Kerusuhan Di Bandara (2)
Kerusuhan Di Bandara (2)
Padahal.. tadi Sophia mengira ia dan Karl akan dapat pergi dari sini dalam keadaan hidup.
Ia sudah berencana mengkonfrontasi Karl nanti setelah mereka lolos dari sini tentang mengapa pria itu berbohong kepada Alaric dan mengatakan bahwa ia melakukan ini semua demi Sophia. Gadis itu tahu pasti bahwa Karl tidak melakukan semua tindakan balas dendam ini untuknya semata.
Ia ingat ketika bertemu Karl 12 tahun lalu, pria itu mengatakan ia memiliki dendam pribadi kepada Alaric Rhionen. Jadi jelas-jelas ia berbohong dengan ucapannya tadi.
Apakah Karl masih ingin melindungi keponakannya agar dapat masuk ke dalam klan Alchemist dan melanjutkan rencana mereka untuk menghancurkan orang-orang itu dari dalam?
"Kita punya waktu 20 menit," kata Alaric kepada Mischa. Pria yang lebih muda itu mengangguk dan segera mendorong Sophia menjauh. Ia berlutut dan memeriksa kondisi Karl.
Ah, gurunya sekaligus ayah angkatnya, Alaric, memang luar biasa. Ia dapat menembak dengan tepat lima titik yang akan sekaligus melumpuhkan Karl tetapi tidak langsung membunuhnya.
Mereka memerlukan Karl tetap hidup dan jantungnya berdetak untuk mencegah bomnya meledak.
"Ada yang punya gunting atau peniti?" seru Mischa kepada orang-orang di sekelilingnya. Pria itu memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam menjinakkan bom. Dan waktu 20 menit yang diberikan Alaric kepadanya seharusnya cukup jika ia memiliki peralatan sederhana untuk melakukan tugasnya.
"A... aku punya peniti," kata seorang wanita yang tergopoh-gopoh datang menghampiri pria itu dan menyerahkan sebuah peniti. Seorang petugas keamanan datang menyerahkan gunting. Sophia yang terduduk di samping tubuh Karl yang terus mengalirkan darah segar tampak histeris dan terus menjerit.
"Aaaaaahh....!!!" Suaranya membuat suasana terasa semakin tegang dan panik. Alaric mengerutkan keningnya mendengar jeritan-jeritan histeris Sophia. Ia berjalan ke arah wanita itu dan menariknya menjauh dari sana. Sophia berusaha melepaskan diri dan kembali menjerit. "Lepaskan akuuu!!"
Alaric menarik tubuh Sophia mendekat dan mencengkram bahunya. Sepasang mata ungunya tampak menyala-nyala oleh api kemarahan. "Kalau kau tidak diam, aku akan memberimu hukuman yang sama dengan kekasihmu. Apakah itu yang kau inginkan?"
Sophia seketika terdiam. Ia tidak mau menjadi lumpuh seumur hidup. Hidupnya masih sangat panjang. Akhirnya ia menggeleng ketakutan dan segera menjatuhkan diri ke lantai dan menutup mulutnya sendiri agar suaranya tidak lepas dari bibirnya.
Suasana di bandara menjadi sangat tegang. Polisi yang sudah tiba berhasil menenangkan massa dan mengontrol mereka semua agar menyingkir dengan rapi.
Kepanikan massa hanya akan membuat timbulnya korban yang tidak perlu dengan anak kecil, orang lansia dan wanita yang dapat terinjak-injak oleh orang yang ingin menyelamatkan diri.
Orang-orang yang sudah berhasil menjauh segera menenangkan diri dan membuka ponsel mereka untuk mencari kabar terbaru situasi di dalam. Namun, semuanya segera menjadi terkejut karena mereka tidak menemukan satu pun berita tentang kerusuhan di bandara Almstad.
"Aneh sekali.. Masakan peristiwa sebesar ini tidak ada yang meliput?" Mereka bertanya-tanya keheranan.
Tadi, ketika mereka berada di dalam dan mencoba menyiarkan peristiwa itu secara live ataupun mengunggah video ke media sosial, entah kenapa video mereka terblokir. Mereka mengira itu dikarenakan gangguan koneksi internet mereka atau memang sedang terjadi error.
Namun, masa di seluruh internet tidak ada berita keributan dan ancaman bom semenghebohkan di bandara Almstad sekarang? Aneh sekali...
Mereka hanya dapat saling pandang dan bertanya-tanya sendiri.
Tentu saja Alaric selalu memblokir setiap berita dan video yang menunjukkan dirinya. Itulah yang membuatnya sampai sekarang dapat menjaga privasinya dan keluarganya di zaman internet sekarang, di mana privasi menjadi barang yang sangat mahal harganya.
Sebagai laki-laki yang sangat berkuasa dan memiliki Splitz, media sosial terbesar di dunia dan kemampuan untuk mengendalikan internet, ia dapat menentukan mana yang berita yang muncul dan mana yang tidak.
Peristiwa di bandara Almstad hari ini adalah peristiwa yang ia tidak inginkan untuk tersebar. Sebelum ia berhasil mengetahui semua kebenaran, ia tidak akan membiarkan anggota komplotan penculik itu mendengar berita apa pun.
"Bu... bunuh aku," bisik Karl dengan suara terputus-putus, sambil memejamkan mata. Ia dapat merasakan sakit yang luar biasa dari lima titik di tubuhnya yang tadi ditembus peluru panas.
Ia sangat marah karena Alaric tidak segera membunuhnya, melainkan hanya melumpuhkannya, cukup untuk memberi mereka waktu menjinakkan bom yang sudah ia aktifkan di lehernya. Namun, dalam kondisi seperti ini, Karl sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.
Mischa sama sekali tidak mengindahkan Karl. Dengan sigap ia membuka pendant yang melingkar di leher Karl dengan peniti dan meneliti komposisi bom kecil yang ada di dalamnya. Pria itu berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya dan tidak memperhatikan sekelilingnya.
Banyak pengunjung wanita yang memperhatikannya dari jauh dengan dada berdebar-debar. Pria tampan ini memang sangat menarik perhatian. Wajahnya yang tampan dengan rambut ikal keemasan serta ekspresi serius, terlihat begitu indah dipandang.
Pakaiannya yang serba hitam dan sikapnya yang tampak begitu ahli dalam menangani bom membuatnya tampak misterius dan membuat para wanita terpesona. Semuanya berdoa dalam hati agar ia dapat menjinakkan bom itu dan menyelamatkan diri.
Banyak dari mereka yang mengambil fotonya diam-diam, berusaha mengunggahnya ke media sosial dan sama seperti yang lain harus mengalami kekagetan karena tiba-tiba saja mereka tak dapat mengakses Splitz.
"Siapa orang-orang ini sebenarnya?" Mereka bertanya-tanya sendiri.
Tidak ada yang tahu bahwa Alaric adalah pemilik Splitz dan Mischa adalah tangan kanannya. Tentu saja mereka dengan mudah memblokir semua berita tentang diri mereka.
Begitu situasi menjadi agak tenang, kecuali rintihan Karl yang sedang sekarat, isak tangis histeris Sophia dan bisik-bisik para pengunjung, Alaric segera menghubungi Aleksis untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Vega.
"Vega meneleponmu?" Suara Aleksis terdengar panik. "Ia tidak ada di rumah. Tadi pagi ia mengatakan hendak bepergian dengan ayahmu. Tapi hingga kini mereka belum kembali. Aku tidak tahu mereka pergi ke Almstad."
"Hmm.. kurasa saat ini ia sedang bersama anak itu," kata Alaric dengan suara penuh penyesalan. "Awas kalau bocah itu berani menyakiti anakku lagi... aku akan membuatnya merasa mati walaupun ia masih hidup..."
Alaric dapat memikirkan beberapa jenis siksaan yang akan membuat orang tersiksa luar biasa hingga mereka akan mengemis kematian, tetapi ia tidak akan membiarkan mereka mati.. hingga bertahun-tahun lamanya.
"Aku akan segera ke Almstad," kata Aleksis terburu-buru. "Aku akan berangkat sekarang. Aku akan datang bersama Nico."
"Hmm.. Mischa dan Altair akan menemuimu di bandara," kata Alaric sebelum mematikan telepon.
Ia kini agak menyesal karena tidak membawa pengawalan. Kini ia harus membiarkan Mischa mengurus sendiri keributan di bandara ini agar ia dapat mencari anak perempuannya.
Akhirnya ia memutuskan menelepon Altair yang tadi disuruhnya menunggu di penthouse agar segera datang ke bandara dan membantu Mischa.
"Altair, kau ke bandara sekarang dan bereskan semuanya bersama Mischa. Ayah akan pergi menemui Vega dan Ren," kata Alaric singkat.
"Baik, Ayah."
Altair segera menyambar kacamata hitamnya dan berjalan keluar meninggalkan penthouse menuju bandara seperti yang diperintahkan ayahnya.
***
Sebelum Alaric beranjak pergi dari terminal, tiba-tiba ia melihat sepuluh orang lelaki berjalan menghampirinya.
"Tuan, kami sudah tiba. Tenang saja, kami akan mengambil alih dari sini," kata salah seorang dari mereka dengan sikap penuh hormat.
Ahh.. Alaric baru ingat bahwa Mischa mempunyai anak buah yang tadi ia perintahkan untuk mengawasi situasi di sekitar bandara. Rupanya, mereka semua sudah berkumpul dan mulai bekerja membereskan keadaan.
"Bu.. bunuh aku... bangsat..!"
Karl yang setengah sadar, entah kenapa seolah mendapatkan setitik cahaya di penghujung hidupnya. Ia membuka matanya dan berteriak ke arah Alaric. Langkah Alaric seketika terhenti. Ia lalu berbalik dan menghampiri Karl.