Menangis Di Taman
Menangis Di Taman
Fee merasa tertekan karena pernikahan rahasianya membuat ia menjadi sasaran gosip tidak sedap di kampus, dan ia takut teman-temannnya di Kafe Magnolia juga akan berpikiran buruk jika mereka tahu ia adalah istri dari pemilik yang baru.
Mereka mungkin akan sama-sama berpikir negatif seperti para mahasiswa di sekolahnya yang menganggap Fee menjadi simpanan atau istri muda laki-laki kaya hidung belang yang memberinya harta, berupa kafe tersebut untuk diurusnya.
Terhadap tuduhan seperti itu, Fee tidak akan pernah dapat membela diri karena ia tidak mungkin memberi tahu mereka bahwa suaminya adalah Pangeran Renald Hanenberg. Hal itu akan merugikan kedudukan dan reputasi Ren..
Tetapi jika ia membiarkannya, gosip yang beredar akan semakin santer dan ia akan menjadi semakin tersudut. Bagaimanapun ia berpura-pura tidak terpengaruh, dalam hati Fee benar-benar merasa tertekan dan sakit hati.
Di sisi lain, ia juga harus bersabar menghadapi situasi di mana Ren tidak dapat membawanya dalam acara-acara publik dan Fee harus melihat suaminya didampingi Amelia, wanita yang sangat ia benci, dan orang-orang menganggap keduanya sebagai pasangan. Sebagai istri Ren, Fee hanya bisa berdiam diri di sudut dan tidak dapat berbuat apa-apa. Hal ini sangat membuatnya sedih.
Fee berdiri termenung di depan kafe. Angin musim gugur yang dingin sama sekali tidak mengganggunya. Pikirannya sedang dipenuhi rasa sedih. Ia tidak tahu apakah ia akan menerima hadiah dari Ren dan datang sebagai pemilik kafe atau tidak.
Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Banyak turis yang memadati kawasan Kota Tua yang hari ini tampak meriah, tetapi, walaupun ia berada di tengah keramaian, Fee merasa sangat sendirian.
Ia tidak tahan lagi.
Fee berjalan dengan tergesa-gesa ke arah taman. Ia memutuskan untuk langsung pulang ke rumah dan tidak jadi datang ke Kafe Magnolia sebagai pemilik. Ia takut kalau ia mendengar sekali lagi omongan negatif tentang dirinya, ia akan meluapkan kesedihan dan kemarahan yang selama ini telah bertumpuk di dadanya.
Ia tidak menyadari bahwa air matanya telah berjatuhan sambil ia berjalan terburu-buru ke arah taman. Taman kota siang ini tidak terlalu ramai karena sedang jam makan siang dan kebanyakan orang sedang bersantai di kafe atau restoran. Hanya ada beberapa orang yang sedang duduk menikmati sandwich di bangku taman.
Fee mencari-cari mobil John, agar supirnya itu segera mengantarnya pulang, tetapi setelah ia berjalan keliling taman, ia tak dapat menemukannya.
"John.. kau di mana? Aku merasa tidak enak badan, tidak jadi ke Kafe Magnolia. Aku mau pulang saja." kata Fee di telepon.
"Oh, maafkan saya, Nyonya. Saya pikir seperti biasa Nyonya akan pulang jam 5 sore. Saya tadi dipanggil Nona Amelia ke kantor Tuan untuk mengurus sesuatu," kata John. "Saya akan segera kembali ke sana."
"Hmm.. tidak usah kalau begitu. Aku akan naik taksi saja," kata Fee, berusaha menahan kesal.
"Jangan, Nyonya. Nanti Tuan memarahi saya. Beliau berpesan tegas agar saya selalu mengantar jemput Nyonya. Beliau takut terjadi apa-apa dengan Nyonya seperti yang waktu itu. Mohon tunggu sebentar. Saya akan segera ke sana."
"Baiklah.." Fee menutup telepon dengan wajah keruh. Ia lalu memutuskan duduk di salah satu bangku taman. Pandangannya menatap kosong ke arah boulevard di seberang taman. Ada banyak pasangan yang sedang makan siang di kafe atau berjalan santai sambil berpegangan tangan dengan mesra.
Ah.. ia teringat bahwa Ren dan dirinya juga bersikap mesra di muka umum saat mereka liburan kemarin. Sayangnya.. di Moravia mereka tidak bisa seperti itu. Fee bahkan tidak bisa berjalan berduaan dengannya di tempat umum.
'Kau jangan tamak, Fee... Kau sudah berjanji bahwa kau akan bersabar," kata Fee dalam hati.
Ia membuang muka ke arah taman. Tanpa terasa butir-butir air mata mulai mengalir turun ke pipinya.
Ia sudah menahan diri dan bersabar selama setahun lebih. Ia tak tahu apakah ia akan sanggup menahannya selama empat tahun lagi.
Dan... ia juga tidak tahu apakah Ren benar-benar akan berhasil mengundurkan diri seperti yang diinginkannya. Bagaimana jika tidak?
Ia membuka ponselnya dan mencari berita terbaru tentang Ren Hanenberg. Di saat ia merasa sedih dan kesepian, satu-satunya yang dapat diajaknya bicara adalah Ren, suaminya, tetapi bahkan tadi yang mengangkat panggilan teleponnya adalah Amelia si penyihir itu.
Fee merasa dadanya sesak dan ia ingin menjerit untuk mengeluarkan semua rasa frustrasinya.
"Ambillah ini..." Tiba-tiba terdengar suara lembut dari sampingnya, membuat Fee yang sedang menangis tersedu-sedu menjadi tertegun. Gadis itu menoleh ke samping kanan dan menemukan sebuah tangan mengulurkan sapu tangan lewat bahunya.
Fee mengangkat wajahnya dan melihat siapa orang yang mengajaknya bicara. Rasanya di zaman modern ini sudah sangat jarang ia menemukan orang yang masih membawa sapu tangan. Ia sendiri sebagai seorang wanita tidak membawanya.
Wajah Fee terpana saat memandang laki-laki yang berdiri di belakangnya dan menatap ke arahnya dengan pandangan penuh perhatian. Lelaki ini sangat tampan dan berpenampilan rapi. Rambutnya yang ikal keemasan membingkai wajahnya yang terlihat begitu sempurna dengan sepasang mata biru cemerlang yang indah.
Pakaiannya mengingatkan Fee akan suaminya yang senang mengenakan pakaian serba gelap. Tetapi bila Ren mengenakan pakaian formal berwarna gelap agar terlihat lebih serius dan lebih tua, pria ini tampaknya memang menyukai warna serba hitam.
Dari balik kemejanya yang terbuka sediki di bagian atas, Fee dapat melihat kalung bertali kulit dengan dreamcatcher kecil dari perak yang menggantung di lehernya. Fee mengerutkan keningnya berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah melihat pria ini.
"Sepertinya kau membutuhkan sapu tangan... Ambillah," kata pria itu lagi.
Fee mengerucutkan bibirnya dan menahan sedu sedannya. Ia menatap sapu tangan dan wajah pria itu bergantian, lalu akhirnya mengangguk. Ia mengambil sapu tangan dari tangan pria itu dan mengusap mata serta hidungnya yang sudah basah berderai-derai.
"Terima kasih," katanya kemudian. "Berikan alamatmu, nanti aku akan mengirim sapu tangan ini setelah dicuci..."
Pria itu tertawa pelan saat mendengar kata-kata Fee. Ia lalu duduk di samping gadis itu, namun tetap menjaga jarak.
"Tidak apa-apa. Aku bisa memesan yang baru. Kau ambil saja untuk kenang-kenangan," katanya ringan.
"Hmm.. terima kasih..." Fee merenung beberapa saat. Ia lalu menoleh ke arah laki-laki itu dan bertanya. "Apakah kita pernah bertemu?"
Pria itu mengangkat bahu. "Hmm.. mungkin. Apakah kau pernah diganggu laki-laki brengsek dengan dua anak buahnya di kawasan Kota Tua?"
Fee menatap pria itu lekat-lekat dan kemudian mengangguk. "Benar! Berarti waktu itu kau juga yang menolongku..."
"Ah.. kebetulan sekali kalau begitu. Pantas, tadi rasanya kau cukup familiar," kata pria itu. "Kenapa kau menangis? Apakah ada orang yang mengganggumu?"
Fee mengerutkan bibirnya dan tanpa dapat ditahannya lagi air matanya kembali mengalir. Ia berusaha tidak menangis di depan orang asing ini, tetapi entah kenapa, di saat seperti ini air matanya justru keluar semakin deras.
"Hei... kau tidak apa-apa? Apakah kau perlu bantuan? Di mana suamimu?"
Pertanyaan itu justru membuat Fee menjadi semakin sedih. Ia membenamkan kepalanya di kedua tangannya dan menangis terisak-isak.
Suaminya sedang di jamuan makan siang bersama Amelia.
Melihat Fee menangis dengan begitu sedih, pria itu menjadi salah tingkah. Ia ingin memeluk gadis itu dan menenangkannya, tetapi di saat yang sama ia ingat Fee sudah menikah. Ia tidak ingin menjadi lelaki yang menenangkan istri orang lain.
"Apakah suamimu yang menyakitimu?" tanya pria itu dengan nada sangat hati-hati. "Kalau kau disakiti dan ingin mencari bantuan, aku akan membantumu."
Fee mengangkat wajahnya dan menatap pria itu dengan mata basah. "Dia tidak menyakitiku, kau salah paham. Aku bersedih karena kesalahanku sendiri... Aku tidak apa-apa.. Aku hanya perlu menangis sebentar. Aku akan baik-baik saja."
"Hmm... Baiklah," kata pria itu kemudian. Ia menatap Fee dengan pandangan iba. "Aku hanya ingin membantumu. Kau mengingatkanku akan adik angkatku.. Itu saja."