aku, kamu, and sex

Pengorbanan 1



Pengorbanan 1

2Tak!     

Satu sentilan di kening Ronald yang membuat ia langsung meringis, Lalu menatap sang pelaku yang secara kurang ajar melakukan itu padanya. Dilihatnya sang ayah yang berada di sampingnya lalu melangkah mendekati Rena dan member kecupan pada dahi menantu kecilnya, yang tersenyum menyambut kedatangan ayah mertuanya.     

"Ayah apa-apaan sih yah, tiba-tiba main sentil aja." Protes Ronald pada sang ayah.     

"Anak kurang ajar. Bagaimana bisa kau meninggalkan ayah dan Selena di pantai, Huh!"     

"Itu ide Rena, bukan ide Ronald."     

"Kalian itu satu paket, mana bisa kau hanya menyalahkan istrimu."     

"Maafkan Rena ayah, Itu karena Rena tak suka jika ayah dan Selena menjadi cangung karena keadaan."     

"Menantu ayah memang nakal, tapi sayngnya menantu itu begitu ayah sayang, jadi mana bisa ayah marah padanya, apa lagi jika sudah mengeluarkan rajukan seperti ini."     

"Terimakasih ayah." Ucap Rena sambil memeluk Tuan Handoko yang ada di hadapannya.     

BUGH!     

Satu pukulan di lengan Ronald siapa lagi pelakunya kalau bukan Selena yang sudah bertolak pingang di samping kirinya, dengan wajah garang.     

"Astaghfirullah, itu tangan apa besi? Sakit bener." Ucap Ronald sambil mengusap lengannya yang tadi di pukul Selena.     

"Begitu aja udah bilang sakit. Itu hukuman mu karena ninggalin aku sama ayah di pantai."     

"Ternyata bukan rumor semata jika ibu tiri memang kejam." Gumam Ronald yang masih bisa terdengar oleh tiga orang lain yang bersamanya.     

Ketiganya langsung tertawa terbahak melihat wajah Ronald dengan tampilan wajah kesal. Tiba-tiba Arya datang ke tengah-tengah mereka dengan wajah tegang.     

"Ada apa Arya." Tanya Ronald yang sudah paham dengan gelagat Arya pasti ada sesuatu yang penting untuk ia sampaikan.     

"Mereka sedang bergerak mencari keberadaan nona Selene, sepertinya Tuan Diego sudah tahu jika nona Selena kabur dari para penculik itu." Ucap Arya, yang membuat mereka serempak menatapnya.     

"Selena aman disini, mereka tak mungkin mencari sampai ke negara ini." Ujar Tuan Handoko.     

"Besok kita berangkat ke negara A." Kata Ronald sambil memikirkan langkah apa yang akan Ia ambil agar tak jatuh banyak korban.     

"Om langsung berangkat aja sama Selena ke negara C, biar Rena disini sama ayah, lagi pula sekolah Rena masih libur, setelah urusan ayah selesai disini, kami akan pulang bersama ke negara A." Kata Rena pada Ronald.     

Ronald menatap wajah Rena yang tersenyum kecil padanya, walau tersirat ke khawatiran di matanya tapi Ronald tahu Rena tak ingin memperlihatkan padanya.     

"Kamu yakin?" Tanya Ronald sambil satu tangannya membingkai pipi Rena. Hanya anggukan sebagai jawaban apa yang di tanyakan Ronald.     

Ronald mengecup dahi Rena, "Oke."     

"Arya, persiapkan keberangkatan kita besok ke negara C bersama Selena." Perintah Ronald pada Arya.     

"Siap Bos." Jawab Arya seraya menganggukkan kepalanya.     

"Kita berangkat besok Selena, kita tak mungkin mengulur waktu lagi, aku ingin hidup tanpa beban dan rasa penasaran." Ronald menarik nafas panjang, kemudian menatap ayahnya yang bersandar di meja di hadapan mereka.     

"Pergilah, jangan mengkhawatirkan kami." Ucap Tuan Handoko kemudian memeluk anak laki-lakinya seraya menepuk pungungnya pelan.     

"Baiklah ayah."     

"Bersiap-siaplah." Ujar Tuan Handoko sambil menatap mata Ronald yang menuruni tatapan mendiang istrinya.     

"Oke, aku harus bersiap, ayo Rena." Ronald mengulurkan tangannya mengajak Rena ke kamar mereka.     

"Kamu juga bersiaplah Selena?" Ronald mengingatkan Selena yang masih berdiri di tempatnya. Lalu Selena mengangguk, Ronald berbalik dan mengandeng Rena untuk ke kamar mereka.     

Selepas kepergian Ronald dan Rena, kebisuan terjadi antara Tuan handoko dan Selena. Keduanya hanya saling lirik tanpa mengeluarkan suara. Hingga beberapa menit berlalu akhirnya Tuan Handoko menarik pergelangan tangan Selena, lalu berjalan menyusuri tangga dan masuk ke dalam ruang kerja Tuan Handoko.     

Tuan Handoko mendahului duduk di sofa panjang di ikuti Selena yang duduk di sampingnya.     

"Selena." Ucap Tuan Handoko.     

"Jangan bicara apapun ayah, aku sedang tak ingin mendengar apapun darimu." Sergah Selena.     

Tuan Handoko terkekeh, lalu membawa Selena supaya mendekat ke arahnya, namun Selena justru merebahkan kepalanya yang tertutup jilbab di atas kedua paha Tuan Handoko.     

"Kenapa menangis? Hm?" Tanya Tuan Handoko setelah merasakan ada tetesan air yang menembus celana panjang yang ia kenakan.     

"Sudah aku bilang, aku tak ingin mendengar apapundari mulut ayah." Ucap Selena sambil terisak.     

"Baiklah aku akan diam saja.     

Hening. Hanya suara isakan Selena yang terdengar mengisi ruang kerja Tuan Handoko yang luas itu.     

"Jangan merindukanku." Ucap Selena setelah tangisnya mulai reda, Tuan Handoko masih tetap diam dan hanya memperhatikan wajah Selena yang rebah miring menghadap kearah meja. Perlahan Tangan besar Tuan Handoko membelai pipi Selena dan menghapus air mata yang masih menetes.     

Selena menahan tangan Tuan Handoko yang sedang menghapus air matanya, "Hentikan, kau hanya akan membuatku merindukan ini, karena setelah ini mungkin tak aka nada lagi yang mau menghapus air mataku."     

Tuan Handoko menuruti apa yang diinginkan Selena, ia menghentikan gerakan tangannya di wajah cantik Selena. Lalu ia menghela nafas panjang untuk meredakan sesak di dadanya.     

"Atau mungkin aku takkan kembali, Ayah." Tuan Handoko menutup kedua matanya lalu merebahkan kepalanya disandaran sofa mendengar apa yang di ucapkan gadis di atas pangkuannya ini.     

"Jika aku tak kembali, maka ayah jangan lagi mengingatku, anggap saja kita tak pernah bertemu." Tuan Handoko masih memejamkan matanya, pikirannya berkecamuk, hatinya serasa tercabik, gadisnya kini sedang berputus asa.     

"Ayah, harus makan dengan teratur, minum vitaminnya juga jangan sampai lupa."     

"Jangan banyak merokok, itu tak baik untuk kesehatan pria tua sepertimu." Tuan Handoko terkekeh mendengar ucapan selena walau dengan mata terpejam.     

"Jangan melirik wanita-wanita tak tahu malu dipinggir jalan ke pabrik." Tuan Handoko semakin terkekeh mendengar kata-kata Selena, pasalnya dia tak pernah benar-benar memperhatikan para wanita yang berjajar dipinggir jalan yang mengarah ke pabriknya. Dia hanya sedang mengoda selena waktu itu.     

"Kau pria tua jangan sering-sering bergadang karena akan merusak jantungmu, aku tak ingin kau mati dengan cara seperti itu." Tuan Handoko membuka matanya, kemudian menatap Selena yang posisinya masih tetap sama diatas pangkuannya.     

"Ayah, jika aku tak kembali maka jangan mencariku dan jika suatu saat aku ingin bertemu denganmu dan ingin bersamamu, maka biar aku yang mencarimu."     

"Sudah bolehkah ayah berbicara?" Tanya Tuan Handoko pada Selena.     

"Boleh, hanya beberapa kata saja, dan jangan berkata sesuatu yang akanmembuatku merindukanmu."     

"Baiklah."     

"Jadi, sekarang katakan ayah mau bicara apa?"     

"Ayah hanya ingin bilang, jika ayah berharap kau akan kembali disisi ayah. Itu saja." Selena menoleh lalu mendongak, menatap sepasang mata yang sedang menatapnya dengan tatapan lembut.     

"Aku akan mengingat harapan ayah."     

"Tolong biarkan malam ini, aku tidur dengan memeluk ayah."     

"Kau tak akan bisa tidur jika bersama ayah."     

"Paling tidak aku tahu jika ayah tidak akan memperkosaku." Tuan Handoko tertawa terbahak, karena apa yang dikatakan Selena memang benar, dia bukan pria yang suka merusak anak gadis orang.     

Malam itu menjadi malam yang akan diingat keduanya, entah apa yang akan terjadi ke depannya mereka tidak tahu, namun satu yang pasti sebuah simpul telah terikat dihati mereka masing-masing yang bahkan keduanya sulit untuk melepasnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.