Tante Seksi Itu Istriku

Desa Tapangwaru



Desa Tapangwaru

3Setelah persiapan selesai, mereka pun mulai membakar ikannya. Anak-anak sangat senang ketika mereka mendapatkan masing-masing satu ikan dengan ukuran cukup besar. Setelah semua matang, mereka pun mulai memakannya. Selesai makan, mereka pun berpamitan pada Usman dan Farisha.     

"Terima kasih, Tante sama Masnya, sudah mau kasih makan ayam bakar. Kalau begitu, kami pulang dulu, yah! Besok kalau mau adakan acara seperti ini, bilang-bilang pada kami, yah!" Mereka berseru bersemangat setelah makan cukup banyak.     

"Iya sudah ... kalian boleh pulang ke rumah masing-masing. Tapi nggak janji, yah! Semoga kita bisa makan-makan lagi," balas Farisha, tersenyum senang. Ia sudah cukup makannya. Setelahnya, ia dan Usman akan berada di rumah atau jalan-jalan di sekitar.     

"Iya, terima kasih juga, kalian mau bareng-bareng bikin ikan bakar. Jadi rame kan, di sini," imbuh Usman pada anak-anak tersebut. Ia melambaikan tangan pada mereka yang sudah berjalan meninggalkan dirinya serta sang istri.     

Sementara pemuda yang belum diketahui namanya itu, juga tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan. Karena tidak ada anak-anak lagi dan karena merasa masih lapar tapi gengsi, berniat untuk pamitan. Ia juga bisa membeli makanan enak dengan uang yang diberikan oleh Farisha.     

"Kalau begitu, aku juga mau pergi dulu. Terima kasih sudah ngadain acara makan-makan. Selamat siang, Mas, Mbak." Pemuda itu pun berpamitan.     

"Iya, Mas. Sama-sama. Terima kasih juga karena telah membantu kami. Selamat siang juga, yah. Silahkan kalau mau pulang, Mas," balas Farisha pada pemuda itu.     

'Padahal hanya main-main saja. Ah, kenapa disuruh pulang beneran?' tanya pemuda itu di dalam hati. Ia lalu melambaikan tangan dan berucap, "Ya sudah, selamst tinggal." Dengan melangkahkan kakinya, ia berjalan perlahan.     

Farisha dan Usman melihat ke arah pemuda itu. Sekarang hanya tinggal Farisha dan Usman saja di rumah itu. Tibalah saatnya mereka membereskan bekas perbuatan mereka. Siang menjelang sore, tidak ada acara lagi. Usman membereskan semuanya, sedangkan Farisha meninggalkan sang suami agar melakukan pekerjaannya.     

Wanita itu memutuskan membawa sepeda motornya untuk keluar dari rumah. Waktu masih menunjukkan pukul dua siang. Masih ada waktu sebelum sore hari tiba. Ia tidak ada rencana lain, selain mengerjakan apa yang ia inginkan saat ini.     

"Hemmm ... sepertinya sepeda motor ini bisa dipakai? Tapi sayangnya tidak tahu jalan di desa ini. Mungkin enak kalau Jalan-jalan pakai motor sebentar," kata Farisha, naik motor di depan rumahnya. Kunci motor masih berada di tempatnya. Tapi sampai sekarang pun tidak ada yang mengambil sepeda motor itu. Berarti keadaan di desa dekat pantai itu cukup aman. Hanya saja dirinya belum tahu, nama daerah atau tempat dirinya berpijak.     

Sepeda motor itu melaju dengan kecepatan sedang. Karena Farisha sudah lama tidak memakai sepeda motor, selama ini selalu menggunakan mobil untuk bepergian. Maka saat ia memakai sepeda motor lagi, dirinya merasa lebih sulit. Wanita tiga puluh tahun itu membawa sepeda motor dengan perlahan, sampailah di dekat sebuah rumah sederhana tapi terlihat bersih dan rapih.     

"Ah, kurasa dari umur belasan, sudah lama banget tidak bisa naik sepeda motor lagi. Uhh, sepertinya memang sulit seperti yang dibayangkan. Emm ... apakah di sini adalah rumah milik bu Kasmiyah?"     

Setelah sampai di depan rumah pertama yang terlihat, Farisha menghentikan laju sepeda motor itu. Melihat ke arah rumah yang terlihat sederhana, dengan cat yang sudah mengelupas tapi tetap terlihat rapih. Karena di luar rumah cukup bersih dan ada beberapa tanaman seperti cabai dan beberapa tanaman yang berada di dalam polibag.     

"Apa ini rumahnya bu Kasmiyah?" tanya Farisha kepada sang suami yang membonceng di belakang. Ia menengok ke belakang untuk bertanya lebih jelas dan melihat lelaki itu hanya terbengong, membuat dirinya kembali berucap, "Kamu ngapain bengong begitu? Ayo turun dari motor! Aku susah turunnya, nih."     

Usman pun tergagap, "Eh ... i-iya iyaaa ... aku turun, yah." Yang selanjutnya ia lakukan adalah turun dari sepeda motor yang dikendarai Farisha dengan perlahan. Sebenarnya sebagai seorang laki-laki, ia merasa malu karena tidak bisa mengendarai sepeda motor. Tapi memang ia tidak memiliki kemampuan itu.     

Setelah Usman turun dari sepeda motor, Farisha pun mengikuti sang suami. Terlebih dahulu, ia memarkirkan motornya di bawah pohon ketapang yang ada di depan rumah. Di sana ada seorang pria paruh baya yang tengah istirahat di depan rumah. Melihat Farisha dan Usman, pria itu lantas berdiri dari duduknya.     

"Emm ... oh ini ada Mas Usman? Dan ini pasti anaknya bu Azhari, Non Farisha? Eh, mari ... mari ke dalam rumah. Ini istriku sedang mandi di dalam. Maaf karena istriku seharian membantuku." Pria peauh baya itu lantas tersenyum sopan sambil menunduk ke arah Farisha.     

"Iya, Pak ... nggak apa-apa, kok. Kami ke sini hanya untuk silaturahmi saja, Pak. Kita belum bertemu sebelumnya. Ini adalah suami dari bu Kasmiyah? Mungkin sudah tahu saya. Ya ... namaku Farisha," ungkap Farisha memperkenalkan diri, mengulurkan tangannya pada pria paruh baya tersebut.     

"Oh, iya ... kalau begitu, panggil saja namaku Tohari. Panggil saja pak Tohari, hehehe." Pria itu melirik ke arah wajah Farisha, terlihat wajah cantiknya walau memang terlihat berusia dewasa. Bisa dibandingkan dengan Usman di samping wanita itu, yang terlihat lebih muda.     

"Iya, kami hanya perlu sebentar saja, kok. Aku nggak tahu kenapa ibuku membawa kami ke sini. Tapi memang pemandangan di sekitar pantai, cukup indah dan masih belum terjamah turis. Belum banyak sampah plastik dan kayaknya masih banyak ikan yang bisa didapat."     

"Iya. Di sini memang belum terjamah oleh orang-orang. Oh ... mari duduk! Maafkan rumah kami yang ... yah beginilah." Pria paruh baya itu mempersilahkan Farisha dan Usman untuk duduk di bangku yang ada di depan rumah. "Ini juga berkar bantuan dari ibu Azhari, beberapa tahun lalu. Jadilah rumah kami diperbaiki oleh beliau."     

Tohari tidak tahu apa yang membawa Farisha dan Usman ke rumahnya. Namun yang pasti, ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Ia hendak masuk ke dalam rumah untuk mengambil minuman yang akan ia hidangkan pada kedua tamunya.     

"Pak ... nggak usah repot-repot," celetuk Farisha. Lalu ia melanjutkan, "Orang kami hanya sebentar saja, kok. Jadi kami mau jalan-jalan ke sekitaran sini. Tapi kami tidak tahu apapun. Jadinya kami mungkin akan tersesat kalau tidak tahu jalan. Bahkan daerah ini saja kami tidak tahu namanya." Dari semenjak dirinya baru sampai, sampai sekarang, ia pun belum mengetahui nama desa. Yah, setidaknya tahu nama desa dan daerah-daerah yang ada di pesisir pantau itu. Jika nantinya dirinya tersesat, tidak akan terlalu merepotkan orang. Ia bisa langsung bertanya saja ke orang lain atau tahu seluk beluknya.     

Pria paruh baya itu tersenyum. Tidak menyangka kalau wanita di hadapannya bahkan tidak mengetahuinya. "Yah ... desa ini bernama desa Tapangwaru. Diambil dari kata ketapang dan waru. Lihat sajalah ... di sini banyak sekali pohon ketapang dan waru. Sekarang tidak terlalu banyak, berbeda dengan dulu yang banyak sekali."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.