Tante Seksi Itu Istriku

Keramahtamahan Warga



Keramahtamahan Warga

2"Masnya pegangan yang erat, yah! Soalnya sudah lama nggak pakai motor. Jadi mungkin sudah agak lupa bagaimana membawa motornya, hehehe," kekeh Lukman santai. Lelaki paruh baya itu pun menjalankan sepeda motor itu setelah Usman naik dan berpegangan pada pinggangnya.     

Motor melaju dengan kecepatan sedang. Udara pagi yang masih segar karena banyaknya pepohonan yang tumbuh dengan baik serta daun yang lebat. Membuat udara di sekitar pun terasa segar dan membuat betah lama-lama berada di desa di tepi pantai tersebut.     

"Hidup di sini rasanya enak kan, Mas? Di sini sepi dan tentu tidak akan ada yang menggangu. Walau kadang ada orang yang ke pantai tapi pantainya sering sepi. Apalagi kalau hari-hari seperti ini, anak-anak mungkin sedang sekolah. Jadi kalau bermesraan dengan istri, tidak takut ada yang menggangu."     

Usman tidak tahu apa yang dikatakan oleh Lukman. Tapi pemuda di belakang, hanya mengangguk saja. Walau sebenarnya ia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada beberapa anak dan juga orang yang tengah menuju ke pantai. Tentu mereka akan melewati pantai di belakang rumah.     

Sekitar seratus meter mereka pun sampai di depan rumah kecil tapi terlihat rapih. Tidak dibilang sebagai rumah mewah tapi tidak terlalu buruk. Seorang anak kecil sedang bermain dengan senangnya di depan rumah. Ada juga seorang pria paruh baya, sedang menganyam sebuah tikar di depan rumah. Lukman memberhentikan sepeda motornya di depan rumah.     

"Permisi, Pak. Ibunya ada di rumah?" tanya Lukman yang langsung menghampiri pria paruh baya itu. Ia mengajak Usman untuk menemui warga di sekitar, seperti orang yang sedang menganyam tikar dari daun pandan tersebut.     

"Oh, sepertinya pernah bertemu? Oh, mungkin orangnya bu Azhari, yah? Kebenaran kata istriku anaknya bu Azhari sudah menikah. Dan saat ini sudah ada di desa ini. Hemm, sebentar! Aku panggil istriku dulu!" pungkas pria paruh baya tersebut.     

"Iya, Pak. Silahkan ..." balas Lukman. Membiarkan pria itu masuk ke dalam. Sementara terlihat Usman yang masih bingung. "Itu suaminya bu Kasmiyah. Orangnya juga baik. Makanya rumah ini dibangun oleh bu Azhari sebagai tanda terima kasih. Dan bu Kasmiyah yang tidak mau berutang budi, yang merawat rumah yang di tempati oleh kita semalam."     

Lukman menjelaskan itu semua kepada Usman karena itu harusnya lelaki itu tahu ceritanya. Jadi tidak akan berpikiran yang macam-macam. Usman pun menganggukkan kepalanya paham. Ia juga kagum dengan kebaikan orang- orang yang di desa dan juga orang tua Farisha yang baik. Tentu sifat baik dari Azhari menurun kepada Farisha. Bukannya sifat yang menurun dari ayahnya yang kejam itu.     

"Iya, Pak. Orang baik, ketemu juga dengan orang baik. Jadi sama-sama orang baik. Pasti aku tidak akan terlalu merepotkan beliau," kata Usman berjanji di dalam dirinya sendiri.     

"Syukurlah kalau Masnya memiliki pemikiran seperti itu. Kalau begitu, non Farisha juga tidak asal memilih orang menjadi suami. Benar-benar orang yang bertanggung jawab. Pokoknya semangat dan cepat punya momongan." Lukman menepuk pundak Usman, pemuda yang memiliki tinggi badan lebih pendek darinya. Tapi nasibnya yang lebih beruntung darinya.     

Pria yang memanggil istrinya pun kembali mengajak wanita yang dimaksud. Kasmiyah sedang memasak ketika ia dipanggil sang suami. Sang suami pun tidak enak hati jika istrinya dimintai pertolongan untuk melayani anak dari dermawan yang membangun rumahnya jadi seperti itu.     

"Maaf, istri saya sedang memasak di dapur. Jadi belum datang ke rumah. Tapi kalau perintah untuk datang ke rumah saya tidak keberatan. Biar saya yang meneruskan masaknya sendiri," kata lelaki, istri dari Kasmiyah. Ia memegang pundak sang istri yang terlihat kuat dan memiliki urat di punggung tangan seperti seorang lelaki. Yang menandakan itu sebagai seorang wanita luar biasa.     

"Eh, kurasa Bu Kasmiyah harus kerjakan pekerjaan rumah dahulu. Sebenarnya saya dan pak Lukman ke sini karena aku ingin tahu rumah ibu di mana. Dan karena sudah ketemu, saya jadi tahu. Jadi kalau kami mengapami kesulitan atau ada perlu, bisa datang ke sini."     

Mendengar perkataan Usman, semua terdiam. Tidak menyangka itu keluar dari mulut pemuda yang terlihat bodoh itu. Mungkin suami dari Kasmiyah belum tahu lelaki yang berbicara itu. Tapi wanita itu tahu siapa Usman. Walau hanya satu kali lihat, wajah Usman mudah untuk dihafal.     

"Syukurlah kalau begitu ... tapi beneran kalau saya juga sudah selesai memasaknya. Aku akan segera datang ke rumah sekarang. Pak, kamu yang teruskan memasaknya, yah!" pinta Kasmiyah pada sang suami. Tentu ia tidak akan bisa berdiam diri saja ketika ia merasa dirinya dipanggil untuk dimintai pertolongan.     

"Enggak, Bu. Benar yang dikatakan oleh mas Usman. Kami juga tidak terlalu buru-buru. Kami ke sini juga bermaksud bersilaturahmi. Jadi jangan diambil pusing. Ibu lanjutkan saja memasaknya," balas Lukman.     

"Eh, atau kita bicara di dalam saja. Tidak keberatan kan, kalau masuk mau ke dalam dulu? Kebetulan saya sudah memasak air. Dan sebentar lagi suami saya biasanya minta kopi. Mari ngopi duluan, saja." Kasmiyah tidak ingin hanya berdiam diri jika ada tamu. Ia harus melayani sebaik mungkin suami dari Farisha itu.     

Semua orang boleh mengangap Usman tidak cocok atau tidak berguna. Tapi itu hanya persepsi dari orang-orang sombong saja. Tidak berlaku bagi Kasmiyah dan sang suami. Bahkan sopir keluarga pun tidak serta merta menganggap remeh. Malah bersyukur, Farisha memilih orang baik sebagai suami.     

"Enggak perlu repot-repot, Bu. Kami hanya sebentar saja, kok. Saya ke sini kan hanya memberitahu rumah Ibu dan Bapak. Saya juga mau kembali ke Jakarta. Jadi tidak bisa lama-lama di sini. Ini juga kami tidak pamitan pada non Farisha. Jadi nggak tau dia mencari kami atau tidak. Kalau begitu, kami panit duluan, yah. Selamat pagi dan terima kasih."     

Akhirnya Lukman memutuskan untuk kembali ke rumah. Walau belum mendiskusikannya bersama Farisha, Lukman yakin akan tahu keadaannya kalau wanita yang akan membantunya juga memiliki kesibukannya sendiri. Tidak mungkin bisa setiap saat ada waktu. Selain itu, Lukman juga yakin kalau wanita itu juga membantu sang suami untuk membuat tikar. Karena ada lagi tikar yang belum jadi tapi sudah dibiarkan saja tanpa diteruskan. Atau lebih tepatnya belum juga dimulai kembali. Serasa kalau kedatangan mereka malah membuat masalah lebih banyak.     

"Mari, Bu, Pak. Kami segera kembali ke tempat tinggal. Mas, ayo naik!" ajak Lukman pada Usman. Setelah Usman naik motor di belakang, Lukman menjalankan motor itu menuju kembali ke rumah mereka tinggal saat ini.     

"Mak, tadi pemuda itu siapa? Apa termasuk sopirnya anaknya bu Azhari? Tapi kelihatannya orang tua itu menghormati anak itu." Pria paruh baya itu penasaran dengan pemuda tersebut.     

"Itulah, Pak. Ibu juga yang masih dipikirkan. Katanya sih dia suaminya emm, siapa yah? Oh iya ... Farisha kalau nggak salah. Dia menantu dari bu Azhari. Jadi sekarang dia yang sedang menikmati liburan di sini. Yang juga sedang bulan madu."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.