The Alchemists: Cinta Abadi

Kau Makan Yang Banyak, Ya...



Kau Makan Yang Banyak, Ya...

3Keluarga London akhirnya dapat memahami alasan pemuda itu untuk menahan kebenaran dari L. Ia sedang berusaha mencari waktu yang tepat, dan mereka tidak boleh menambah beban pikirannya agar ia bisa fokus menyelesaikan masalahnya ini sendiri.     

"Sepertinya kasus seperti ini baru pertama kali terjadi. Ada orang kaya harus berpura-pura miskin demi mendapatkan hati seorang wanita. Dan baginya untuk berkata jujur, mengungkapkan bahwa ia sebenarnya sangat kaya, ternyata menjadi hal yang sangat sulit," komentar Rune sambil tertawa ketika ia dan keluarganya kembali membahas masalah London sambil menikmati teh sore bersama. "Ini masalah yang pelik, tetapi lucu."      

"Aku merasa bersalah kepada L. Bayangkan, orang-orang di sekitarnya tahu siapa aku, tetapi dia sendiri tidak," keluh London.     

"Siapa saja yang tahu?" tanya Rune.     

"Hmm... Jan dan kalian tentu tahu. Lily juga, itu sudah pasti. Aku sering membisikinya apa yang terjadi." Mata London selalu terlihat berbinar-binar saat menyebut anaknya. "Lalu Pammy, manajer L juga tahu, semua dokter yang menanganinya di rumah sakit, dan dua perawat yang tinggal bersama kami sekarang untuk merawat Lily juga tahu..."     

Rune tampak tercengang mendengar kata-kata kakaknya. Ia jadi teringat saat ia menjahili London dengan menempelkan kertas bertuliskan 'AKU KENTUT' di punggung kakaknya itu diam-diam sewaktu mereka kecil dulu.     

Semua orang yang melihat tulisan di kertas itu menertawakan London seharian, tetapi karena London tidak mengetahui bahwa ia dijahili, ia tidak mengerti bahwa mereka semua sedang menertawakannya.     

Astaga... ini rasanya persis seperti itu! Entah bagaimana perasaan L nanti kalau mengetahui bahwa semua orang di sekitarnya tahu rahasia suaminya, tetapi ia sendiri tidak tahu. Tentu ia akan merasa semua orang menertawakannya, karena ia seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.     

"Astaga... Kakak, hidupmu sangat mengerikan. Aku tidak mau menempati sepatumu kalau begitu." Rune hanya geleng-geleng kepala. "Semoga berhasil."     

***     

London sudah kembali ke rumahnya ketika L pulang. Wajah gadis itu tampak lelah. London bisa menduga pertemuan L dengan Danny tidak berlangsung terlalu baik.     

Marc tadi sudah melaporkan kepadanya bahwa L menemui Danny di lobi sebuah hotel bintang lima dan mereka tampak berbicara sangat serius.      

Marc bahkan mengirim berbagai foto wajah L yang sedih dan kesal saat sedang berbicara dengan Danny dan ekspresi Danny yang tampak sakit hati.     

Sayangnya Marc tidak bisa membaca bibir sehingga ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan.     

[Kau harus belajar membaca bibir kalau begitu. Cari guru yang bagus.]     

Dengan sebal London hanya bisa menyuruh pengawalnya itu belajar membaca bibir, agar lain kali jika dikirim membuntuti L, ia akan dapat memberi laporan yang lebih lengkap.     

Ia sungguh ingin tahu hal apa yang membuat L demikian kesal. Tetapi melihat ekspresi lelah L yang sepertinya tidak ingin diganggu, London memutuskan ia tidak akan menyinggung hal itu sama sekali. Ia tidak mau membuat L menjadi semakin kesal jika harus mengingat-ingat apa yang terjadi.     

Oleh karenanya ia pun berusaha mengalihkan perhatian L dari hal yang membuatnya kesal dengan mengajaknya makan.     

"Heii.. kau sudah pulang? Mau makan malam sekarang, Sayang?" tanyanya dengan lembut. "Aku bisa menyiapkannya."     

Kening L mengernyit saat dipanggil 'Sayang.' Ia merasa London tidak akan pernah lagi memanggil namanya sejak L mengizinkannya memanggil dirinya dengan panggilan 'Sayang.' London terlihat sangat menikmati panggilan barunya terhadap L itu.     

Suasana hati L sedang buruk, tetapi ia tidak tega membalas dengan judes perkataan London yang penuh perhatian barusan. Akhirnya ia hanya bisa mengangguk, tanpa menjawab. Ia lalu mengikuti London ke ruang makan dan melihat pemuda itu menyiapkan bahan makanan simpel lalu segera bersiap memasak.     

"Kita bisa mulai menggunakan sistem automasi dari RMI untuk rumah ini. Kalau kau nanti bekerja, tenaga dan waktumu akan habis untuk pekerjaan. Aku tidak ingin melihatmu melakukan hal-hal remeh seperti memasak..." komentar L tiba-tiba.     

"Eh...? Aku memasak karena senang melihatmu makan makanan sehat dan enak," jawab London sambil tersenyum. Ia tidak pernah melakukan pekerjaan 'remeh' seperti ini untuk orang lain.     

Di penthouse tempatnya tinggal, ia pun memiliki sistem automasi dan pelayan robot yang melakukan semuanya. Tetapi khusus untuk L dan Lily, dengan senang hati ia akan menyisihkan waktu dan tenaga, sama seperti yang selalu dilakukan ayahnya, Caspar.     

Ayahnya adalah seorang lelaki sibuk dan memiliki banyak minat serta kegiatan, apalagi ia juga merupakan ketua klan yang sangat dihormati. Tetapi 30 tahun yang lalu ia memutuskan untuk memfokuskan perhatiannya hanya pada keluarganya. Bagi sang ayah, memasak untuk keluarganya adalah pernyataan cinta, yang dengan senang hati ia lakukan setiap hari.     

Menikmati masakan ayahnya dan kebersamaan mereka di meja makan adalah sebagian dari kenangan indah London akan masa kecilnya. Sehingga, ia ingin Lily pun mengalami hal yang serupa.     

Karena itulah ia membiasakan diri memasakkan makanan enak untuk L, dan nanti untuk Lily, begitu anaknya itu bisa makan makanan padat.     

"Aku suka kok melakukannya. Bagiku, memasak untukmu adalah pernyataan cinta," jawab London sambil tersenyum. Ia menjawil hidung L dengan ekspresi jahil, berusaha membuat suasana hati gadis itu membaik. "Jangan-jangan, kau tidak suka masakanku? Tidak enak ya?"     

L menggeleng pelan. "Enak kok... Aku hanya tidak terbiasa."     

"Oh... di rumahku, ayahku senang memasak. Kami tumbuh besar dengan menikmati masakannya setiap hari. Aku dan saudara-saudaraku sering membantunya, sambil belajar resep-resep baru darinya. Bisa dibilang, saat-saat di dapur dan di meja makan bersama keluargaku adalah saat yang selalu kukenang dengan hati bahagia." London menjelaskan.     

L tampak tercenung. "Sepertinya keluargamu sangat menyenangkan..."     

"Memang begitu..." London tiba-tiba merasa mendapat angin segar. Ia tahu bagaimana ia akan dapat memberi tahu identitasnya kepada L. Ia akan sering membicarakan keluarganya kepada gadis itu. Perlahan-lahan, L akan merasa seolah ia mengenal mereka dan merasa dekat, karena London sangat sering membicarakan tentang keluarganya itu. London melanjutkan ucapannya, "Kalau kau membantuku memotong sayuran, aku akan menceritakan tentang keluargaku..."     

L akhirnya mengangguk dan tersenyum sedikit. Ia menghampiri London dan mengambil sayuran dari tangannya. "Kau bisa saja membuatku membantumu memasak."     

"Kau asisten yang seksi.. Tentu saja aku senang dibantu memasak oleh gadis secantik dirimu," kata London yang tidak akan pernah melewatkan kesempatan untuk memuji dan mencari muka kepada L.     

L hanya memukul bahunya, tetapi gadis itu tersenyum. Wanita mana yang tidak senang dipuji oleh seorang pria tampan? Dalam hal ini, L hanyalah seorang gadis normal.     

Setelah membantu London di dapur, L merasakan bahwa ternyata ia menikmati kegiatan memasak makan malam bersama ini. Sambil memotong bahan makanan dan menyiapkan masakan sederhana, mereka mengobrol pelan-pelan tentang keluarga London.     

Pemuda itu menceritakan tentang kakaknya yang sangat cantik dan sekarang tinggal di Singapura bersama suaminya. Ia menceritakan bahwa kakaknya memiliki dua pasang anak kembar.     

"Ahh... aku tidak bisa membayangkan melahirkan anak kembar seperti kakakmu! Satu saja sudah sangat menyakitkan dan sulit..." komentar L mendengarnya. "Kakakmu wanita hebat!"     

London juga menceritakan kakak laki-lakinya yang workaholik dan tinggal di New York. Kakak lelakinya ini memaksa agar London menamai anaknya sesuai nama dirinya.     

"Terry? Aku tidak suka nama itu..." cetus L saat mendengar cerita London. "Kalaupun anak kita laki-laki, kalau sampai kau menamaninya Terry secara sepihak, aku akan menceraikanmu!"     

London hanya menyengir lebar mendengar kata-kata L. Ia mengangkat tangannya seolah bersumpah, "Aku berjanji tidak pernah akan menamai anak kita secara sepihak..."     

"Bagus kalau kau mengerti," omel L.     

Sambil mengaduk-aduk sup di panci, London lalu menceritakan tentang adik bungsunya yang senang bereksperimen dan sudah menciptakan alat penerjemah tangisan bayi. Wajah L tampak sangat gembira mendengarnya.     

"Benarkah? Suruh adikmu mengirim mesinnya satu. Kita akan segera membutuhkannya begitu Lily biasa menangis..."     

"Iya... nanti aku minta," jawab London. Ia mengambil kuah sup satu sendok dan meniupnya hingga tidak terlalu panas lalu mengunjukkannya ke depan bibir L. "Sayang, coba cicipi sup ini, rasanya sudah pas atau belum."     

L mencicipi sup buatan London dan mengangguk senang. "Sudah. Ini enak sekali. Aku menjadi lapar."     

Setelah semua hidangan makan malam mereka selesai, keduanya lalu duduk di meja makan dan menikmati makan malam bersama. Suasana terasa begitu hangat dan menyenangkan, namun demikian, L menolak ketika London hendak menuangkan wine ke gelasnya.     

"Kenapa? Bukankah dokter bilang tidak apa minum sedikit saat sedang menyusui?" tanya London keheranan.     

L menggeleng. "Tadi aku kesal sekali, jadi aku sudah minum segelas di bar hotel. Aku sudah tidak boleh minum lagi malam ini, aku belum memerah ASI. Aku tidak mau makanan untuk Lily mengandung alkohol. Kau tahu jaraknya minimal dua jam sejak mengonsumsi wine..."     

"Oh..."     

London menatap L dengan pandangan penuh cinta. Sungguh begitu banyak yang dikorbankan oleh seorang wanita begitu mereka menjadi ibu, pikirnya. Selain banyak yang mengorbankan karier, para wanita yang memilih melahirkan anak juga harus mengorbankan bentuk tubuh mereka.     

Sangat sedikit wanita beruntung yang dapat kembali memiliki tubuh langsing dan seksi setelah mereka melahirkan, apalagi jika anaknya lebih dari satu. Belum lagi tubuh mereka akan dihiasi garis-garis akibat perut dan kakinya yang membengkak saat kehamilan; lalu sakit saat melahirkan juga luar biasa nyerinya. Rasa nyeri akibat melahirkan ini menurut ilmuwan setara dengan rasa sakit jika 20 tulang manusia dipatahkan sekaligus.     

Selain itu, wanita hamil dan menyusui harus sangat memperhatikan apa yang mereka makan karena akan mempengaruhi asupan makanan pada janin dan bayi mereka.     

Wanita menyusui tidak boleh makan makanan pedas, karena bayi yang tidak tahan pedas akan kesakitan saat ASI yang mereka minum mengandung rasa pedas tersebut. Selain itu, asupan minuman beralkohol seperti wine juga harus dibatasi; hanya bisa minum sedikit dan diberi jarak sebelum menyusui.     

Melihat betapa gadis semuda, secantik, dan sesukses L mengorbankan itu semua, bahkan hingga dua tahun ke depan, demi anak mereka, London menjadi terharu. Untuk sesaat ia hanya menatap L tanpa berkedip.     

Sikapnya ini membuat L keheranan dan melambai-lambaikan tangan ke depan wajah pria itu. "Heii.. kau kenapa?"     

London akhirnya menggeleng dan tersenyum. Ia menarik tangan L ke bibirnya dan mencium tangan gadis itu dengan penuh cinta. "Tidak apa-apa. Kau makan yang banyak ya..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.