The Alchemists: Cinta Abadi

Memilih Rumah (1)



Memilih Rumah (1)

3L bangun dua kali sebelum makan malam untuk memerah ASI dengan bantuan konselor laktasi dan selama itu pula London keluar ruangan dan masuk ke salah satu kamar VIP  yang ada di sayap rumah sakit itu dan beristirahat atau bekerja. L berhasil memerah sangat banyak ASI yang kemudian disimpan oleh perawat untuk diberikan setiap dua jam kepada Lily.     

London sendiri menghabiskan waktunya untuk membaca atau mengobrol dengan keluarganya lewat telepon selama L memerah ASI di dalam ruangannya. Pukul 7 malam ia lalu menemani L makan malam bersama di kamarnya, di meja makan indah yang disiapkan khusus untuk mereka.     

Saat hidangan pembuka sudah tiba, London menjadi agak heran karena ia melihat L masih makan sangat banyak, padahal ia sudah tidak hamil. Ketika London menanyakan apakah L memang sangat lapar, gadis itu menjawabnya dengan tatapan tajam yang sangat menusuk.     

"Memangnya kenapa kalau aku makan banyak? Kau takut aku menjadi gendut?" omel L sambil menusuk daging steak di piringnya dengan sekuat tenaga, dan membuat London terhenyak, seolah garpu itu menusuk tangannya. "Menyusui membuat perempuan kehilangan sangat banyak energi. Kalau kau mau anakmu kelaparan, aku akan makan sedikit."     

"Bukan itu maksudku," London memutar matanya. Ia sampai lupa bahwa L sangat sensitif mengenai berat badannya selama hamil kemarin. Tentunya sekarang ia masih uring-uringan karena masalah itu. Padahal dalam hati London justru membuat catatan mental untuk meminta Jan memastikan rumah yang akan dipilihnya nanti memiliki dapur luas dan beberapa kulkas besar untuk menyimpan makanan. Akhirnya ia hanya mengangguk, "Ayo makan yang banyak..."     

Sambil berkata begitu ia memotong-motong steaknya sendiri dan menaruh semuanya ke piring L.     

"Lho.. kau makan apa kalau semuanya diberikan kepadaku?" tanya L keheranan, tetapi tidak menolak. Ia mengambil sepotong daging dan mengunyahnya dengan wajah senang.     

"Aku bisa makan buah," kata London sambil mengupas sebutir apel di meja.     

Mereka lalu melanjutkan makan malam dengan tenang. Setelah staf rumah sakit membereskan perlengkapan bekas makan malam mereka, keduanya lalu duduk beristirahat. Lily telah diberi ASI dengan obat dari Lauriel dan London sangat senang melihat sepertinya anaknya baik-baik saja.     

TOK TOK     

Pintu kamar diketuk dan masuklah Pammy yang tampak sangat kuatir ke dalam ruangan. Ia diantar oleh seorang staf langsung dari lobi. Jan telah memerintahkan agar semua staf yang bekerja di sayap timur Rumah Sakit Metropole menjaga kerahasiaan pasien istimewa di sana dan harus melaporkan kepadanya bila ada pengunjung atau orang mencurigakan.     

Karena itulah Pammy dikawal untuk menuju ruangan L agar ia tidak bertanya-tanya kepada sembarang orang tentang rumah sakit tersebut, karena ia pasti akan sangat keheranan melihat seisi gedung di sayap timur ternyata dikosongkan hanya untuk artisnya.     

London tidak mau Pammy nanti menceritakan semuanya kepada L dan nanti L akan kembali marah kepadanya karena membohonginya.     

London sebenarnya sangat ingin berterus terang kepada L, tetapi ia masih menghormati keluarganya, lebih daripada rasa cintanya kepada L. Ia tidak bisa membongkar tentang rahasia keluarganya kepada orang asing. Ia akan menunggu hingga hubungannya dengan L menjadi lebih baik dan menceritakan semuanya.     

Apalagi mereka memiliki anak bersama. Kalaupun L tetap tidak mau menikah dengannya, ia akan memberikan ramuan keabadian yang menjadi jatahnya kepada L, agar Lily dapat tetap bersama ibunya seumur hidup, dan tidak harus dipisahkan usia tua dan kematian - kalau L memang menginginkannya.     

Tetapi ia tidak dapat membuka identitasnya secara sembarangan dan memberikan ramuan keabadian begitu saja. Ia sungguh berharap nanti ketika ia sudah pindah bersama L ke rumah baru, yang dekat dengan rumah keluarganya, hubungan di antara mereka akan menjadi jauh lebih baik.     

"Pammy! Kau datang.." seru L dengan gembira sambil bangun dari posisi berbaringnya. London buru-buru membantunya mengatur tempat tidur sehingga berada dalam posisi duduk.     

L menatapnya sambil tersenyum tanda terima kasih, lalu melambai kepadanya. "Terima kasih, sekarang tolong tinggalkan aku dan Pammy dulu. Ada yang mau kubicarakan dengan manajerku."     

London mengangguk. Ia menyapa Pammy lalu berjalan keluar.     

Kalau L perlu bicara dengan Pammy untuk membahas rencananya, London juga perlu bicara dengan Jan untuk membahas apa-apa yang perlu mereka lakukan.     

Di lounge tempat tadi keluarganya menunggu, London memutuskan untuk duduk bersantai dan membaca berbagai berita terkini dan sesekali membuka email kantornya.     

Ada begitu banyak urusan yang telah ia tinggalkan selama sepuluh hari terakhir selama ia ke Singapura, dan seharusnya ia mempelajari semua laporannya malam ini sebelum besok kembali bekerja.     

"Tuan sudah makan?" Terdengar suara Jan menyapanya dari pintu lounge. London menoleh dan mengangguk. Wajahnya terlihat puas.      

"Sudah tadi makan malam bersama L," jawabnya. Memang dia hanya makan sebutir apel, tetapi pada saat seperti ini, ia juga tidak benar-benar lapar. "Apa kata Alex?"     

Jan mengambil duduk di sebelah London dan menyerahkan tabletnya kepada bosnya. "Ada dua rumah yang bagus dan cocok untuk membesarkan anak. Tapi yang satu perlu renovasi lebih lama dan yang satu lagi pemiliknya sedang di luar negeri."     

"Memangnya kenapa dengan rumah yang pemiliknya di luar negeri?" tanya London keheranan. Ia meneliti gambar-gambar tampak depan sebuah rumah besar yang tampak asri sekali, memiliki halaman luas dan pohon-pohon teduh. Bangunannya pun terlihat cukup klasik. Ia sangat menyukai rumah itu.     

"Mereka sedang berada di New Zealand, saat ini di sana masih subuh. Aku belum bisa menghubungi mereka," jawab Jan.     

"Kan biasanya rumah yang hendak dijual sudah diurus oleh agen properti atau pengacara mereka. Kenapa tidak menghubungi mereka saja?" tanya London lagi.     

Jan batuk-batuk kecil sebelum ia menjawab pertanyaan bosnya. "Ahem... soalnya rumah ini tidak dijual oleh pemiliknya. Mereka sedang bertualang keliling dunia dan selama ini rumahnya hanya diisi oleh tiga staf saja. Aku mau menelepon pemiliknya untuk meyakinkan mereka menjual rumah itu. Ini tidak bisa kalau lewat agen."     

"Oh...." London baru mengerti apa yang terjadi. Ia melihat rumah yang disukainya itu dan mengangguk-angguk. Walaupun yang punya tidak berniat menjual, tentu kalau ditawari uang sangat banyak, mereka akan berubah pikiran.     

"Kalau rumah yang satu lagi bagaimana? Rasanya kalau mesti renovasi agak lama tidak terlalu masalah, yang penting rumahnya bagus." kata London akhirnya mengambil keputusan. Menurutnya terlalu merepotkan kalau harus menunggu sang pemilik bangun di belahan dunia lain hanya untuk membeli sebuah rumah. "Rumah yang satu lagi juga lumayan, ada taman bunga di depannya. L sangat menyukai bunga."     

Jan mendeham lagi. "Rumah itu juga sebenarnya tidak dijual. Aku harus menghubungi pemiliknya dulu untuk mencari tahu berapa yang mereka inginkan untuk pindah dari sana besok."     

London hanya tertawa. Ia sadar Jan telah ikut keluarganya terlalu lama sehingga sangat mengetahui apa yang harus dilakukannya. Di dalam kamus keluarganya, tidak ada hal yang mereka inginkan di dunia ini yang tidak bisa mereka dapatkan.     

Jika London Schneider menginginkan rumah di Grunewald, maka kalaupun tidak ada rumah di sana yang sedang dijual, ia akan membuat pemilik rumah yang diinginkannya itu menjual rumahnya dengan cara memberikan penawaran yang takkan sanggup mereka tolak.     

"Baiklah... kalau begitu kau tunggu pagi di New Zealand," kata London akhirnya. Jan menganguk sambil tersenyum simpul.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.