Bos Mafia Playboy

Apa Yang Disembunyikan Martin?



Apa Yang Disembunyikan Martin?

1"Panggil saja 'papa' seperti Eliza memanggil aku," tegas Rizal Hartanto dengan sangat menyakinkan. Dia tak ingin berpikir dua kali untuk menerima sosok pria yang sudah banyak membantunya menangani Natasya.     

Sepertinya ribuan kembang api langsung meledak dengan indahnya. Martin masih saja tak percaya jika ayah Eliza bisa begitu mudah menerima dirinya. Rasanya sangat luar biasa mendapatkan tempat khusus di Keluarga Hartanto.     

"Mengapa masih saja bengong? Apa yang ingin kamu tanyakan padaku?" Rizal Hartanto tampak sedikit terburu-buru dan merasa tak sabar untuk mendengar pertanyaan dari calon menantunya.     

"Begini, Om ... Eh ... maksud saya, Pa. Bagaimana bukti kejahatan Natasya bisa sampai ke penyidik padahal jelas-jelas mobil yang membawa Papa dan Eliza abis terbakar?" tanya Martin dengan segala rasa penasaran yang sudah beberapa hari ditahannya.     

"Papa sudah mengirimkan semua bukti itu malam hari sebelum kami berangkat pagi itu," terang Rizal Hartanto atas sesuatu yang membuat mereka semua juga sangat penasaran. "Papa tentunya sudah memperkirakan jika kejadian itu pasti akan terjadi. Mengingat Natasya sudah terbiasa melakukan banyak kejahatan yang sangat berbahaya," imbuh seorang hakim senior yang sebentar lagi akan menjadi mertua Martin.     

Setelah menjelaskan hal itu, Rizal Hartanto dan juga Johnny Hartanto bergegas meninggalkan rumah sakit. Mereka berdua harus mengurus beberapa hal penting lainnya yang tak mungkin dijelaskan pada mereka berdua.     

"Ada yang sedang berbunga-bunga setelah berhasil mendapatkan restu," ledek Brian pada kekasih dari Eliza itu.     

Mereka semua secara bersamaan memandang ke arah pria yang masih saja tersenyum lega di samping kekasihnya. Rasanya ikut bahagia bisa melihat kebahagiaan mereka berdua.     

"Martin ... kita pulang sekarang saja," ajak Eliza dengan gayanya yang sedikit manja dan tampak begitu senang. Dia juga tak menyangka jika ayahnya akan merestui hubungan mereka dengan sangat mudah.     

"Sebentar, Eliza! Aku masih sangat penasaran, bagaimana papamu bisa langsung menyetujui hubungan kita? Padahal beliau jelas-jelas mengetahui hubunganku dan juga Bisa Adi Prayoga." Martin sama sekali tak bisa menyembunyikan rasa penasaran di dalam hatinya.     

Imelda melemparkan senyum seringai pada pria yang masih saja bingung atas persetujuan Rizal Hartanto. Namun tak perlu dijelaskan secara detail, semuanya sudah sangat jelas. Mengingat sudah banyak hal yang telah dilakukan oleh Martin selama ini.     

"Tak perlu heran, Martin. Jika aku menjadi Om Rizal ... aku pasti akan langsung merestui pernikahan kalian. Daripada harus membiarkan anak perempuannya mengejar suami orang. Mana ada seorang ayah yang rela anaknya disebut pelakor?" Wanita hamil itu terkekeh geli mendengar perkataannya. Namun ia baru ingat jika Eliza sempat sedikit sensitif pada dirinya.     

"Maaf, Eliza. Aku tak bermaksud apa-apa. Alasan yang sesungguhnya kalau menurut aku ... Martin memang seorang pria yang pantas untuk Keluarga Hartanto. Selain kehebatannya, sahabat dari kakakku ini adalah seorang pria yang sangat baik dan juga bertanggung jawab." Imelda mengatakan sesuatu yang dipikirkan olehnya. Semuanya itu jujur dari dasar hatinya.     

Mendengar penjelasan panjang lebar dari Imelda, kekasih dari Martin itu tampak cukup senang. Dia pun memikirkan hal yang sama seperti yang telah dikatakan oleh istri dari Brian Prayoga itu.     

"Tak perlu minta maaf, Imelda. Aku juga berpikiran yang sama denganmu," sahut Eliza cukup bersemangat. Dia sudah tak sabar untuk segera pergi dari ruangan itu. "Ayo kita pulang, Martin," ajaknya.     

"Aku akan mengurus administrasinya." Brian mengajak Imelda untuk mengurus segala sesuatunya untuk kepulangan Eliza. Dia merasa bertanggung jawab karena kecelakaan itu telah direncanakan oleh ibunya sendiri.     

Di sisi lain, Laura masih berdiri tak jauh dari Vincent. Dia ingin mengatakan sesuatu pada sosok pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu.     

"Besok pagi, aku harus menemui mamaku yang berada di luar negeri. Aku harus membicarakan rencana pernikahan ini secepatnya," ujar Laura pada kekasihnya. Dia takut jika Vincent akan melarangnya pergi sendirian.     

"Biar aku yang menemanimu menemui mamamu. Akan jauh lebih baik jika kita berangkat bersama." Vincent berpikir jika akan lebih aman jika mereka berdua berangkat bersama.     

Laura tentunya tak ingin membuat Vincent terlalu lama meninggalkan pekerjaannya. Apalagi sudah beberapa hari, dia berada di klinik milik Kevin untuk mendapatkan perawatan pasca penembakan itu.     

"Bagaimana dengan pekerjaanmu, Vincent? Sudah terlalu lama kamu tak berangkat ke kantor." Laura merasa bersalah karena telah membuat calon suaminya harus meninggalkan pekerjaan untuk beberapa waktu belakangan.     

"Tak perlu mengkhawatirkan apapun. Aku akan mengatur semuanya agar kita bisa pergi bersama." Vincent sudah sangat yakin untuk melakukannya, meskipun Laura selalu saja menolak dirinya.     

Mendengar perdebatan sepasang kekasih itu, Martin berinisiatif untuk memberikan sedikit masukan untuk mereka berdua. Dia juga berpikiran yang sama dengan Vincent.     

"Benar kata Vincent, Laura. Lebih baik kalian berdua pergi bersama-sama. Kurasa itu jauh lebih aman," sela Martin atas perdebatan di antara mereka berdua. Walau bagaimanapun, pria itu juga mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua. Tidak ada yang tahu, apa yang akan terjadi selama mereka berada di luar rumah apalagi sampai di luar negeri.     

Laura tampak berpikir sebentar, dia merasa tidak yakin akan membawa Vincent menemui ibunya. Rasanya terlalu cepat jika langsung datang dan mengatakan akan menikah dengan sosok pria yang bersamanya.     

"Baiklah ... aku akan pergi bersama Vincent." Laura akhirnya memutuskan hal itu. Dia sudah cukup yakin jika keberadaan Vincent akan membuat dirinya jauh lebih aman.     

Setelah melakukan pembicaraan singkat , dua pasangan kekasih itu langsung bergegas keluar dari ruang rawat inap. Eliza sudah terlihat tak nyaman untuk berada di sana lebih lama lagi.     

"Ayo kita tunggu Brian dan Imelda di depan saja. Aku akan mengirimkan pesan untuknya." Martin sudah bisa melihat jika kekasihnya terlalu bosan berada di rumah sakit selama beberapa hari. Dia tak mungkin membiarkan Eliza justru tersiksa di rumah sakit, bukannya malah beristirahat.     

Tak ingin berlama-lama di sana, mereka semua bergegas menuju ke lobby depan rumah sakit. Kebetulan sekali, di sana ada beberapa kursi yang cukup nyaman untuk duduk sembari menunggu. Dua pasangan itu duduk berjajar sembari menunggu Brian dan juga Imelda yang sedang mengurus administrasi.     

"Apakah kamu serius ingin menginap di rumah Brian dan Imelda?" tanya Martin pada sosok wanita yang menyandarkan kepala di pundaknya.     

"Apakah kamu keberatan? Ataukah kamu akan membawaku menginap di rumahmu sendiri, Martin?" Eliza berharap jika kekasihnya itu mau mengajaknya ke sebuah rumah di mana pria itu tinggal.     

Bukannya menjawab, Martin justru memandang Vincent lalu beralih pada kekasihnya. Dia tampak bingung untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Eliza.     

"Kamu tahu sendiri jika aku tinggal di rumah Brian." Kalimat itu justru membuat kecurigaan di dalam hati Eliza.     

"Apa yang sebenarnya sedang kamu sembunyikan, Martin?" tanya Eliza penuh curiga.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.