aku, kamu, and sex

Istri, Bukan Calon



Istri, Bukan Calon

2Abdul tersenyum, saat mendengar apa yang dibicarakan oleh dua orang yang sama-sama dia sayangi, Anisa adalah adik kandungnya sedangkan Yola adalah istri tersembunyinya.     

"Kenapa senyum-senyum sendiri, Gus." Tanya dokter jaga yang kebetulan baru keluar dari toilet.     

"Tidak apa-apa dok, hanya itu dengar Yola sama Anis sedang bercanda."     

"Oh, Yola sudah bangun?"     

"Sepertinya sudah dok. Nyatanya tuh ada suara nya Yola."     

"OK kalau begitu, aku tinggal dulu gus, mau memeriksa kondisi Yola."     

"Silahkan dok, saya juga mau pergi, harus segera menyusul Abah di kantor."     

"Kamu, benar-benar hebat gus. Sudah dipesantren sibuk belajar dan mengaji sekaligus mengajar juga. Masih bisa bantu Abah mengurus kantor."     

"Mau bagaimana lagi, dok. Hanya saya anak laki-lakinya paling besar pula."     

"Kamu benar, gus. Ya sudah semangat Gus."     

"Terimakasih, dok. Assalamualaikum."     

"Waalaikumsalam."     

Abdul pergi dari pusat kesehatan pondok pesantren, menuju ke parkiran dimana mobil yang akan mengantarkan dia telah menunggu disana.     

"Silahkan, Gus."     

"Terimakasih."     

Abdul duduk dengan santai sambil membuka berkas-berkas yang ada di samping Ia duduk.     

"Abah mengisi pengajian sampai jam berapa Pak Karim?" Tanya Abdul pada sopirnya yang bernama Karim.     

"Hari ini jadwalnya marathon gus, sampai jam Sembilan malam kayaknya."     

"Oh, berarti Abah sudah tidak ada dikantor sekarang?"     

"Sepertinya tidak, Gus."     

"Ya sudah tidak apa-apa,"     

"Saya yakin, anda bisa menyelesaikan pekerjaan kantor dengan baik, biasanya juga begitu kan, Gus."     

"Semoga lancar saja pekerjaan hari ini."     

"Amiin."     

Abdul memang mempunyai kesibukan yang tak kalah dengan Abahnya, disamping Ia juga sering mendapat undangan ceramah, dia juga membantu di kantor Abahnya yang lokasi kantornya tidak jauh dari pondok pesantren. Sekolah Aliyahnya dia lakukan di rumah atau homeschooling itu akan memudahkan untuk dia mengatur waktu dalam berbagai kegiatannya setiap hari.     

"Maaf. Gus. Calon istrinya dipesantren ini juga? Yang putrinya pak Danil itu?"     

"Kenapa memangnya Pak?"     

"Ya penasaran aja, seperti apa wajahnya.. He.."     

Pak Karim memang sudah sangat dekat dengan Abdul. Bahkan Pak Karim adalah salah satu orang kepercayaan yang dimiliki oleh Abdul untuk urusan pekerjaan dan mengatur segala kegiatannya.     

"Ya, dia disini." Jawab Abdul dengan tatapan mata yang tak beralih dari berkas-berkas yang sedang I abaca.     

"Wah, sungguh beruntung perempuan yang menjadi istrinya Gus Abdul."     

"Justru saya yang beruntung mendapatkan dia."     

"Kok bisa? Berarti anda sudah kenal sebelumnya?"     

"Sudah, dia juga kawan baikku."     

"Wah, begitu rupanya, dia cantik ya Gus."     

"Bukan hanya cantik, tapi juga pandai bahkan pemikirannya sangat kritis."     

"saya semakin penasaran, Gus."     

"belum waktunya untuk ketemu sama dia Pak Karim."     

"Calon istri anda tahu kalau kalian sudah dijodohkan?"     

"Bukan calon istri, tapi istri."     

"HA!"     

"Kemarin langsung dinikahkan sama Ayah Danil dan Abah secara agama."     

"Oh begitu. Selamat ya Gus, semoga bahagia selamanya, sakinah mawadah warrohmah."     

"Amiin. Terimakasih Pak Karim."     

"Sama-sama gus."     

Tak berapa lama, mobil yang membawa Abdul telah sampai dikantor milik Abahnya, kantor yang bergerak dibidang percetakan buku-buku islami itu berdiri atas jerih payah Sofyan sedari masih muda dan sudah bekerja sama dengan Rey dan Ronald tidak hanya dalam masalah keamanan dan pembangunan, tapi juga dalam pemasaran buku-buku.     

Abdul turun dari mobilnya setelah Pak Karim membukakan pintu untuknya, Abdul memang masih muda tapi karisma dan kewibawaannya telah melekat diwajahnya sehingga setiap mata yang memandangnya langsung menunduk.     

"Selamat siang Pak." Sapa Security yang berjaga dipintu kantor.     

"Selamat siang." Jawab Abdul singkat lalu melanjutkan perjalananyan masuk ke dalam kantor didampingi oleh Pak Karim.     

"Jam berapa klien datang pak?" Tanya Abdul disela-sela langkahnya menuju ke ruangan kantor.     

"Jam dua, Gus."     

"Ok."     

Pak Karim sigap membukakan pintu ruangan kantor Abdul setelah mereka sampai didepan ruanagn berdinding kaca.     

Abdul langsung duduk di kursi kebersarannya, lalu menyakan laptop yang berada di atas meja.     

"Mau minum apa, Gus?"     

"Air putih saja, saya sedang tidak mau minuman yang manis."     

"Baik, Gus." Pak Karim lalu bergegas mengambilkan air mineral yang tersedia di lemari pendingin yang ada di adalam ruangan itu.     

"Ini minumannya, Gus."     

"Terimakasih."     

TOK     

TOK     

TOK     

"Permisi, Pak." Kata Hadi Sekertarisnya.     

"Ada apa, Pak Hadi?" Tanya Pak Karim.     

"Bu Amara sudah datang."     

"Gus, Bu Amara sudah datang." Kata Pak Karim memberi tahu Abdul yang masih saja sibuk dengan laptopnya.     

"Suruh saja dia masuk."     

"Baik, Gus."     

"Suruh masuk saja Pak Hadi."     

"Siap Pak Karim. Permisi."     

"Gus, Bu Amara itu__"     

"Saya sudah tahu Pak Karim, jangan khawatir istri saya lebih cantik darinya." Jawab Abdul sambil tersenyum lebar pada Pak Karim yang terbengong melihat kepercayaan diri yang tinggi dari Bossnya itu.     

"Silahkan masuk BU Amara." Ucap Hamdan yang mempersilahkan wanita yang bernama Bu Amara itu untuk masuk.     

Abdul sudah berdiri menyambut Klien pentingnya hari ini, walau Abdul tak menyukai cara berdandan Kliennya ini, tapi apa mau dikata, Bu Amara ini salah satu pemasok kertas utama karena kualitasnya yang bagus.     

"Silahkan duduk Bu Amara." Kata Abdul mempersilahkan Kliennya untuk duduk.     

"Terimakasih, sayang sekali bukan Pak Sofyan yang ada di kantor, tapi ternyata Sofyan junior." Ucap Amara dengan nada sinis.     

"Silahkan diminum, Bu Amara." Ucap Pak Karim dengan sopan, lalu berdiri disamping kursi single yang di duduki oleh Abdul.     

"Terimakasih."     

"Bu Amara saya sudah membaca laporan yang dikirimkan oleh karyawan saya, dan sudah meninjau langsung ke pabrik, tapi sepertinya memang kualitas kertas yang dikirimkan oleh pabrik anda mengalami penurunan kualitas, ketasnya mudah sekali robekdan seratnya kasar, itu membuat kualitas buku kami menjadi ikut menurun." Kata Abdul dengan tegas dan mengacuhkan sikap sinis Amara.     

Abdul tahua jika Amara mempunyai perasaan pada Abahnya maka setiap pertemuan yang melibatkan dengan Amara, pastilah Abdul yang akan menemuinya.     

"Kau ini masih kecil tahu apa kau tentang kualitas." Kata Amara masih dengan nada sinis.     

"Maaf BU Amara, saya adalah wakil ayah saya, daan untuk menentukan seseorang itu layak atau tidak tentunya harus berdasarkan kriteria dan penilain yang tepat, Bukan?"     

"Aku tak menyangka ternyata kau lebih pandai dari yang aku pikir. Begini saja saya akan memperbaiki kualitas kertas di pabrik saya jika memang terjadi penurunan, tapi saya harusmengusut ini dengan tuntas karena sejujurnya saya belum turun tangan langsung ke pabrik, jadi tplong berikan saya waktu."     

"Tentu saja kami akan memberikan anda waktu dan kesempatan untuk memperbaiki kualitas produk anda, karena selama ini pabrik anda adalah penyuplai kertas utama di percetakan kami."     

"Baiklah, terimakasih kalau begitu, Nak Abdul. Tolong sampaikan salam saya pada ayah kamu ya. Saya permisi dulu."     

"Inshallah akan saya sampaikan, silahkan Bu Amara." Kata Abdul lalu berdiri mempersilahkan tamunya itu untuk keluar dari ruangan.     

Pak Karim menutup pintu ruangan setelah tamu mereka pergi dari ruangan itu.     

"Benar-benar sombong Bu Amara itu ya, Gus."     

Abdul tersenyum kecil. "Biarkan saja Pak, yang penting dia masih baik pada kita, dan mau memperbaiki hasil produksinya sehingga hasil percetakan kita juga ikut bagus, kalau tidak mending kita cari pabrik yang lain saja."     

"Betul, Gus."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.