Eksekusi tak terduga 1
Eksekusi tak terduga 1
Arka mengetahui tingkat kejahatan di negara ini sangat tinggi, namun Ia benar-benar tidak menyangka jika pemberontak disini lebih banyak dari pada anggota kepolisin. Pantas saja di negara ini lebih banyak Interpol dari pada polisi local yang dimiliki oleh negara tersebut.
"Sungguh tidak dapat disangka penjahat disini sangat nekat." Ujar Arka pada Brandon sambil menahan rasa sakit di paha kirinya.
"Apa kau takut?" Tanya Brandon.
"Tidak, hanya saja aku tak habis pikir bagaimana sebagian warga negara disini berarti adalah pemberontak, bagaimana bisa?"
"Kamu benar Arka, waktu pertama kali aku bertugas disini aku juga sempat bingung dengan keadaan disini, tapi seiring berjalannya waktu aku memahami sesuatu."
"Apa?"
"ketidak puasan terhadap pemerintah, dan pemerintah yang tidak memihak pada rakyat, membuat mereka tidak takut dengan hukum, dan juga lebih suka bertindak semaunya sendiri."
"Ya, Matt adalah asli dari negara ini."
"Tuan Matt salah satu warga kehormatan karena membantu kepolisian dalam membasmi tingkat kejahatan dengan memberikan pekerjaan dan gaji yang layak pada karyawannya."
"Bukan seorang mafia?" Tandas Arka.
"Mafia yang baik, disini mafia lebih baik dari pada pemberontak."
"Begitukah?" Tanya Arka mengeritkan dahi.
Brandon mengangguk.
"Sungguh tak dapat kupercaya."
"Diego Santez adalah pengerak pemberontak kasat mata, walau sudah di bubarkan nyatanya anak buahnya banyak yang membuat organisasi baru dan membelot pada pemerintah."
"Bukankah Diegon Santes telah meninggal?"
"Ya, kamu benar, tapi beberapa anak buahnya berhasil lolos dari pengerebekan dan penyerangan yang dilakukan oleh kelompok Tuan Matt."
"Berarti kau mengenal Matt sebelumnya."
"Tidak, aku bertugas disini setelah Diego Santez meninggal, sebelum aku ada Rondha yang bertugas disini lalu Ia dipindahkan ke negara A bersama pimpinan tertinggi, lalu aku yang bertugas disini."
"Oh, apa kau pernah bertemu dengan pimpinan tertinggi interpol?"
"Tidak ada yang mengetahui identitas aslinya. Orangnya sangat misterius."
"Ya, aku tahu kalau tentang itu."
Mobil yang mereka tumpangi sampai di markas keamanan pusat negara C. satu persatu personil Interpol yang selamat mulai turun, yang terakhir adalah Arka yang membantu Brandon menuruni mobil dan mendudukkannya di kursi roda untuk segera mendapatkan perawatan karena luka tembak yang Ia alami.
Hari berikutnya, Arlita dan beberapa orang dari kesatuan Interpol negara lain datang. Arka senang ketika melihat wajah kekasihnya tersenyum cerah.
"Assalamualaikum." Sapa Arlita.
"Waalaikumsalam."Jawab Arka.
"Kamu baik-baik saja, katanya kemarin ada penyerangan dari kelompok bersenjata dan pemberontak?" Tanya Arlita.
"Ya, tapi Alhamdulilah aku baik-baik saja. Bagaimana dengan Ramond? Aku sangat merindukannya." Arka berbalik Tanya Pada Arlita.
"Dia baik-baik saja, kondisinya sudah sehat, lagi pula Matt sudah sampai dia bisa menjaganya dengan baik." Jawab Arlita.
"Ingin jalan-jalan?" Tawar Arka.
"Boleh, aku ingin mengunjungi suatu tempat disana tempat berkumpulnya warga muslim minoritas di negara ini, dan disana juga terdapat masjid di tepi danau, kata temanku itu sangat indah."
"Ayo kita kesana, tapi apa kamu tidak lelah?"
"Tidak, selama dipesawat kerjaanku hanya tidur."
"baiklah, ayo kita berangkat sekarang."
"Ayo."
Arka mengeluarkan kunci mobil milik Matt yang sengaja Matt berikan untuk Arka selama bertugas di negara C.
"Mobil siapa ini?"
"Mobil Matt, tadi pagi anak buah Matt mengirimkan mobil ini kesini atas suruhan Matt. Aku yakin dia khawatir kau akan kesulitan jika ingin bepergian jadi dia sengaja memberikan mobil ini padaku."
"Apa kau cemburu?"
"Tentu saja, tapi aku tahu sekarang Matt benar-benar telah mengikhlaskanmu."
"Dari mana kau tahu?"
"Dari caranya bersikap dan dia terlihat lebih perhatian pada Molly sekarang."
"Tentu saja, apa lagi Molly kini telah mengandung anaknya."
"Ya, kita harus segera menikah, agar Matt lebih tenang dan benar-benar merelakanmu, dengan begitu dia akan cepat menikahi Molly, kasian dia."
"Ya, kita menikah sekarang saja bagaimana?"
"Bercandamu tidak lucu."
"Eh, siapa yang bercanda? Masjid di tepi Danau itu sangat indah, semalam aku jadi terpikirkan untuk menikah ditempat itu?"
"Benarkah?"
Arlita mengangguk lalu tersenyum pada Arka yang sesekali menatapnya di sela-sela aktifitasnya menyetir.
"Baiklah, mari kita menikah. Tapi jangan salahkan aku jika aku tak mempunyai sesuatu yang indah untuk ku beri padamu, karena serba mendadak."
"Tak masalah, aku tahu kau bahkan bisa memberikan seisi dunia ini untuk ku. Cukup cintamu saja aku sudah bahagia Arka."
"Terimakasih Arlita, aku tak pernah salah memilihmu."
"Aku juga tak pernah salah memilihmu sebagai imamku."
Mereka menghabiskan waktu selama hampir dua jam diperjalanan karena mereka harus mampir di toko perhiasan untuk membeli sepasang cincin pernikahan untuk mereka. Dan disinilah mereka sekarang, sebuah masjid di tepi danau di negara C dengan pemandangan pegunungan yang separuhnya tertutup salju dan separuhnya terdapat tanaman dan bunga-bunga yang hanya tumbuh di musim dingin.
Air danau yang sebagian tertutup salju menambah keindahan di tempat itu. Arka mengajak Arlita berjalan-jalan ditepi danau sambil menunggu waktu shalat dzuhur.
"Indah sekali Arka." Ucap Arlita sambil menatap danau yang hampir separuhnya tertutup salju.
"Ya, indah sekali, dan lebih indah karena ada kamu disini."
"Gombal."
Arka tersenyum, lalu tak berapa lama waktu shalatpun tiba, mereka masuk ke dalam masjid lalu mengikuti shalat berjamaah.
Setelah selesai menunaikan shalat Arka menemui imam masjid itu dan mengutarakan niatnya untuk menikah dengan Arlita dimasjid itu. Dan imam masjid itupun tak keberatan karena memang masjid itu sering digunakan untuk ijab qabul kaum muslim minoritas di negara itu.
"Jadi kalian berdua ingin menikah disini?" Tanya Imam masjid itu.
"Ya, apa boleh?" Tanya Arka dengan sopan.
"Tentu saja, apa ada keluarga kalian disini?" Tanya Imam masjid.
"Tidak ada kami hanya berdua saja." Jawab Arka.
"Baiklah, aku akan menikahkan kalian, dan kedua anakku yang akan menjadi saksi serta jamaah disini yang akan menyaksikan pernikahan kalian."
"Terimakasih, Tuan."
"Ya, jadi mana mas kawinnya."
Arka menyodorkan perhiasan yang tadi Ia beli bersama Arlita, dan tak menunggu lama ijab qabul pun dimulai.
Dan dengan lancar Arka mengucapkan ijab qabulnya dengan menggunakan bahasa arab, lalu terdengar kata sah. Yang membuat hati Arlita dan Arka bahagia. Senyum dari bibir keduanya tak terelakkan lagi.
SEmua orang disana menatap haru kedua pengantin itu karena mereka tahu, jika mereka berdua adalah Interpol ya ng bertugas mengamankan kawasan disana.
Pesta kecilpun diadakan Arka udengan para jamaah, Ia membooking sebuah restoran yang tak jauh dari masjid untuk mereka menyantap makan siang bersama sebagai bentuk rasa syukur dan kebahagiaan mereka.