The Alchemists: Cinta Abadi

Tinggal Bersama (1)



Tinggal Bersama (1)

2Setelah ia selesai berbicara, Aleksis yang tampak sangat terkejut bertanya memastikan kepada Pavel. "Kau serius? Kau tidak salah orang? Ini benar-benar Rose yang sama?"     

"Aku sudah memeriksanya beberapa kali, Nyonya. Ini memang orang yang sama," jawab Pavel dengan penuh hormat."     

"Terima kasih, Pavel, atas informasinya," kata Alaric sebelum menutup telepon.     

Ia kembali bertukar pandangan istrinya. Wajah Aleksis kini terlihat berseri-seri.     

"Aku menyukai gadis ini. Kalau memang dia semenarik seperti yang dikatakan oleh Rune, aku setuju," kata wanita cantik itu sambil tersenyum.     

"Hmm.. baiklah. Kalau begitu, kita biarkan saja mereka menjalaninya," kata Alaric. Aleksis akhirnya menggangguk setuju.     

"Hmm... menurutmu, apakah kita sebaiknya memberi tahu Ayah?" tanya Aleksis tiba-tiba.     

Alaric menggeleng, "Sebaiknya jangan. Ini adalah urusan pribadi adikmu. Biarkan dia yang menjalaninya. Kita tidak usah ikut campur. Yang penting kita sudah memastikan bahwa ia aman bersama Rose."     

"Hmm... begitu, ya?"     

"Benar. Biarkan ia menjalani kehidupan percintaannya sendiri. Kalau kita terlalu ikut campur, kita justru akan merusaknya. Kau harus sadar, adik bungsumu itu sudah dewasa. Ia perlu belajar dari pengalaman bukan hanya dari menyaksikan kisah cinta orang lain," kata Alaric menasihati.     

Aleksis mendesah. Astaga... memang benar. Rune sudah berumur 40 tahun. Ia tidak boleh terlalu mengawasinya seperti kepada anak kecil.     

"Tapi kita perlu memberi tahu dia bahwa apa pun yang terjadi kita akan ada di sini untuknya," kata Aleksis akhirnya.     

"Itu ide bagus," kata Alaric. "Kita masih belum tahu kenapa Rose menginginkannya menjadi kekasih pura-pura selama setahun. Siapa tahu ada hal buruk di balik itu yang bisa membuat adikmu patah hati."     

Setelah mereka selesai membicarakan apa yang harus mereka lakukan terhadap Rune, pasangan itu kembali ke ruang tamu dan menemukan Rune sedang menerima paket kiriman dari marketplace. Wajah pria itu tampak senang sekali.     

"Aku membeli pakaian," kata Rune menjelaskan tanpa ditanya. Ia membongkar berbagai paket pakaian yang ia beli tadi malam dari marketplace dan meletakkannya di meja. Aleksis tertawa kecil mengingat hal yang sama pernah dilakukan oleh London.     

Astaga... memang benar kata Rune. Keluarga ini mirip. Baik kakak dan adik tidak ada bedanya. Ia mendeham dan menghampiri meja tempat Rune menjajarkan pakaian-pakaiannya itu.     

"Kau membeli pakaian yang murah?" tanyanya berusaha menahan tawa.     

"Benar. Rose akan curiga kalau ia melihat aku memiliki pakaian yang mahal. Dia sendiri sepertinya dari keluarga kelas menengah," kata Rune. Ia berusaha mengingat-ingat pakaian Rose tadi malam. Walaupun pakaian gadis itu tampak indah membalut tubuhnya, Rune yakin bahwa tidak ada pakaiannya yang bermerk ataupun berbahan mahal.     

"Baiklah," kata Aleksis. Ia lalu menunjuk jam tangan mahal edisi terbatas yang dikenakan adiknya. "Jangan lupa melepas jammu. Harganya bisa membeli rumah di New York."     

Rune menepuk keningnya dan kemudian mengangguk.     

"Ah, benar. Aku hampir lupa." Ia hendak melepaskan tali jamnya, tetapi kemudian sesuatu terbetik di benaknya. "Ahem... sebenarnya sih, aku bisa saja memakai jamku ini. Aku tinggal bilang kalau ini barang palsu yang kubeli saat aku jalan-jalan ke China."     

Aleksis mengerling ke arah Alaric dan saat melihat suaminya menggeleng, ia lalu buru-buru melambaikan tangannya. "Ahhh... jangan ambil risiko. Sebaiknya copot saja."     

Sebelum Rune dapat menolak, kakak perempuannya telah melepas paksa jam itu dari tangannya.     

"Hm.. baiklah, kau benar." Akhirnya Rune mengalah. "Tolong simpankan jam itu sampai nanti aku memerlukannya."     

Pemuda itu lalu mencopot semua label harga pada baju-baju yang baru dibelinya. Setelah Rune puas melipat semua pakaian barunya, ia lalu membawanya ke kamar dan berkemas. Ia memasukkan semua pakaian tersebut ke dalam tas ranselnya.     

Tidak lupa ia juga membawa beberapa perlengkapan yang ia butuhkan selama ia tinggal bersama Rose.     

"Kau menggunakan nama aslimu di depan Rose?" tanya Alexis saat melihat adiknya keluar dari kamar dan bersiap-siap untuk berangkat ke stasiun Grand Central.     

Rune mengangguk. "Iya, betul. Kurasa yang punya marga Schneider kan bukan kita saja. Dengan identitasku seperti ini, kurasa dia juga tidak akan menghubungkan aku dengan keluarga Schneider kita."     

"Baiklah kalau begitu," kata Alexis. "Jadi, kau berangkat sekarang?"     

Rune mengangguk lagi. "Ia menungguku di stasiun Grand Central."     

"Semoga berhasil," kata Aleksis sambil tersenyum. Ia kemudian memeluk bahu adiknya dan menepuk-nepuk punggung Rune dengan penuh kasih sayang.     

Ahh... waktu begitu cepat berlalu, pikirnya. Walaupun selama beberapa tahun terakhir ini ia ingin melihat Rune jatuh cinta dan menikah, ia tidak menduga bahwa ketika saat itu tiba, ia akan merasa begini emosional.     

Adik kecilnya sekarang sudah menjadi seorang laki-laki dewasa. Ia sangat yakin pada perasaannya kepada Rose, walaupun mereka baru bertemu.     

Alekis benar-benar berharap upaya adiknya untuk menaklukkan hati Rose akan berhasil. Dari apa yang sudah ia ketahui tentang identitas Rose, Aleksis merasa bahwa memang gadis itu adalah orang yang cocok dan tepat untuk adiknya.     

Ia hanya dapat berharap semoga kesepakatan Rune dan Rose menjadi kekasih pura-pura selama setahun ke depan akan berakhir manis dengan keduanya jatuh cinta dan menjalin hubungan yang sungguhan.     

Untuk menghindari risiko Rose melihatnya turun dari mobil mewah, Rune menolak untuk diantar sopir keluarga Lnden ke stasiun Grand Central. Ia memilih untuk naik taksi saja dan turun di depan stasiun terbesar di New York itu.     

Pukul 09.55, ia menerima SMS masuk ke ponselnya. Dengan wajah berseri-seri, Ia membuka ponselnya dan membaca SMS dari Rose.     

[Aku sebentar lagi tiba. Tunggu aku di depan stasiun, ada kios pizza di sana.]     

Rune melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari kedai pizza yang dimaksud oleh Rose. Setelah menemukannya, ia segera menuju ke sana dan menunggu. Ah, benar saja. Tidak lama kemudian gadis yang ya nanti-nanti kan itu pun tiba.     

Kalau tadi malam Rose terlihat begitu cantik saat mereka bertemu di cafe, hari ini ia terlihat jauh lebih cantik lagi dengan pencahayaan luar ruangan.     

Rune melihat gadis itu berjalan santai ke arahnya. Penampilannya terlihat santai dan nyaman. Rose mengikat rambut ikal keemasannya yang indah menjadi ekor kuda. Pakaiannya tampak ringkas dengan kemeja dan sweater biru tua serta overcoat abu-abu.     

Ia juga masih mengenakan sepatu boot commando seperti tadi malam. Penampilannya hari ini tampak sangat kasual dan praktis namun tetap mempesona. Untuk sesaat, Rune tertegun melihat kecantikannya.     

Ketika Rose tiba di hadapan pemuda itu, ia sampai harus melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Runeuntuk menarik perhatiannya.     

"Hei kau melamun apa? Aku ada di sini suaranya." Suara renyah gadis itu menggugah Rune dari lamunannya.     

Sang pemuda tersenyum dan mengangguk. "Oh, selamat pagi, Rose. Seperti biasa, kau tepat waktu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.