Keputusan Vega (1)
Keputusan Vega (1)
"Baik, Nyonya," kata Linda dari luar.
Vega dan Ren saling bertukar pandang. Perasaan hati keduanya serasa diaduk-aduk. Saat itu, ingin sekali rasanya Ren membawa Vega pergi ke tempat yang jauh dan menghilang, lalu hidup berdua, Hanya mereka saja.
Ia bertekad akan menebus semua dosanya kepada gadis itu. Seumur hidupnya, ia akan mengabdikan diri untuk membahagiakan Vega.
"Vega, Sayang... kumohon maafkan aku. Aku berjanji mulai sekarang seluruh hidupku hanya untukmu. Aku akan menebus semua kesalahan dan dosaku di masa lalu kepadamu. Aku mohon, beri aku kesempatan kedua. Biarkan aku menebus dosa," bisik Ren dengan suara sangat bersungguh-sungguh.
"Kalau tidak, untuk apa aku hidup? Selama ini aku hanya hidup untuk balas dendam... Balas dendam itu telah menghancurkan hidupku, telah menghancurkan hidupmu dan juga telah membunuh anak-anak kita. Saat ini ini aku hanya ingin hidup berdua bersamamu dan meninggalkan semuanya..."
Ren terus memohon kepada Vega dengan mata berlinang air mata. Ia sama sekali tidak merasa perlu memegang harga dirinya. Saat ini ia tahu, dirinya sama sekali tidak pantas untuk Vega.. tetapi ia berharap Vega akan memberinya kesempatan kedua.
Pintu kamar dibuka dari luar tanpa diketuk terlebih dahulu, dan masuklah seorang pria tampan berambut platinum dengan langkah-langkah panjang.
Alaric segera menarik bahu Ren dengan kasar agar menjauh dari anak perempuannya. Pemuda itu terjerembab ke lantai sementara Alaric menggendong Vega dari sofa.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil memeluk Vega dengan suara cemas. "Maafkan ayah baru tiba..."
Saat itu Vega tak dapat lagi menahan kesedihannya. Ia segera memeluk leher Alaric dan menangis tersedu-sedu di bahu ayahnya.
"Ayaah....." Hatinya hancur dan ia tak dapat lagi menahan kesedihannya.
Ren hanya melihat adegan itu dengan hati sedih.
Ah... semua sudah berakhir.
Vega sudah mengetahui rahasianya, dan kalaupun seandainya Alaric belum tahu, ia akan segera tahu. Ren sama sekali tidak mengira Vega akan datang sendiri ke Almstad dan mengkonfrontasi dirinya. Kini, ia tidak dapat mengelak lagi.
Alaric mengusap-usap punggung anaknya dengan hati pedih. Setiap ia melihat Vega menangis, ia merasa terpukul. Ia sudah tahu bahwa semua penderitaan Vega ini diakibatkan oleh dosanya di masa lalu.
Ia menatap Ren yang bangkit berdiri dan menatapnya dan Vega dengan mata berkaca-kaca.
"Aku ingat ayahmu..." kata Alaric dengan suara tegas. "Aku tidak bermaksud membunuhnya."
Ren menggigit bibirnya. Ia sudah mengerti sekarang bahwa Alaric memang telah mengetahui semuanya.
"Apa yang terjadi kepada pamanku?" tanya Ren dengan suara bergetar. Ia ingat sorot mata Karl tadi siang saat bicara dengannya terakhir kali di kantornya.
Ia dapat menduga bahwa Karl akan menanggung sendiri semua kesalahan itu dan membebaskan Ren.
Dadanya terasa semakin sesak ketika ia mengingat betapa Karl sangat menyayanginya dan melakukan apa pun demi dirinya. Dan kini, ia bahkan mengorbankan diri untuk menanggung semua kesalahan, walaupun sebenarnya Ren juga memiliki andil besar dan dosa yang berat kepada Vega.
Ahh.. semoga Karl tidak tahu bahwa Ren tertangkap basah oleh Vega sendiri yang berhasil membuatnya mengakui semua perbuatannya.
"Pamanmu sudah mati," kata Alaric tegas.
Ia tahu kemampuannya dengan baik. Setengah jam setelah ditembak di kelima titik tersebut, Karl akan mati kehabisan darah.
Tadinya Alaric ingin memberikan hukuman yang jauh lebih sadis kepada orang yang bertanggung jawab menculik anaknya, tetapi setelah ia menyadari latar belakang dendam Karl kepadanya, hatinya melunak.
Yang penting sekarang adalah menyelamatkan Vega dan memulihkan luka batinnya. Kenyataan yang ia hadapi sekarang tentu sangat menghancurkan hatinya.
Vega sangat mencintai Ren, namun ternyata laki-laki yang ia cintai dan menjadi suaminya selama hampir dua tahun adalah penjahat yang telah mengambilnya paksa dari keluarganya, menjadikannya pion untuk balas dendam, dan menghancurkan hidupnya.
Seandainya saja penjahat itu adalah orang lain yang tidak dikenalnya, tentu tidak akan sesakit ini rasanya.
Alaric merasa Vega akan membutuhkan terapi yang cukup panjang dan lama untuk memulihkan kondisi mentalnya yang luluh lantak akibat perbuatan Ren.
"Aku akan menebus dosa-dosaku kepada Vega," kata Ren dengan sikap teguh. Suaranya terdengar sangat serius.
"Tentu saja," kata Alaric dengan ketus. "Kau akan membayar semuanya dengan sangat mahal."
Alaric berjalan keluar dari ruangan itu dengan menggendong Vega yang masih menangis tersedu-sedu dalam pelukannya.
"Tunggu aku!" kata Ren. Ia berjalan dengan langkah cepat berusaha memegang tangan Vega. "Aku ikut denganmu."
Linda yang melihat ketiga orang itu berjalan keluar tampak sangat terkejut. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Mengapa Nyonyanya digendong oleh seorang laki-laki asing dan ia menangis? Mengapa Tuan Ren juga menangis?
Apa yang terjadi sebenarnya?
Ia tampak semakin terkejut ketika melihat seorang lelaki berambut panjang keemasan muncul dari halaman. Lauriel menahan bahu Ren yang hendak mengejar Vega dan Alaric.
"Kau tidak boleh mengeluarkan tenaga terlalu banyak, kau bisa mati," kata pria itu dengan suara tegas.
"A.. apa maksudmu?" Ren berdiri tertegun mendengar kata-kata Lauriel.
Ahh.. benar saja, ia merasa jantungnya berdebar-debar kencang sekali. Apakah Vega memberinya racun?
"Aku menambahkan racun pelemas tubuh pada ramuan kejujuran yang diminta Vega. Ia tidak tahu," kata Lauriel. Ia segera menambahkan. "Ini untuk mencegah agar kau tidak menyakiti cucuku."
Ketika Vega meminta ramuan kejujuran darinya, Lauriel segera menduga ada hal-hal yang tentu mengganggu pikiran Vega.
Walaupun gadis itu tidak mau berterus terang tentang apa yang terjadi dan meminta Lauriel memberinya waktu berdua saja dengan Ren, Lauriel tidak akan membiarkan Vega dalam bahaya. Karena itulah ia menambahkan racun dalam ramuan kejujuran yang akan diberikan Vega kepada suaminya.
"A.. apa katamu?" Ren menekan dadanya dengan kedua tangannya.
Oh, kenapa ia sangat ceroboh dan membiarkan dirinya meminum ramuan kejujuran dan racun ini?
Biasanya ia sangat waspada dan penuh perhitungan. Namun hari ini, semuanya berantakan.
Tadi ia sama sekali tidak sempat memikirkan apa pun. Ia hanya sangat gembira melihat Vega ada di rumahnya. Segenap kerinduannya kepada gadis itu segera tumpah dan ia hanya ingin memeluk Vega dan tidak akan membiarkannya pergi lagi.
"Kau harus ikut kami," kata Lauriel. Ia menekan pundak Ren keras sekali dan tanpa dapat ditahan lagi, tubuh Ren terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh ke tanah dengan bunyi berdebam.
Kemudian semuanya menjadi gelap.
***
Gedung St. Laurent hari itu dijaga petugas keamanan jauh lebih banyak dari biasanya. Alaric dan Lauriel membawa Ren dan Vega ke penthouse yang terletak di lantai paling atas dan membiarkan keduanya beristirahat.
Lauriel belum memberikan penawar racun kepada Ren dan membiarkannya pingsan di salah satu kamar yang dikunci, sementara Vega yang terus menangis dibiarkan menenangkan diri di kamar yang lain.
Lauriel dan Alaric lalu duduk bersama di ruang tamu sambil minum brandy. Keduanya tampak sangat tertekan. Alaric merasa resah karena ia tahu semua peristiwa yang terjadi sebagian adalah tanggung jawabnya.
Ia sangat ingin membunuh Ren, tetapi ia tidak mau membuat Vega membencinya karena bukan saja Alaric telah membunuh Friedrich Neumann, ia pun akan membunuh Ren yang merupakan suami Vega.
Lauriel yang sangat mengerti situasi yang dialami Alaric, hanya bisa berdiam diri. Ia menyesap brendinya pelan-pelan sambil memikirkan apa yang sebaiknya mereka lakukan.
"Kurasa sebaiknya, biarkan Vega yang mengambil keputusan. Bagaimanapun, ia yang paling dirugikan..." kata Lauriel akhirnya. "Kalau terserahku, aku akan membunuh semuanya."
"Ayah benar," kata Alaric. Ia mengerling ke arah kamar di ujung lorong tempat Vega beristirahat. Mereka masih dapat mendengar suara isak tangis pelan dari sana.
Saat itu rasanya Alaric ingin terus memeluk anak perempuannya dan menghiburnya, tetapi sayangnya, ketika mereka tiba di penthouse, Vega meminta ditinggalkan sendiri.
Alaric merasa sedih karena ia mengerti Vega pasti ikut menyalahkannya.