama-sama, yah." Pria itu pun meninggalkan tempat itu dan membiarkan barang bawaannya di perahu. "Hei, ini aku sudah dapat banyak! Cepat bawain semuanya, yah!" perintahnya pada seorang remaja berusia sekitar tujuh belas tahunan.
"Baik, Pak. Itu, ibu sudah masak buat Bapak. Pasti dapat banyak, yah?" tanya remaja itu. Ia adalah anak dari nelayan itu yang baru pulang dari sekolah dan langsung menunggu bapaknya yang pergi melaut.
Usman dan Farisha berjalan meninggalkan tempat. Pakaian yang mereka kenakan juga basah dan harus cepat berganti pakaian dan mandi lagi. Untungnya di rumah yang mereka tinggali memiliki air yang lancar karena menggunakan sumur bor. Sementara itu, listrik juga dapat dan penyaluran listrik lancar jaya. Walaupun mereka tinggal di daerah terpencil. Tapi semuanya berjalan sesuai keinginan.
Senyuman Farisha tidak bisa hilang begitu saja ketika dirinya dan sang suami berjalan bersama saat ini. Apalagi ucapan nelayan tadi membuatnya malu. Dia juga tidak bisa membuat ibunya kecewa karena dirinya. Ia akan memastikan akan memberikan apa yang diminta Azhari. Yaitu seorang cucu yang lucu. Itu akan membuat suasana rumah menjadi hangat. Hanya beberapa masalah lainnya, ia juga mengingatnya.
Ada kebahagiaan, tentunya ada resiko yang harus diambil. Apalagi kalau nanti mereka pulang ke rumah di kota, Farisha akan berhadapan dengan Vania dan harus memikirkan cara agar bisa melewati semuanya. Kini keadaan Farisha bukan lagi seorang gadis perawan seperti sebelum meninggalkan kota. Dan akan ada masalah lagi kalau dirinya hamil dan punya anak. Benny adalah kemungkinan masalah terbesarnya karena pasti orang tua itu tidak terima kalau anak perempuannya menikah sampai punya anak dengan pemuda desa miskin seperti Usman.
"Usman, mungkin nanti kita akan menghadapi berbagai masalah. Aku harus jujur padamu satu hal. Maukah kamu berjanji, mau memaafkanku?" tanya Farisha dengan rasa cemas. Tapi ia sudah memutuskan untuk berubah. Ia juga tidak ingin menutupi semua yang ia rahasiakan selama ini.
"Iya, kita bicaranya nanti saja kalau sampai di rumah, yah! Aku sudah merasa haus soalnya. Maaf, Tante. Tapi kalau masalah apapun, aku akan menerimanya." Sekali lagi, Usman merasa sebagai bawahan, apapun yang dilakukan atasan adalah mutlak tidak bisa diganggu gugat.
"Baiklah ... kita segera kembali ke rumah. Tapi kamu sudah berjanji. Kalau suatu hari nanti aku ada masalah, kamu mau bantuin aku, kan? Atau saat aku tidak bisa memberimu apa yang seharusnya, apakah kamu masih mau di sisiku?" Masih ada rasa khawatir di dalam hatinya. Sebelum mereka kembali ke kota, setidaknya ia harus memiliki cara untuk menghadapi masalah yang jelas akan terjadi nantinya.
"Iya, Tante. Aku sudah mengatakannya sebelumnya. Kenapa harus diulang terus? Aku berjanji, akan ada untukmu. Dan akan melindungimu sekuat tenaga. Selama ada aku, aku akan mempertaruhkan nyawa untuk melindungi. Walau aku bukan orang hebat. Tapi aku seorang lelaki yang harus tanggung jawab kepada seorang wanita yang menjadi istriku."
Pernyataan Usman membuat Farisha yakin. Dalam kondisi mengapit lengan sang suami, Farisha menurunkan tangannya karena badannya lebih tinggi dari Usman. Terlihat begitu mesra dan orang-orang yang melihatnya akan merasa iri jika melihat keduanya.
Tidak lama kemudian, mereka pun sampai di rumah. Mereka segera masuk ke dalam dengan bergandengan tangan. Sampai mereka masuk ke dalam, Kasmiyah sudah tidak lagi datang ke rumah. Mereka sudah seminggu di desa Tapangwaru. Farisha dan Usman perlahan belajar memasak. Hidup tanpa internet karena tidak ada jaringan ponsel, membuat mereka hidup seperti orang desa. Bedanya, Farisha masih memiliki banyak tabungan. Tidak akan habis kalau mereka berada di desa selama setahun. Bahkan kalau Farisha hamil dan punya anak pun masih bisa bertahan hidup. Namun ia harus segera menyelesaikan masalahnya. Ia juga sudah rindu dengan ibunya. Juga apa kabarnya kekasihnya yang sesama wanita.
"Di sini susah jaringan internetnya. Jadi tidak mudah untuk menghubungi ibu. Ke mana ada jaringan yang bagus?" Farisha masuk ke dalam rumah. Menggenggam ponselnya yang sampai sekarang tidak bisa menemukan jaringan internet sama sekali.
Usman tidak tahu menahu soal jaringan internet. Juga tidak tahu masalah hape yang sudah setiap orang memilikinya. Hanya saja Usman tidak tahu perkembangan teknologi. Maka ia hanya bisa melihat Farisha yang memainkan benda itu. Menyadari akan hal itu, Farisha menghela nafasnya. Ia sudah berpikir akan memberikan ponsel padanya. Namun sampai sekarang pun belum kesampaian. Maka ia membawa Usman untuk duduk di sofa dan menyerahkan ponselnya pada pemuda di sampingnya.
"Ini apa, Tante? Aku nggak tahu cara pakainya." Usman menolak ponsel itu karena bingung, cara menggunakannya. Ia juga tidak tahu apa yang di pikiran wanita yang menjadi istrinya itu.
"Nggak apa-apa, Man. Aku akan ajari kamu menggunakan ini. Biar nanti kalau kita kembali ke Jakarta, nanti aku belikan untuk kamu. Ini penting untuk komunikasi, tau! Kamu pegang ini. Coba kamu pencet tombol di samping, yang bagian bawah. Nah , ini namanya timbul power. Untuk menyalakan ponsel saat keadaan layar mati. Dan di atasnya ada tombol panjang, itu adalah tombol volume. Jadi kalau kamu dengerin musik, bisa dipelankan atau keraskan suaranya ...."
Perlahan namun pasti, Farisha mengajarkan cara menggunakan telepon genggam kepada Usman. Walau lelaki itu tidak langsung paham dan kadang susah diajari. Mula-mula, Farisha mengajarkan bagaimana cara menghidupkan dan mematikan layar ponsel. Lalu memencet di layar ponsel dengan jarinya.
"Wah, kok bisa nggak ada pencetannya? Ini tanganku enggak kesetrum, kan?" tanya Usman dengan rasa takut. Ia takut kalau nanti tangannya kesetrum karena di layar tidak ada tombol. Tapi layarnya bisa ditekan dengan jarinya. Ia lihat wanita itu juga menekan-nekan layar. Tapi tidak terjadi apapun terhadapnya. Saat Usman mencoba, ia langsung menjauhkan tangannya dari layar ponsel itu.
"Lah, kenapa malah takut begini? Orang nggak apa-apa, kok. Masa gini aja kesetrum? Huhh, ada-ada saja kamu, Usman, Usman. Uiihhhh ... sudahlah, ayo pencet layarnya. Kamu bisa buka aplikasi apa saja. Misalnya musik atau galeri? Pencet yang kamu mau buka. Kamu bisa baca, kan?"
"Ya bisa, lah. Orang aku bukannya nggak bisa baca. Aku nggak bisa pakai hape ini, Tante," jawabnya lirih. Ia menekan tombol galeri dan terpampang banyak foto yang terlihat. Sebuah album gambar yang pernah diambil oleh Farisha. "Eh, ini fotonya bukanya, apa dipencet lagi?"
Farisha menganggukan kepala dan menjawab, "Iya, Man. Kamu mau lihat yang mana, pencet saja gambarnya! Di galeri hape, ada foto nikah kita, loh. Ada juga beberapa gambar dari download dan editan sendiri, hehehe. Ayo kamu mau lihat foto siapa? Atau kamu mau lihat fotoku saat pakai lingerie, nggak?"
***