The Alchemists: Cinta Abadi

Piknik



Piknik

0"Heyy.. itu ada desainer yang ingin kutemui. Aku ke sana dulu, ya..." Tatiana yang tahu diri segera bangkit dari duduknya dan pura-pura mengejar seorang desainer ke arah ujung ruangan.     

"Aku haus. Aku akan mencari minuman dulu. Kalian tunggu di sini, ya," kata Altair yang segera berjalan mengikuti Tatiana menjauhi Vega dan Mischa.     

Dalam hati ia tertawa sendiri. Wahh.. memang beda ya kalau laki-laki sudah matang dan dewasa seperti Mischa. Ia tidak bermain kata-kata, dan tidak berputar-putar.     

Ia langsung dengan santai menyampaikan saja keinginannya untuk berkencan dengan Vega. Mischa benar-benar tidak sungkan ataupun canggung. Semua gerak-gerikanya terlihat sangat percaya diri.     

Sekarang, Altair akan membiarkan mereka berdua agar Mischa bisa mengajak Vega bicara hanya berdua saja.     

Siapa tahu pembicaraan mereka menjurus ke urusan cinta.. hehehe. Altair akan memperhatikan saja dari jauh. Ia tidak mau menjadi orang ketiga ataupun kambing congek.     

"Kakak tadi bilang apa?" tanya Vega sambil menatap Mischa dengan wajah geli. "Kak Mischa mau mengajakku kencan? Kau serius?"     

Mischa mengangguk. "Aku serius. Kalau kau mau memberi kesempatan kepada Om satu ini.. aku akan sangat senang."     

Vega tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Ssshh... Kak Mischa tidak setua itu. Hmm.. baiklah. Aku akan makan malam denganmu. Setelah itu kita lihat nanti ya."     

"Terima kasih..." kata Mischa sambil menatap Vega dengan senyum terulas.     

Ahhh.. semakin ia melihat Vega, semakin ia menyukai gadis ini. Vega sekarang sudah kembali seperti Vega yang dulu.     

Kecuali warna matanya yang tetap cokelat, wajahnya yang cantik, rambutnya yang platinum indah, dan tubuhnya yang sehat membuatnya terlihat seperti Vega Linden yang ia temui dulu. Kepribadiannya pun sekarang hangat dan percaya diri. Sungguh sangat mempesona.     

[Aku dan JM ada keperluan mendadak. Kalian berdua pulang sendiri saja, ya. Sampai jumpa.]     

SMS dari Altair masuk ke ponsel Mischa dan Vega setengah jam kemudian. Kedua orang itu saling pandang keheranan.     

"Sepertinya kita akan pulang sendiri," komentar Vega.     

"Kurasa begitu," balas Mischa.     

Pria itu tersenyum sendiri saat membayangkan bahwa Altair dan JM sengaja mencari alasan agar tidak pulang bersamanya. Mereka tentu tahu bahwa Mischa berminat kepada Vega dan ingin diberikan kesempatan untuk bersama gadis itu.     

"Mari?" Mischa mengulurkan tangannya dan Vega segera menyambut. Tanpa canggung Mischa segera menggandeng gadis itu keluar dari gedung pertunjukan menuju ke depan lobi. Saat berjalan melintasi selasar dan lobi, keduanya menarik sangat banyak perhatian.     

Orang-orang banyak yang penasaran ingin mengetahui siapa mereka sebenarnya. Tidak ada yang pernah melihat Mischa dan Vega di acara-acara fashion sebelum ini, dan mereka bertanya-tanya apakah keduanya berasal dari kalangan bangsawan atau bukan.     

Biasanya anggota keluarga bangsawan Eropa banyak yang menutup diri dan hanya keluar di acara-acara tertentu saja.      

"Silakan masuk," Mischa membukakan pintu untuk Vega. Setelah gadis itu duduk dengan manis di depan dan ia menutup pintunya, Mischa masuk ke mobil dan duduk di kursi pengemudi.     

"Terima kasih, kakak tadi sudah mengantar dan menemani kami," kata Vega sambil menoleh ke arah Mischa dengan wajah tersenyum cerah.      

"Aku senang melakukannya," kata Mischa. Ia lalu melajukan mobilnya ke arah Hotel Nobel. "Oh ya... kau mau pilih yang mana? Makan di Restoran di puncak Menara Eiffel atau di penthouse?"     

Mendengar pertanyaan Mischa, Vega tampak berpikir sejenak. Pandangannya terarah keluar jendela mobil. Ia sangat jarang berjalan-jalan keluar karena malas memikirkan rombongan pengawalnya yang sangat banyak.     

Mereka dengan senang hati akan menemaninya dan menjaganya, tetapi gadis itu lebih suka kalau ia bisa berjalan-jalan dengan bebas.     

Di sebelah kanan, ia melihat menara Eiffel yang menjulang di tengah kota Paris. Lampu-lampunya sudah dinyalakan dan terlihat indah sekali.     

"Bagaimana kalau kita ke Menara Eiffel?" tanya gadis itu. "Aku sudah tujuh tahun tidak ke sini. Aku tahu rasanya norak bersikap sebagai turis, tetapi aku ingin sekali-sekal merasakannya lagi."     

Mischa mengangguk ringan. "Aku tahu maksudmu. Aku akan menemanimu berjalan-jalan ke sana."     

"Ahhh.. terima kasihhh!"     

Vegaa sangat senang sehingga ia bersenandung gembira. Ia ingat saat terakhir kali datang ke Paris bersama teman-teman sekolahnya. Mereka berlaku seperti turis yang belum pernah mendatangi Paris. Rasanya seru sekali.     

Mischa memarkir mobilnya di dekat Trocadero dan mengajak Vega menjelajahi Champ De Mars. Gadis itu menolak naik ke atas menara karena ia sudah sering melakukannya. Lagipula, di musim panas seperti ini, antriannya cukup panjang.     

Matahari di musim panas masih terlihat di angkasa, menerangi kota Paris dengan sinarnya yang kemerah-merahan.     

Satu jam lagi matahari akan segera terbenam dan banyak orang yang piknik di lapangan rumput Champ De Mars sambil menikmati pemandangan senja dan lampu-lampu Menara Eiffel bersama teman dan pasangan.     

Suasana terlihat sangat meriah dan menyenangkan. Vega merentangkan tangannya dengan gembira dan berjalan riang sambil menarik tangan Mischa menuju salah satu spot di tengah lapangan berumput yang masih kosong.     

"Kita duduk di sini saja," kata Vega. Tanpa menunggu jawaban pemuda itu, ia lalu melepaskan sepatunya dan duduk dengan santai di atas rumput tebal itu, menghadap ke Menara Eiffel. Mischa hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum melihat tingkah Vega.     

Ia dapat melihat betapa gadis ini sangat menikmati berjalan-jalan di luar seperti orang biasa. Mischa merasa sangat senang karena ayah angkatnya mempercayainya seperti kepada dirinya sendiri, sehingga merelakan Vega untuk bepergian dengan Mischa, tanpa harus diikuti kelompok pengawal.     

Dalam hati, pria itu bertekad untuk tidak mengecewakan Alaric. Mulai sekarang, apa pun yang terjadi, ia tidak akan pernah membiarkan Vega sendiri.     

Ia telah belajar dari pengalamannya dari tujuh tahun lalu, ketika ia lengah dan mengakibatkan para penjahat berhasil mengambil Vega dan menyembunyikannya selama bertahun-tahun.     

Ah... kalau ia dapat melindungi Vega selamanya, ia akan melakukannya.     

"Bagaimana kalau kita piknik di sini seperti para turis lainnya?" tanya Vega. "Kita masih punya waktu satu jam sebelum hari menjadi gelap. Matahari terbenam di sini cantik sekali."     

"Kau tidak mau makan malam?" tanya Mischa. Ia melihat jam tangannya. "Ini sudah jam 8 malam. Apa kau tidak lapar?"     

Ia melihat di sekitar mereka banyak pasangan atau kelompok teman-teman yang sudah siap dengan makanan dan minuman untuk piknik. Sementara dirinya dan Vega ke sini secara spontan saja dan tidak menyiapkan apa-apa.     

Vega tersenyum lebar. Ia melambaikan tangannya ke arah beberapa pedagang asongan yang berkeliling di lapangan rumput itu, menawarkan air mineral, atau wine, dan camilan kepada para turis yang sedang piknik.     

"Selamat sore, Nona. Anda mau champagne? Atau wine? Kami punya red wine dan white wine..."     

Mischa tertegun melihat Vega dengan santai memilih-milih botol wine dari ember berisi es yang sedang dipegang sang pedagang asongan.     

"Kau akan membeli makanan dan minuman dari pedagang asongan?" tanya pria itu dengan ekspresi tidak percaya.      

"Kita kan tidak membawa makanan," kata Vega sambil tertawa. "Aku lebih suka red wine. Bagaimana denganmu?"     

Mischa mengangguk. "Red wine juga oke."     

"Red wine-nya satu," kata Vega. "Bapak jual cangkir kertas?"     

Sang pedagang menggeleng. "Maaf, hari ini pembeli ramai sekali, dan saya kehabisan cangkir kertas. Kalian terpaksa meneguknya langsung lewat botol. Tidak apa-apa, kan? Seru kok...."     

Vega mengerucutkan bibirnya ia menatap botol wine itu dan wajah Mischa.     

"Kenapa?" tanya Mischa. "Kau tidak jadi beli?"     

"Jadi.. tapi..." Pipir Vega tiba-tiba dijalari rona kemerahan. "Kita hanya bisa minum bergantian dari botol ini..."     

Awalnya Mischa tidak mengerti kenapa Vega tampak tersipu-sipu. Setelah berpikir sebentar, ia pun menyadari apa yang dipikirkan gadis itu. Ahh.. rupanya Vega malu berbagi minuman dari botol yang sama dengan Mischa, karena itu akan terasa seperti ciuman tidak langsung.     

Ahhh... pria itu tersenyum sendiri memikirkannya. Vega yang sekarang bisa dibilang masih polos dalam urusan laki-laki karena ia tidak pernah merasa berhubungan dengan lelaki mana pun sebagai kekasih.     

Ia juga pasti tidak ingat pernah merasakan berciuman ataupun berhubungan intim. Sehingga hal seperti ini membuatnya merasa malu-malu. Bagi Mischa yang sudah berumur hampir 50 tahun, tingkah Vega yang terlihat polos ini sangat menggemaskan.     

Ia mendeham dan mengambil sebotol wine lagi. "Bagaimana kalau kita membeli dua botol? Jadi kita tidak usah berbagi."     

Vega menggeleng. "Ahh.. tidak usah. Nanti kita hanya akan memboroskan wine dan botolnya. Tidak boleh begitu... Aku tidak keberatan kok berbagi wine dengan Kak Mischa."     

"Baiklah, kalau begitu. Kita ambil yang ini. Ah, dia juga menjual sandwich. Apakah kau mau makan sandwich untuk mengganjal perut? Nanti kita bisa makan di larut malam setelah selesai menyaksikan matahari terbenam," kata Mischa menyarankan.     

Vega mengangguk gembira. "Aku suka sekali!"     

Ia menerima kantung kertas berisi dua sandwich dari sang pedagang dan menaruhnya dengan hati-hati di pangkuannya, lalu meminta sang pedagang membukakan sumbat botol wine mereka.     

"Terima kasih," kata gadis itu dengan gembira. Ia menerima botol wine dan menaruhnya di rumput dan kemudian mengulurkan tangannya kepada Mischa. "Minta uang. Aku tidak membawa uang untuk membayarnya."     

"Oh.. tentu saja," kata Mischa sambil tertawa. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan uang seratus euro. "Ambil kembaliannya."     

Sang pedagang yang mendapat rejeki nomplok itu tampak sangat gembira. Ia mengipas-kipaskan lembaran uang itu ke ember berisi wine-nya dan mengucap terima kasih berkali-kali.     

"Kak Mischa tidak membawa uang lebih kecil?" tanya Vega.     

Wine yang mereka beli sebenarnya harganya cukup murah, sekitar 3 euro, tetapi dijual para pedagang itu lebih dari tiga kali lipat.     

Dengan dua buah sandwich, mungkin harganya hanya sekitar 15 euro saja. Namun Mischa membayarnya dengan harga lebih dari enam kali lipat. Tentu saja kemurahan hatinya ini membuat sang pedagang sangat gembira.     

"Tidak apa-apa," kata Mischa sambil tersenyum simpul.      

Membayar seribu euro pun ia tidak keberatan. Momen indah bersama Vega ini jauh lebih berharga daripada seluruh harta kekayaannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.