Tante Seksi Itu Istriku

Jalan-jalan Santai



Jalan-jalan Santai

1Menanggapi ungkapan dari Sita, Farisha menjawab, "Terima kasih, Dek. Kok kelapanya masih dipegangin saja? Kasih ke pak Ahmad, biar dikupasin." Farisha menerima tas yang diserahkan anak perempuan tujuh tahun itu.     

"Iya nih, Pak. Kupaskan punyaku ini, yah!" pinta anak perempuan yang baru saja menyerahkan tas kepada Farisha. Anak itu melihat teman-temannya sudah hampir menghabiskan setengah air kelapa. Tapi sudah meletakan kembali kelapanya.     

Anak-anak itu tidak bisa menghabiskan airnya. Karena kelapa muda terlalu banyak airnya untuk bisa dihabiskan oleh anak-anak. Ahmad tahu kebiasaan mereka yang kadang tidak menghabiskan air kelapa. Mereka akan meminumnya ketika ingin lagi. Farisha merasakan air kelapa itu masuk ke tenggorokannya. Usman pun merasa hal yang sama. Kelapa yang baru dipetik, memiliki rasa yang masih segar. Apalagi diminum saat sedang istirahat karena lelah.     

"Anak-anak, kalian bisa lanjutkan bermainnya. Atau ada yang mau aku belahin kelapanya? Kalau airnya sudah habis, bisa dibelah," tawar Ahmad. Meskipun dia tahu kalau anak-anak itu tidak sanggup. Tapi berbeda dengan dua orang dewasa, Usman dan Farisha yang sudah hampir menghabiskan air kelapa masing-masing.     

"Enggak, Pak. Ini buat nanti saja, deh! Ayo kita lanjutkan bermainnya! Terima kasih, Pak Ahmad! Kita mau makan ketapang. Tadi siapa yang sudah menang?" Anak-anak itu berlari meninggalkan anak perempuan yang belum puas minum. Maka ia hanya bisa terburu-buru untuk menyelesaikannya.     

"Duh, kamu anak perempuan sendiri, kok malah kayak anak laki-laki. Sudah, jangan lagi terburu-buru! Pelan-pelan saja makannya. Nggak ada orang yang mau ambil semua darimu!" Ahmad menepuk pundak anak perempuan itu sambil menggelengkan kepalanya.     

Anak itu tidak menggubris apa yang dikatakan oleh Ahmad. Ia memilih untuk berlari dan membiarkan sisa air kelapa yang masih banyak. Membuat Farisha dan Usman saling menatap. Ada, anak perempuan yang kayak anak laki-laki seperti itu. Setelah anak itu berlari menuju ke teman-temannya, tinggal tiga orang dewasa yang duduk di batu besar itu.     

"Sepertinya saya harus kembali bekerja! Kalian lanjutkan saja bulan madunya! Tapi ingat, jangan main-main di tempat terbuka. Kadang ada orang yang lihat, hahaha!" Ahmad meninggalkan Farisha dan Usman dengan tertawa tanpa sebab.     

Padahal tidak ada yang lucu bagi Usman dan Farisha. Keduanya saling menatap dan menggeleng bersamaan. Setelah itu, keduanya berdiri setelah menghabiskan air kelapa. Di bawah sinar matahari yang semakin terik, Usman dan Farisha bermaksud mengeringkan pakaian mereka. Kalau pakaian yang melekat di badan akan lebih cepat kering. Apalagi kaos Farisha yang tipis, kini sudah agak kering. Sementara Usman yang memakai pakaian pendek pun sudah merasa semakin panas.     

Kulit Usman yang sudah jarang terkena sinar matahari, kini harus terpapar kembali. Itu mempengaruhi warna kulit pemuda itu karena sekarang agak putihan dari pertama kali kenal Farisha. Tapi akan cepat menghitam kalau lama-lama kena sinar matahari yang terik itu.     

"Kita mau ke mana lagi, Tante? Apa mau main-main sama anak-anak lagi? Aku akan temani ke mana saja Tante pergi." Usman akan menurut saja, mengekor dari belakang. Ke manapun Farisha pergi, ia juga akan pergi.     

"Kamu mau ke mana dulu? Kita jalan-jalan saja di sini, Man. Kamu fotoin aku, dong! Ini hapenya, aku serahkan ke kamu biar bisa fotoin aku!" Farisha menyerahkan telepon genggam miliknya yang ia ambil di dalam tasnya. Liburan di pantai, ia tidak akan menyia-nyiakannya. Apalagi ini adalah bulan madu yang sudah disiapkan oleh ibunya.     

"Tante ... aku nggak bisa pakai ini. Bagaimana hidupinnya?" tanya Usman bingung. Ia kembali menyerahkan telepon genggamnya pada sang istri. Bagaimana bisa tahu, dirinya tidak pernah bermain-main dengan peralatan elektronik sebelumnya. Apalagi kalau telepon genggam yang tidak pernah ia pegang sebelumya.     

Farisha menerima telepon genggamnya seraya bertanya, "Lah, masa kamu nggak bisa menyalakan ini? Tinggal di tekan ini saja, terus buka aplikasi kamera. Masa gini saja nggak tahu?" Tapi ia mengingat kalau Usman memang tidak pernah membawa telepon genggam. Ia juga tidak memfasilitasi hal itu selama bekerja di swalayan.     

"Beneran, Tante ... aku memang nggak pernah pegang yang begituan. Mana mungkin aku tahu itu apa? Maaf kalau memang aku tidak tahu menahu. Aku orang bodoh dan bukan dari orang yang punya." Usman merenungi nasibnya sendiri. Mengapa ia harus hidup miskin sebelumnya? Pendidikan yang hanya lulusan sekolah dasar itu membuat dirinya tidak bisa bekerja di tempat kebanyakan anak-anak muda dapatkan.     

Usman mengingat dulu, saat ia punya tabungan untuk membeli telepon genggam yang saat itu sedang ramai. Dengan berbagai bentuk telepon genggam. Mungkin kalau di waktu dulu, ia bisa memainkannya. Tapi tidak untuk ponsel zaman sekarang yang tidak memiliki tombol di layarnya.     

"Ini kok nggak ada pencetannya? Ya nggak tahu caranya, lah. Dan ini masa hape gede hanya ada kaca lebar saja, nggak ada tombol sama sekali," tutur Usman, mengat bagaimana ia hidup sebelum bertemu dengan Farisha.     

"Masa nggak tahu? Kan di mana-mana, hape ya gini. Full touchscreen, nggak ada tombol kayak hape jaman dahulu. Yah, mungkin yang kamu msksud itu yang di tahun sebelum ada android. Tapj ya sudahlah ... nanti kalau ada waktu akan kuberikan hape untuk kamu. Kita juga susah kalau berkomunikasi tanpa adanya hape."     

"Nggak usah, Tante ... aku akan beli sendiri. Itu harganya nggak mahal, kan? Mungkin kalau aku mau, sudah bisa beli sekarang. Besok kalau sudah pulang, aku akan membelinya," ujar Usman, menolak niat Farisha. Walau ia tahu, untuk membeli barang seperti itu, akan sangat mudah. Apalagi latar belakang Farisha yang kaya itu.     

"Terserah kamu saja, Man. Kalau kamu nggak mau, ya sudah ... tapi aku sendiri juga butuh untuk komunikasi. Kita bahas saja ke depannya. Nanti aku ajarin di rumah. Dan sekarang kamu bawain ini saja, yah! Kita jalan-jalan saja menyusuri pantai. Di sini pemandangannya sangat indah!"     

Anak-anak sudah sibuk dengan dunia mereka sendiri. Begitu juga Usman dan Farisha yang sekarang sudah menjauh dari anak-anak yang bermain bersama. Sementara pria paruh baya yang memberikan kelapa muda, telah pergi entah ke mana. Yang jelas orang itu sedang bekerja untuk mencari uang. Karena melihat pakaian kotor dan parang yang dibawa, menandakan orang itu sedang berkeliaran di pantai dan entah sedang berbuat apa.     

"Eh, itu ada burung-burung di sana! Apa kamu melihatnya? Kenapa aku tidak pernah melihat burung yang sebesar itu, yah?" tunjuk Farisha ke arah langit yang banyak burung berterbangan.     

"Eh, mana? Enggak, lah. Burungnya kenapa?" Usman dari tadi melamun karena masalah ponsel tadi. Sehingga saay sang istri mengatakan burung, membuatnya gagal fokus ke arah yang lain.     

"Kamu ngalamunin apa, sih? Kenapa nggak fokus begitu? Apa kamu kira, aku sedang membicarakan burung punya kamu? Yah, nggak tahu punyamu apa gede atau tidak. Emm, apa kamu sudah kepikiran untuk bikin anak denganku?" goda Farisha.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.