The Alchemists: Cinta Abadi

Pemandangan Dari Jendela Restoran



Pemandangan Dari Jendela Restoran

3Walaupun ia bukan Terry yang jago berakting, London cukup baik memainkan perannya sebagai seorang pria yang tampak tertarik pada kecantikan Caroline Wendell. Ia mengobrol dengan Caroline tentang urusan rumah sakit, konferensi mendatang, dan hal-hal remeh seputar kehidupan di Inggris.     

Gadis itu terlihat cukup pandai mengimbangi pembicaraan. Ia sedang mengambil spesialisasi dokter anak dan sudah mulai bekerja di rumah sakit yang dipimpin ayahnya untuk menambah pengalaman.     

"Sepertinya topik konferensi medis mendatang sangat sesuai dengan bidang yang kau dalami," komentar London. "Apakah kau akan datang ke Berlin bulan depan?"     

Caroline mengangguk. "Benar. Kau akan hadir juga? Aku pikir orang sepertimu terlalu sibuk untuk bisa menghadiri acara seperti itu."     

"Aku tidak sesibuk itu kok... Ada banyak orang yang membantuku." London menyerahkan kartu namanya kepada Caroline. "Ini nomor teleponku. Kalau kau tiba di Berlin, aku akan mengajakmu berkeliling."     

Caroline menekap bibirnya dengan kaget. Ia tidak menyangka London Schneider akan bersikap demikian ramah kepadanya, hingga memberikan nomor kontak pribadinya.     

"Terima kasih..." Senyumnya terkembang lebar sekali saat ia mengambil kartu itu. Ia menyimpannya di dalam tas tangannya lalu mengeluarkan kartunya sendiri. "Ini nomorku."     

London mengangguk dan menerima kartu dari Caroline. "Terima kasih juga."     

Gadis itu tampak berpikir sejenak. Setelah beberapa saat, ia lalu memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu. "Uhm... apakah besok kau sibuk? Sudah ke mana saja di London?"     

London tahu tujuan Caroline mengajukan pertanyaan itu kepadanya. Ia hanya mengangkat bahu. "Tidak terlalu sibuk. Aku akan ada di London selama tiga hari. Apakah kau mau menawariku melihat-lihat London?"     

Caroline tertawa pelan. Ia kemudian mengangguk. "Kalau kau tidak keberatan. Aku ingin menunjukkan fasilitas rumah sakit kami dan tentu saja tempat-tempat indah di London."     

Pria itu mengangguk. "Kenapa tidak? Aku bebas setelah jam makan siang."     

"Wahh.. sangat menyenangkan. Aku akan menunggu di Rumah Sakit St. George, kapan saja kau bisa mampir, beri tahu aku. Aku akan mengajakmu berkeliling."     

"Tentu saja."     

London memuji aktingnya  yang meyakinkan. Ia akan mendekati Caroline secara pribadi dan mencari informasi apakah ia mengetahui tentang perbuatan ayahnya kepada keluarga L. Ia sudah tidak sabar melihat wajah John Wendell saat nanti mengetahui bahwa London sama sekali tidak berniat mendekati anaknya, melainkan hanya ingin membantu membalaskan dendam L atas kematian kedua orang tua dan adiknya.     

Mereka mengobrol tentang hal remeh-temeh hingga pukul sepuluh malam dan akhirnya Caroline minta diri.     

***     

Keesokan harinya L dan Pammy berjalan-jalan di pusat kota London sambil membawa Lily. Menurut Pammy, L sangat membutuhkan hiburan setelah menghadapi beberapa hari yang cukup membuatnya tertekan.     

Kehadiran manajernya sangat membantu L karena ia tidak terlalu kesepian. Mereka juga dapat mengurus Lily bergantian. Setelah berbelanja dan makan siang bersama di luar, suasana hati L menjadi membaik.     

Mereka sedang duduk di meja teras sebuah kafe yang menghadap ke jalan raya. Setelah makan siang, keduanya memutuskan untuk mampir ke kafe kecil cantik itu untuk menikmati segelas cappucino dan kue lemon.     

"Cuacanya sangat cerah untuk ukuran musim gugur," komentarnya sambil mengangkat tangan dan menatap langit. "Kota ini sangat indah."     

"Kau sudah pernah ke London, waktu tampil untuk membuka tur Rainfall," Pammy mengingatkan.     

"Ya, tapi waktu itu aku sangat sibuk bekerja dan sama sekali tidak berkesempatan untuk jalan-jalan. Padahal Kitaro mengajakku."     

"Ah, ya.. si tampan Kitaro itu. Dari dulu dia sudah menaruh hati kepadamu, kan? Bagaimana tanggapannya setelah gosip kemarin beredar?" tanya Pammy sambil menyesap kopinya. "Akhirnya dia mundur teratur juga kan?"     

Ia berharap semua pria yang mendekati L akan mundur baik-baik setelah berita kehamilan L beredar, agar London Schneider tidak perlu lagi merasa cemburu. Pammy sangat ingin melihat L menikah dan hidup bahagia dengan pria itu.     

L menggeleng lemah. "Dia meneleponku berkali-kali, tetapi aku tidak mengangkat teleponnya. Suasana hatiku sedang sangat buruk. Nanti kalau aku sudah baikan, aku akan menghubunginya."     

Pammy mengangguk. "Hmm... bagaimana dengan Tuan Schneider? Kapan terakhir kali kalian berbicara?"     

"Dua hari lalu. Aku dan dia sama-sama memberi ruang untuk yang lain. Aku menyuruhnya berkencan dengan wanita-wanita lain supaya ia tidak penasaran. Jan bilang London perlu bertemu banyak wanita agar ia dapat membandingkan mereka denganku dan ia dapat menguji hatinya. Aku setuju dengan Jan."     

"Sebentar, Direktur Jan berkata begitu?" Pammy tampak kebingungan. "Lalu.. apakah Tuan Schneider melakukannya?"     

"Dua hari yang lalu ia sudah berkencan dengan perempuan pertama. Lalu Jan sudah menjadwalkan kencan berikutnya dengan dokter anak yang cantik, kemudian mahasiswa hukum  yang pandai menyanyi dan seterusnya..." Suara L mulai terdengar sewot.     

"Tapi kan, ia melakukannya karena kau yang menyuruhnya mengikuti saran Jan. Kurasa tidak bisa menyalahkannya kalau begitu..." komentar Pammy. "Aku yakin ia tidak mempedulikan wanita-wanita lain itu. Buktinya, ia mengurusimu dengan baik. Lihat saja, kau ditempatkan di Presidential Suite selama di London. Kenapa kau tidak coba menghubunginya dan tanya kabarnya."     

L tampak berpikir sejenak. Ia memang merindukan London dan ingin berbicara dengannya.     

Baiklah.. sudah bukan saatnya menjaga gengsi. Toh, mereka sudah saling terbuka beberapa hari lalu dan L juga sudah berjanji untuk memperbaiki komunikasi mereka.     

Akhirnya ia mengangguk dan mengeluarkan ponselnya.     

[Aku dan Lily sedang berjalan-jalan ditemani Pammy di London. Urusanku akan selesai dua hari lagi. Kami akan pulang ke Berlin pada akhir pekan. Bagaimana kabarmu?]     

Tidak lama kemudian masuk SMS balasan dari London Schneider yang membuat wajah L menjadi berseri-seri.     

[Aku baik-baik saja. Aku sangat merindukanmu dan Lily. Tidak sabar ingin bertemu kalian kembali.]     

"Apa katanya?" tanya Pammy penasaran.     

L tidak menjawab. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu menghabiskan cappucino-nya.     

"Sudah sore. Ayo kita pulang," kata gadis itu dengan suara yang terdengar riang. Pammy tersenyum melihat sikap L yang ceria dan menyimpulkan sendiri bahwa gadis itu menerima SMS yang menyenangkan.     

Mereka keluar dari kafe teras dan berjalan ke ujung jalan menuju halte pemberhentian taksi. Redding Street yang mereka lalu adalah salah satu jalan yang ramai dengan berbagai kafe dan restoran di sepanjang kiri kanannya. Di ujung jalan ada taman kecil dan di seberangnya ada rumah sakit yang sangat besar.     

Ketika mereka sedang melangkah santai menuju halte taksi, Pammy tiba-tiba melihat seorang pria yang sedang duduk menikmati wine di sebuah meja di dalam restoran kelas atas di sebelah kanan mereka. Ia buru-buru menarik mantel L yang sedang mendorong stroller Lily.     

"Sshhh.. L, bukankah itu Tuan Schneider? Sedang apa dia di London?"     

L terkejut mendengar kata-kata Pammy. Ia berhenti dan ikut menoleh ke arah yang ditunjuk manajernya. Mereka buru-buru menyembunyikan diri di balik tanaman pot yang besar sambil mengintip ke dalam melalui jendela kaca yang besar.     

Astaga.. benar saja. L membelalakkan matanya saat melihat London sedang duduk di salah satu meja di restoran Italia itu. Ia menikmati wine sambil membaca berita di tabletnya.     

Seketika wajah gadis itu tampak berseri-seri. Ia sudah menduga London akan mengawasinya hingga ke London, tetapi ia tidak mengira pemuda itu sampai datang sendiri untuk menyusulnya. Seulas senyum pelan-pelan terkembang di bibirnya sementara air mata mulai berkembang di kedua pelupuk matanya.     

Pria ini memang sangat mencintainya... L merasa sangat terharu. Ia mengusap matanya yang basah. Ia mengambil ponselnya dari tas hendak menghubungi London dan bicara kepadanya.     

"Eh.. sebentar..." Suara Pammy tiba-tiba menghentikan L yang hampir menekan nomor telepon London untuk meneleponnya.     

Ketika L mengangkat wajahnya untuk melihat ke dalam, seketika ekspresi wajahnya berubah menjadi kaget dan kecewa.     

Tanpa sadar ponsel di tangannya terjatuh ke lantai trotoar dan retak.     

Caroline Wendell baru datang menghampiri London dan berbicara kepadanya dengan senyum lebar.     

"Terima kasih sudah menunggu. Aku sudah membereskan tagihan makan siang kita. Sekarang aku harus kembali ke rumah sakit."     

"Lho.. kenapa kau yang membayar makan siang kita?" tanya London keheranan. Tadi Caroline permisi ke toilet sebentar setelah mereka selesai makan siang, tetapi ternyata ketika ia kembali, Caroline sudah membayar biaya makan siang mereka.     

"Tidak apa-apa, sekarang kan zaman modern. Perempuan juga bisa mentraktir laki-laki untuk makan siang. Anggap saja kau di sini adalah tamuku. Nanti kalau aku ke Berlin, kau yang mentraktirku. Setuju?"     

Akhirnya London hanya bisa mengangguk. Tadi ia sudah bertemu Caroline di rumah sakit St. George dan melihat-lihat rumah sakitnya. Mereka kemudian memutuskan makan siang bersama di restoran Italia di seberang rumah sakit sambil melanjutkan mengobrol.     

Dalam waktu dua hari saja, ia sudah dapat mengambil hati gadis itu dan mereka berbicara banyak hal tentang keluarganya. London sangat yakin, ketika nanti Caroline dan ayahnya datang ke Berlin, akan sangat mudah baginya menjebak mereka.     

"Baiklah kalau begitu. Pastikan kau dan ayahmu datang ke Berlin kalau begitu..." London ikut berdiri ketika Caroline mengenakan jas dokternya dan tas tangan.     

"Ah.. terima kasih, makan siangnya sangat menyenangkan. Aku harus kembali ke rumah sakit. Semoga kunjunganmu ke London menyenangkan." Caroline tersenyum lebar. Ia lalu mencium pipi kanan pria itu dan mengangguk. "Sampai jumpa."     

London hanya mengangguk sedikit dan membiarkan Caroline kembali ke rumah sakit.     

Sementara itu di luar restoran. L berdiri gemetaran menyaksikan pemandangan di dalam. Pammy buru-buru mengambil ponsel L yang jatuh dan menarik tangan gadis itu untuk menyingkir.     

"Ssshh... jangan menangis di sini. Ayo kita segera pulang. Kau akan menarik perhatian banyak orang..."     

L mengusap air matanya dengan ujung syalnya dan berjalan dengan bahu gemetar mengikuti Pammy yang menarik tangannya sambil mendorong stroller Lily.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.