Kasih Sayang Farisha Dan Usman
Kasih Sayang Farisha Dan Usman
"Emm ... Tante, beneran aku boleh tidurnya di sini?" tanya Usman dengan raut muka polosnya. Ia seakan tidak percaya. Tapi merasa deg-degan juga karena hal itu.
"Iya, namanya juga tidur, Man. Kalau mau, tiduran saja di sini! Kulihat kamu, kasihan banget kalau tidur di lantai. Kan dingin," tandasnya dengan raut wajah datar. Lalu ia kembali merebahkan diri di ranjang.
Usman lalu berjalan menuju ke tempat tidur. Ia melihat tempat itu masih berantakan. Maka ia bereskan sebentar dan melirik ke arah Farisha. Terlihat cantik dengan wajah mulus dan tentu yang lainnya. Usman harus bisa menyesuaikan diri saat di dekat Farisa. Karena keseksian sang istri, ia tidak tahu bagaimana mereka menjalani kesehariannya.
'Oh, tante ... kenapa kamu sangat cantik? Kalau begini terus, aku nggak bisa tahan ingin mencium kamu. Andaikan kamu adalah istriku yang sebenarnya, aku ingin cium pipi kamu,' ujar Usman di dalam hati. Tentu ia tidak berani mengatakan itu secara langsung. Ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur, di samping Farisha.
"Man ... pernahkah kamu membenci seseorang?" tanya Farisha lirih. Ia memang membenci orang. Bukan orang tapi semua lelaki. Walau ia tidak tahu kesalahan lelaki itu apa. Yah, ini bermula dari Benny yang telah menyiksanya. Ia mengingat bagaimana perlakuan pria itu kepada ibunya. Juga melampiaskan amarahnya, memukul sang istri. Menimbulkan trauma mendalam, membuatnya membenci semua pria di dunia ini. Tapi saat mengenal Usman, ia memiliki pemikiran yang sama sekali berbeda.
Usman tidak seperti pria yang ia temui sebelumnya. Dari pandangannya, ia selalu menunduk saat di hadapannya. Ada pernah meliriknya tapi itu tidak berlangsung lama. Farisha membalikkan badannya ke arah Usman. Ingin melihat, lelaki yang berbeda dari lelaki yang lain. Yang cara pandangnya selalu menundukkan kepala.
"Eh, anu ..." balas Usman gelagapan. Ia tidak langsung nyambung. Tapi ia mencoba berpikir. "Hmmm ... gimana, yah?" Lalu ia melirik ke arah Farisha. Ia bingung mau berkata apa. Tapi ia kembali merasakan sensasi berdebar-debar di dadanya. Pasalnya, melihat Farisha yang begitu dekat dan membuatnya mundur ke belakang. Dan terjatuh. "Aduh!"
"Hei, kamu hati-hati! Kalau tiduran, jangan mundur-mundur, hihihi. Ayo naik lagi, Man. Kamu hanya ditanyain, kamu pernah membenci orang atau tidak?" tanya Farisha kembali.
Dengan gugup, Usman bangkit dari lantai. Ia menghela nafas panjang lalu duduk di pinggiran tempat tidur. Tidak berani melihat Farisha terlalu lama. Wanita itu melihat suaminya yang bertingkah, membuat tertawa.
"Hahaha, kamu ini orangnya lucu, Man. Sayang kalau kamu tiba-tiba pergi. Hemm, kalau gitu, kamu jangan pergi, yah! Nggak tahu kenapa, aku merasa kamu beda saja, kamu tidak kayak lelaki lain, yang tidak benar (Apalagi seperti Benny yang tidak tahu diri itu) Oh, iya, kamu tiduran lagi, gih!"
Usman mengangguk dan dengan perlahan, merebahkan badannya di tempat tidur, membelakangi sang istri. Ia takut menatap istrinya yang begitu sempurna di matanya. Dengan menghadap ke belakang, ia harap bisa mencegahnya berbuat hal yang tidak-tidak.
"Eh, kamu beneran tidak pernah membenci orang lain? Terus, kenapa kamu pergi meninggalkan pamanmu? Pamanmu bukankah juga berbuat tidak baik kepadamu?" tanya Farisha.
"Tapi dia pamanku ..." balas Usman lirih. Lalu ia melanjutkan, "Mungkin pamanku orang yang jahat dan kejam. Sering memukuliku dan meminta uang hasil jualanku di terminal. Dia juga penyabung ayam dan tukang judi. Bibiku juga jarang kasih aku makan. Kadang aku tidak kebagian makan saat aku pulang. Tapi mereka yang merawatku dari kecil. Dan mereka hanya mengatakan nama bapak dan ibuku saja. Tidak pernah mengatakan di mana keberadaan mereka."
Usman mulai mengingat masa kecilnya bersama paman dan bibinya. Mereka dulunya tidak sejahat itu padanya. Tapi dengan seiring berjalannya waktu, sikap mereka perlahan berubah. Mereka mulai tidak perduli dan membiarkan Usman begitu saja. Bahkan paman dan bibinya sampai sekarang tidak memiliki seorang anakpun. Membuat mereka frustasi dan memilih menyibukkan diri. Di mana Kardi, paman Usman yang gila dengan sabung ayam dan berbisnis togel serta sering minum, minuman keras.
"Sebenarnya, kalau dibilang benci, mereka sudah merawatku. Kalau dibilang tidak benci, perlakuan mereka kepadaku." Usman mengambil nafas panjang. Ia tidak ingin menceritakan lagi, apa yang ia sesali. "Aku entah mengapa ingin bertemu dengan mereka, hanya ingin tahu, apa mereka sehat-sehat saja?"
"Kamu beneran tidak membencinya? Sungguh mulia hatimu, Usman. Tapi aku membenci si brengsek Benny itu. Dan karena itu, aku menganggap semua lelaki itu seperti Benny. Coba kamu bilang padaku, apa aku benar karena berpikiran kalau semua lelaki sama jahatnya dengan pria keparat itu?"
"Sebenarnya kamu benar. Kamu adalah korban dari kekejaman orang tuamu. Dan kamu juga benar, karena kebencianmu kepada ayahmu, membuat kamu membenci siapapun yang berhubungan dengan lelaki. Tapi tanyakan pada dirimu sendiri. Apakah kamu benar-benar membencinya? Apa tidak ada kasih sayang, walau sedikitpun? Coba kamu bayangkan juga, bagaimana kamu membenci semua lelaki? Tapi lelaki itu tidak tahu apa-apa tentang kamu. Mereka tidak ada yang mengenal tapi kamu menyalahkannya."
Entah apa yang dikatakan oleh Usman. Tapi kata itu keluar tiba-tiba dari mulutnya. Walau ia merupakan orang yang tidak berpendidikan, dirinya juga tidak bodoh-bodoh sekali. Kadang ada yang orang lain lihat, tidak seperti yang sebenarnya. Farisha mengerti apa yang dikatakan oleh pria di depannya.
"Usman ... apa aku bisa berubah? Apa kamu bisa membuat aku merubah kebencianku terhadap semua lelaki? Apa kamu mau berada di sisiku untuk bisa menghadapi ini semua? Aku lelah, Man. Aku butuh sandaran. Bisa pinjam tangan kamu, tidak? Aku ingin tiduran di tangan kamu," pinta Farisha dengan lirih. Air matanya keluar walau tidak banyak. Cukup untuk menutupi pandangannya sejenak. Sebelum ia hapus dengan tangannya.
Usman berbalik dan melihat istrinya yang terlihat teduh dan ada penuh harap dari wajahnya. Usman menjulurkan tangannya, membiarkan Farisha meletakan kepalanya pada tangan pria itu. Malahan ia pegang tangan itu dengan eratnya.
"Terima kasih, Man. Kamu lelaki pertama yang aku percaya. Tidak boleh kamu mengkhianati kepercayaan dariku. Kalau kamu sampai berkianat, aku akan beri kamu pelajaran yang setimpal. Tidak ada toleransi untuk para pengkhianat dalam kamusku."
Meskipun Usman tidak tahu, apa yang dikatakan oleh wanita di depannya, ia mengangguk dan berjanji. Entah apa itu, ia harus menjaga sang istri. Intinya ia tidak boleh menjadi pengkhianat. Melihat Farisha, ia tidak ingin karena nafsu. Tapi karena kasih sayang yang nyata. Di mana mereka saling menatap satu sama lain di waktu yang lama.
***