Pertemuan Dengan Ren (4)
Pertemuan Dengan Ren (4)
Mereka masuk ke dalam dan menemukan ruangan itu penuh sesak dengan pengunjung dan wartawan. Dari bisik-bisik yang mereka dengar dari orang di sekitar mereka, Mischa dan Vega mengetahui bahwa top management SpaceLab ternyata hari itu hadir di sana.
Para jurnalis khususnya berebutan hendak mendapatkan gambar dan pernyataan dari Professor Renald Hanenberg yang telah kembali ke SpaceLab setelah bertahun-tahun mengemban tugas sebagai pangeran putra mahkota kerajaan Moravia.
"Astaga... ternyata Pangeran Ren benar-benar setampan seperti yang diberitakan," bisik seorang wanita di samping Vega yang tampak berseri-seri. Temannya mengangguk gembira.
"Ahhh.. untung kita datang hari ini ya? Siapa yang menduga ternyata Professor Hanenberg menyempatkan diri datang ke sini."
"Ahh... lihat wajahnya yang sedih. Seandainya saja ia kekasihku, aku akan menghiburnya dan membuatnya tersenyum lagi... hehehehe."
"Hush... jangan bicara sembarangan kau. Orang bilang beliau sangat mencintai istrinya. Ia bahkan rela turun dari posisi sebagai putra mahkota kerajaan Moravia demi wanita itu. Dan kemudian istrinya meninggal? Wahh.. akan sangat sulit bagi wanita mana pun untuk mengganti posisinya," kata temannya lagi. "Lagipula istrinya baru meninggal setahun yang lalu. Menurutku... orang seperti beliau akan perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat memulihkan hatinya dan mencari wanita baru."
"Yah, kudengar memang seperti itu. Beliau mengambil tawaran pekerjaan di SpaceLab ini katanya untuk menyibukkan diri. Kurasa ia memang berusaha melupakan kesedihannya dengan bekerja."
"Yah.. kuharap saja itu berhasil. Ia harus segera melupakan wanita itu dan melanjutkan hidup. Ia ka masih sangat muda. Masakan mau terus hidup dalam bayangan masa lalu? Apalagi istrinya sudah meninggal dan tidak akan kembali lagi."
Vega mengernyitkan keningnya saat mendengar gosip para wanita di sekelilingnya. Ia juga merasa bersimpati kepada Renald Hanenberg saat membaca kisah hidupnya yang tragis di blog Tatiana tadi.
Namun, mendengar begitu banyak wanita membicarakan Ren dan berharap ia segera melupakan mendiang istrinya membuat Vega merasa sedikit kesal. Ia merasa seolah wanita-wanita yang berbicara itu adalah burung buas yang siap memangsa Ren.
Ia ingat kisah cinta Lauriel dan Luna, kakek dan neneknya sendiri. Selama lebih dari seratus tahun, Lauriel tidak pernah melupakan wanita yang ia cintai itu. Ia hidup sendirian dan mengubur kesedihannya dengan menyepi dari dunia.
Ia juga tidak pernah mencari pengganti Luna. Di dalam hati dan pikirannya, Luna adalah satu-satunya wanita untuknya. Itulah salah satu alasan mengapa Elios Linden atau Alaric Rhionen dapat memaafkan ayahnya yang tidak sengaja menelantarkannya selama seratus tahun.
Lauriel tidak tahu bahwa wanita yang ia cintai telah melahirkan anak-anak mereka sebelum ia meninggal dalam serangan udara di tengah perang dunia 2 dulu. Seandainya ia tahu, tentu ia akan mencari dan menyelamatkan mereka.
Sayangnya, ia tidak tahu... dan ia terlambat seratus tahun.
Namun demikian, saat akhirnya Lauriel dan Alaric bertemu, Alaric dapat melihat betapa ayahnya sangat menderita akibat kematian ibunya. Lauriel juga merasa sangat bersalah karena tidak mengetahui ia memiliki anak dari Luna.
Bila saat mereka bertemu itu Lauriel telah melupakan cintanya kepada Luna dan menikahi wanita lain, tentu akan sulit bagi Alaric untuk memaafkan ayahnya.
Kisah cinta Lauriel dan Luna ini sangat membekas di hati Vega. Ia selalu membandingkan kisah cinta yang dibacanya di dalam novel maupun di dunia nyata dengan kisah cinta ayah ibunya, dan kakek neneknya.
Hal inilah yang membuatnya tersentuh ketika membaca tentang situasi Professor Renald Hanenberg. Pria itu sepertinya sangat mencintai istrinya... hingga rela mundur dari takhta Moravia demi wanita itu.
Sayangnya.. wanita yang ia cintai itu meninggal. Oh... entah kenapa hati Vega ikut sedih untuk pria yang tidak dikenalnya itu.
Dalam hati, ia berharap niat Professor Hanenberg kembali bekerja di SpaceLab dapat meredakan kesedihannya yang dalam. Namun, ia juga berharap Professor Hanenberg tidak akan melupakan istrinya.
"Heii.. Professor Hanenberg akan berbicara! Ssshh..."
Vega mengangkat wajahnya dan melihat ke bagian depan ruangan. Suara bisik-bisik segera terdengar di ruangan itu dan petugas acara meminta hadirin untuk duduk. Saat satu persatu tamu di depan mereka duduk, barulah Vega dapat melihat sosok pria itu di panggung kecil di depan ruangan.
Renald Hanenberd mengenakan pakaian serga gelap. Jasnya berwarna biru tua, dan sangat rapi, membuat penampilannya terlihat formal. Wajahnya sangat tampan dan untuk sesaat membuat Vega tertegun.
Rambut pria itu berwarna cokelat tua, dan sepasang matanya yang terlihat berbinar sangat cerdas memiliki warna cokelat sangat muda, seperti amber. Secara keseluruhan, penampilan pria ini sangat mengesankan.
Pantas saja gadis-gadis berharap ia segera melupakan mendiang istrinya dan melanjutkan hidup dengan mencari wanita baru untuk dicintai... Laki-laki ini memang terlihat seperti tipikal suami idaman!
Ketika Professor Renald Hanenberg mengangkat wajahnya dan melayangkan pandangan ke ujung ruangan, matanya menangkap sosok Vega yang berdiri di paling belakang dengan sepasang mata terbelalak.
Di samping gadis itu berdiri MIscha Rhionen yang dikenalnya sebagai salah satu direktur di RMI. Ren mengerutkan keningnya keheranan.
"Itu... Professor Renald Hanenberg?" bisik Vega kepada Mischa di sampingnya.
"Benar," kata Mischa dengan suara datar. Ia menoleh ke arah Vega dan mengamati ekspresi gadis itu baik-baik. Ia berusaha mencari tahu apakah Vega mengenali Ren, atau tidak.
"Oh..." Vega menekap bibirnya.
"Kenapa?" tanya Mischa dengan suara penuh perhatian.
Vega menggeleng. "Tidak apa-apa. Ia tampan sekali ya? Aduh.. aku mengerti kenapa wanita-wanita di sini berebutan ingin agar ia segera melupakan istrinya. Pantas saja."
Mischa menahan napas sesaat, sebelum kemudian mengangguk. Ia berusaha meredakan perasaan cemburunya dan bertanya kepada Vega dengan nada bercanda. "Lebih tampan siapa? Aku atau dia?"
Vega tertawa kecil mendengar pertanyaan pria ini. Ia mengangkat bahu. "Entahlah. Aku tidak bisa memutuskan. Kau dan dia berbeda. Jadi aku tidak bisa menyebutkan siapa yang lebih tampan. Sama seperti memintaku memilih mana yang lebih enak, buah apel atau buah jeruk, karena keduanya berbeda. Masing-masing memiliki rasanya yang khas."
"Hmm... begitu, ya?" tanya Mischa.
"Sshh.. sebaiknya kita diam. Sepertinya acara akan dimulai. Aku ingin tahu apa yang akan ia sampaikan," bisik Vega sambil mencubit lengan Mischa. Ia mengunjukkan dagunya ke depan dan memberi tanda kepada Mischa untuk diam.
Mischa menuruti permintaan gadis itu. Ia mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke depan. Ren Hanenberg duduk di kursi di tengah panggung dengan mikrofon di tangannya. Di sampingnya duduk seorang wanita berkaca mata dan seorang laki-laki berkepala botak.
"Selamat pagi, semuanya. Selamat datang di aula SpaceLab," kata Ren dengan suaranya yang tenang dan segera memukau semua orang yang hadir.