The Alchemists: Cinta Abadi

Wanita Tidak Tahu Malu!



Wanita Tidak Tahu Malu!

0Sepasang mata indah Amelia tampak berkilat-kilat ketika mendengar kata-kata Ren kepada Dokter Henry.      

"Oh.. pantas saja, kalau ibu sedang hamil, kondisi stress bisa memicu hal seperti ini," komentar dokter Henry. "Kalau boleh tahu, sudah berapa minggu?"     

Ren mengerutkan keningnya. Kepalanya berhitung cepat dan ia menyebutkan angka yang ia dapatkan. "11 atau 12 minggu."     

"Ah.. ya, trimester pertama biasanya cukup berat untuk kehamilan pertama. Baiklah, Pangeran. Saya akan meresepkan beberapa vitamin yang aman untuk ibu hamil."     

"Aku akan segera kembali. Kau jangan pergi sebelum aku datang lagi. Rawat dia baik-baik," perintah Ren sebelum beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju keluar.     

Amelia yang akhirnya tersadar buru-buru menjajari langkahnya dan berjalan dengan langkah-langkah cepat.     

"Ren... Apa yang terjadi?" tanya gadis itu dengan ekspresi terluka. "Kau bilang tidak akan ada anak. Apakah kau berbohong kepadaku dan sebenarnya kau sudah jatuh cinta kepadanya?"     

"Jaga kata-katamu, Amelia." Ren mendelik ke arah Amelia. Biasanya gadis itu akan mundur dan mengalah saat melihat wajah Ren berubah menjadi masam seperti ini. Tetapi sekarang, kesabarannya sudah habis. Ia balas menatap Ren dengan ekspresi menantang.     

"Kenapa aku harus menjaga kata-kataku? Aku sudah cukup bersabar selama ini. Tetapi kau yang mengingkari perjanjian kita. Kau membuatnya hamil!"     

"Itu kesalahanku. Aku tidak sengaja. Aku sama sekali tidak menginginkan dia hamil, kau mengerti?" tukas Ren.     

"Jangan bilang kau sudah jatuh cinta kepadanya?!" Amelia masih berusaha mendesak.     

"Amelia, aku tidak bisa jatuh cinta," Ren akhirnya menjadi hilang kesabaran. Ia menghentikan langkahnya dan memegang pergelangan lengan gadis itu dan menekannya dengan keras. "Aku tidak suka dituduh sebagai pembohong."     

"Auw.... lepaskan tanganku. Sakit!!" Amelia berusaha keras menarik lengannya dari cengkraman Ren, tetapi tidak berhasil. Pergelangan lengannya menjadi merah. "Kau jahat kepadaku..."     

"Aku memang jahat. Kau sudah tahu itu dari awal. Tetapi kau tetap memaksa ingin bersamaku. Apakah kau tidak sebaiknya menyalahkan dirimu sendiri?" tanya Ren dengan nada mengejek.     

"Aku tahu kau tidak jahat.. tapi... "Amelia tidak dapat lagi menahan perasaannya. Ia akhirnya menangis. Suara tangisannya pedih sekali, membuat para staf dan pengawal yang ada di sekitar mereka menelengkan kepala mereka, hendak mengetahui apa yang terjadi.     

"Aku ini jahat, Amelia. Sebaiknya kau melupakan perasaanmu kepadaku. Aku hanya akan membuatmu semakin menderita." Ren akhirnya melepaskan cengkramannya dari lengan Amelia dan berjalan cepat kembali ke aula tempat pesta diselenggarakan.     

Ia sama sekali tidak menoleh. Ia harus segera tampil di depan umum, memberikan sambutan, lalu pura-pura sakit kepala dan mengundurkan diri dari pesta lebih awal. Ia harus merawat Fee dan memastikan ia ada di samping istrinya saat gadis itu bangun.     

Amelia hanya terpaku di tempatnya saat melihat Ren berjalan meninggalkannya tanpa menoleh. Air matanya mengalir semakin deras. Ia sudah menunggu Ren selama belasan tahun, bahkan sejak mereka masih kecil.     

Ia selalu ada untuk pria itu. Ia melakukan begitu banyak hal untuknya. Ia menahan berbagai perasaan sakit hati dan cemburu setelah Ren menikah dengan Fee demi dendamnya... demi semua tujuannya yang begitu besar. Amelia selalu bersikap supportif.     

Tetapi mengapa Ren melakukan kesalahan seperti ini dan membuat Fee hamil? Bukankah ini akan merusak semua rencananya?     

Apakah Ren berbohong tentang kondisinya yang aromantic? Apakah ia sebenarnya sudah jatuh cinta kepada istrinya?     

Amelia mengepalkan kedua tangannya dan tubuhnya perlahan menjadi gemetar. Ia merasa sangat marah, terluka, dan sedih pada saat yang sama.     

Ia berbalik dan berjalan kembali ke kamar tamu tempat Fee sedang dirawat. Wajahnya memerah karena diliputi api kemarahan yang sangat besar. Sepasang matanya berkilat-kilat. Perlahan-lahan tangannya mengangkat tas tangan kecil yang menggantung dari bahunya dan membuka kancingnya.     

Semua terasa bagaikan film yang diputar dalam gerak lambat. Tangan kiri Amelia masuk ke dalam tas tangannya dan mengambil sebuah pistol kecil yang selalu dibawanya kemana-mana untuk perlindungan.     

Ia sangat mahir menembak, tetapi ia belum pernah sungguh-sungguh menggunakan pistolnya di luar arena menembak.     

Sekali ini ia akan menggunakannya. Bukan untuk melindungi dirinya.     

Tetapi untuk melindungi Ren dari terjebak dalam pernikahan yang tidak ia inginkan. Kalau Fee sampai melahirkan anaknya, selamanya ia dan Ren akan terikat menjadi satu keluarga.     

Amelia tidak dapat membiarkan hal itu terjadi.     

Dokter Henry mengangkat wajahnya ketika mendengar pintu terbuka dan melihat Amelia masuk.     

"Ah.. Lady Amelia. Nyonya sudah siuman." Senyum di wajahnya seketika menghilang ketika ia menyadari Amelia telah mengeluarkan sebuah pistol kecil dari dalam tasnya dan bersiap membidik ke arahnya. Dengan refleks Dokter Henry menjatuhkan diri ke lantai dan berteriak. "Nonaaa.. jangaaan!!!"     

Fee memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing. Ia mengerjap-kerjapkan matanya sebelum kemudian membukanya untuk melihat sekelilingnya. Suara teriakan Dokter Henry di sampingnya membuat ia sangat terkejut dan kesadarannya segera kembali.     

Ia menoleh ke samping kanan untuk melihat siapa orang yang baru datang dan seketika ekspresi wajahnya dipenuhi kengerian.     

"A... Amelia, apa yang kau lakukan?" tanya Fee dengan suara panik. Ia bisa melihat ekspresi Amelia yang tidak seperti biasanya.     

Wajah Amelia Genevieve tampak dipenuhi dendam.     

"Beraninya kau... mengandung anak dari pangeran putra mahkota Moravia!" Amelia mendesis. Suaranya terdengar dipenuhi kebencian dan rasa frustrasi. "Kau pasti menjebaknya agar ia tidak meninggalkanmu. Kau tahu bahwa ia tidak akan pernah mencintaimu dan kau berusaha keras agar ia bisa mencintaimu..."     

Fee mengangkat kedua tangannya berusaha menenangkan Amelia. Ia sangat ketakutan, tetapi ia berusaha keras membuat dirinya tetap terlihat tenang. Ia tidak ingin membuat Amelia terprovokasi. Ia harus dapat mengulur waktu sampai orang lain datang kemari.     

"Aku tahu ia tidak mencintaiku, Amelia... aku tahu itu.. Aku tahu ia tidak akan pernah mencintaiku karena ia tidak bisa jatuh cinta..." kata Fee perlahan-lahan. "Karena itulah aku pergi..."     

"Kau bohong! Kalau kau memang ingin pergi, kenapa kau selalu muncul di mana-mana? Kau bahkan sengaja datang ke pesta istana ini dan berdandan secantik mungkin.. Untuk apa lagi kalau bukan untuk berusaha memikatnya kembali?" jerit Amelia. "Apa kau tidak punya malu??"     

Fee menelan ludah. "Amelia... maafkan aku telah datang ke pesta ini. Aku diundang bosku dari RMI. Aku sama sekali tidak berniat menggoda Ren. Aku dan dia bahkan sudah membicarakan untuk berpisah. Kau bisa memilikinya sekarang. Aku dan anakku akan pergi. Kumohon.. biarkan aku pergi."     

"Kau pikir aku bodoh?" Amelia menyipitkan matanya dengan penuh kebencian. "Kalau kau melahirkan anaknya, maka Ren tidak akan pernah bisa meninggalkanmu seperti rencananya... Kau sungguh pengganggu yang tidak tahu malu!"     

"Amelia.. jangan..." Fee berusaha bangkit dari tempat tidur, walaupun tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengangkat kedua tangannya berusaha menenangkan Amelia. "Kumohon.. aku akan pergi dan kau tidak akan pernah melihatku lagi..."     

Suaranya berubah menjadi bisikan memohon. Wajah Fee seketika diliputi ketakutan yang besar saat melihat Amelia mengacungkan pistolnya dan mengarahkannya ke perutnya.     

"Wanita tidak tahu malu!" jerit Amelia sambil menarik pelatuk dan menembakkan pistolnya dua kali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.