Bab 79, Orang-orang Dewasa Berjiwa Anak Muda
Bab 79, Orang-orang Dewasa Berjiwa Anak Muda
"Kau cepat sekali, Simone," kata Leopold pada istri keduanya.
"Aku sudah lama tidak menunggangi kuda," balas Simone.
"Aku baru tahu kalau Simone bisa mengendarai kuda," kata Elizabeth.
"Aku sudah belajar berkuda semenjak usia sepuluh tahun," jawabnya.
Mereka memacu kudanya dan tiba di Desa Lipina yang terletak di dekat hutan Rezerwat Jesionowe Góry.
Mereka bertiga turun dari kudanya dan berjalan menuju ke arah sebuah rumah.
"Aku senang sekali melihat Tuan Kanselir beserta kedua istrinya mau mengunjungi Desa Lipina," kata seorang lelaki tua yang merupakan Pendeta Kristen Katolik. Dia adalah Pendeta Zygfryd Żakowski. "Semoga tuan Kanselir, dan para tuan Puteri menikmati keindahan Desa kami."
"Tentu saja kami sangat menikmatinya," ungkap Elizabeth dengan bahagia.
"Suasana yang alami, dengan hutan yang rindang, dan wilayah yang ditembus oleh jalur kereta api. Ini adalah tempat yang nyaman untuk berbulan madu dan bersantai setelah kunjungan kerja di Białystok," ungkap Kanselir Leopold.
"Kami merasa bersyukur, bahwa Kanselir mau berkunjung ke Desa kami yang kecil," balas Pendeta Zygfryd. "Selamat beristirahat dan nikmatilah liburannya."
"Terima kasih atas kebaikanmu, Pendeta Zygfryd," balas Kanselir Leopold.
Mereka bertiga memasuki sebuah bangunan berukuran besar, yang merupakan penginapan pertanian milik Klan Oranien-Nassau. Penginapan pertanian tersebut merupakan tempat favorit Leopold bersama keluarganya jika mereka berlibur ke wilayah Białystok.
Mereka bertiga duduk di kursi panjang di ruang tamu. Di mana Kanselir Leopold duduk di tengah, Elizabeth duduk di kanannya, dan Simone duduk di kirinya.
"Aku tak menyangka 'Farmstay' milik keluargamu memiliki pemandian air panas," kata Simone.
"Bagaimana jika kita mandi bareng, Simone," ajak Elizabeth dengan ekspresi wajah yang erlihat bahagia.
Wajah Simone memerah mendengar ajakan dari Elizabeth. Sementara itu, kedua tangan Kanselir Leopold menggerayai gunung kembar kedua istrinya. "Kenapa kita tidak mandi bertiga? Bukankah kita sedang berbulan madu."
"Tapi aku ingin berduaan dengan Simone dan ada banyak hal yang ingin kami bicarakan sebagai sesama perempuan," jawab Elizabeth dengan suaranya yang pelan.
"Kita bisa bermain bertiga nanti malam, Leo," balas Simone dengan nada bicaranya yang genit.
Kanselir Leopold hanya bisa pasrah mendengar jawaban dari kedua istrinya. "Baiklah, aku tidak bisa mengganggu urusan sesama perempuan."
Kanselir Leopold berjalan menuju ke arah dapur. "Kalau begitu, aku akan memasak untuk kalian. Jadi nikmatilah waktu mandinya."
Elizabeth Malherbe tahu bahwa sebenarnya suaminya sedikit kesal dan cemburu ketika dia memutuskan untuk mandi bersama Simone di pemandian air panas yang ada di dalam penginapan pertanian ini.
Simone mendekatkan bibirnya ke telinga Elizabeth dan berbisik, "Sepertinya dia cemburu. Aku jadi tidak enak dengannya. Bagaimana ini?"
Elizabeth memegang erat kedua tangan Simone dan menatapnya dengan optimis. "Jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja. Lagian aku hanya ingin menggodanya biar nanti malam kita bisa bermain bertiga dengan enak."
Elizabeth dan Simone saling berpegangan tangan dan memasuki kolam pemandian air panas yang berbentuk persegi dengan keempat sisinya yang berukuran enam meter.
Lagu-lagu bergenre Jazz diputar untuk menyamarkan suara-suara yang akan mereka ungkapkan serta suara desahan yang mungkin akan mengganggu konsentrasi Kanselir Leopold.
Mereka berdua bertelanjang bulat dan saling membasahi tubuh mereka dengan air panas. Elizabeth dan Simone terlihat bahagia bermain air layaknya anak kecil.
Elizabeth memegang rambut Simone, "Rambutmu sudah cukup panjang. Kau tahu, Leopold sangat menyukai perempuan berambut panjang. Aku memanjangkan rambutku semenjak berpacaran dengan Leopold. Dia bilang, perempuan akan semakin cantik jika memanjangkan rambutnya."
"Kalau begitu, aku akan memelihara rambutku ini." Simone menyentuh wajah Elizabeth dengan kedua tangannya. "Kulitmu mulus dan halus. Sama seperti kulitku." Kedua tangan Simone perlahan turun dan meraba setiap inci tubuh dari Elizabeth Malherbe, di mana pada bagian perut, dan punggungnya Elizabeth terdapat bekas luka bakar. Kedua tangannya memegang pinggang Elizabeth, "Walaupun ada bekas luka di badanmu. Itu terlihat seperti tato yang alami. Terlihat indah dan menawan."
Kedua tangan Elizabeth memegang pundak Simone. "Countess memang beda. Kau memiliki kulit putih yang pulus dan halus. Ditambah tato bermotif tribalisme Jawa pada kedua tanganmu, sehingga membuatmu terlihat sangat anggun, dan maskulin."
Simone memegang kedua gunung kembar Elizabeth yang berukuran d-cup, "Dadamu cukup besar juga, yah."
Elizabeth merasa geli ketika Simone memegang gunung kembarnya, "Punyamu apalagi. Lebih besar daripada punyaku."
"Padahal punya dada besar itu tidak enak. Aku selalu menggunakan korset, agar dadaku tidak menjadi perhatian para lelaki jahanam," ungkap Simone menatap ke bawah.
"Padahal beberapa perempuan banyak yang ingin memiliki dada yang besar. Pantas saja Athena, Beatrix, dan Puteri Juliana selalu menggunakan korset." Elizabeth memeluk tubuh Simone dari belakang.
Simone merasa geli ketika Elizabeth menjilati lehernya. "Aku merasa bersyukur kau mau menemani Leopold, setelah kami berpisah. Kau adalah Perawat yang baik, yang dengan senang hati meladeni setiap omong kosongku ketika aku hamil Charla dan Charlemagne. Saat aku bersama dirimu, aku merasa seperti memiliki seorang adik."
"Bukan aku bermaksud lancang, saudaraku. Sepertinya Leopold lebih mencintaimu, daripada diriku. Terlihat dari bahasa yang dia lontarkan sebelumnya. Walaupun aku adalah seorang Bangsawan bergerlar 'Countess.' Namun aku merasa bahwa aku adalah 'orang ketiga' dalam kisah cinta kalian."
"Kau tidak perlu memikirkannya. Mengingat cinta itu butuh proses. Sebenarnya Leopold juga masih menyukaimu. Hanya saja dia tidak sejujur kepadaku," balas Elizabeth.
"Walaupun aku seorang bisexual. Tapi aku juga seorang perempuan yang mengharapkan cinta dari seorang Pangeran. Awalnya aku dan Leopold baik-baik saja. Hanya karena aku hamil, dia sering bermain dengan beberapa perempuan, dan itu membuatku sedih," ujar Simone dengan nada lirih. "Sejak saat itu, aku ingin berpisah dengan Leopold. Aku kabur setelah melahirkan Athena. Saat aku tak sadarkan diri di sebuah jalan, aku bertemu dengan Juliette, dan Vivi yang saat itu masih bayi. Dia mengajakku untuk hidup dan akhirnya kami menjalin cinta. Kami menikah di Paris saat Vivi berusia dua tahun. Di sana kami bertemu dengan Leopold. Dia meminta maaf atas penghianatan yang pernah dia lakukan dan aku hanya meresponnya dingin. Saat kami bulan madu di Yogyakarta. Kami bertemu dengan Nikolaus dan keluarganya. Lalu lima bulan yang lalu, kami bertemu dengan Frederick Edward," ungkap Simone.
"Sepertinya kita memiliki kisah yang panjang untuk diceritakan," ujar Elizabeth menundukkan wajahnya. "Kau tahu, semenjak kita bermain berdua di saat kau hamil Athena. Saat itulah aku mulai terjerumus dalam dunia yang gelap. Setiap bulannya, aku sering pergi ke lokalisasi dan bermain dengan perempuan untuk memuaskan kebutuhan biologisku. Dia sangat protektif saat aku hamil Charla dan Charlemagne. Dia selalu meneleponku setiap hari. Saat aku hamil Louis, dia benar-benar memperlakukanku layaknya seorang Tuan Puteri. Bahkan dia sedikit agresif, dan tidak segan-segan memarahi Charla, dan Athena jika bergerak lambat untuk membantuku. Kalau Charlemagne selalu ada di sisiku. Jadi Leopold tidak pernah memarahinya," ungkap Elizabeth.
Simone hanya memasang ekspresi wajah bahagia, walaupun dipaksakan. Dia sedikit iri melihat perlakuan Leopold terhadap Elizabeth. Di mana Leopold sangat protektif kepadanya, tidak seperti kepada dirinya. Di mana Leopold bersikap biasa saja, walaupun dia tengah hamil Athena, bahkan Leopold bermain dengan perempuan di saat Simone hamil Athena, dan itu sangat menyakitkan.
Elizabeth sadar akan ekspresi wajah Simone. Itu adalah ekspresi perempuan yang iri. Elizabeth segera mendekatkan wajahnya ke arah wajah Simone dan mencium bibirnya.
Elizabeth tersenyum lebar, sementara Simone sedikit terkejut.
"Maafkan aku, Aphrodite. Jika ucapanku barusan membuatmu kurang enak."
"Tidak apa-apa, Eliz. Aku tidak begitu memikirkannya. Lagian, santai saja," balas Simone dengan wajah merah dan sedikit panik.
Elizabeth mendekatkan wajahnya ke arah wajahnya Simone. Dia mencium bibir sang 'Countess' untuk kedua kalinya. Berbeda dengan ciuman sebelumnya. Ciuman Elizabeth kali ini lebih nafsu dan berhasrat. Tangan kiri Elizabeth meremas-remas dada bagian kiri Simone, sementara tangan kanannya meraba-raba area kewanitaan Simone.
Simone merasa sedikit geli ketika Elizabeth bertindak lebih agresif daripada biasanya.
Simone juga melakukan hal yang sama, di mana tangan kanannya meremas-remas dada bagian kanan Elizabeth, dan tangan kirinya meraba-raba area kewanitaan Elizabeth. Semakin keras mereka saling meraba area kewanitaan mereka, sehingga dari area tersebut keluar cairan bening yang cukup banyak.
Simone mendorong tubuh Elizabeth, dan dia langsung mencium sekaligus meraba-raba gunung kembarnya. Sementara itu, tangan kanan Elizabeth meraba-raba area kewanitaan Simone. Mereka saling berbagi cinta, dan saling melampiaskan hasrat agar jiwa mereka merasa puas. Mereka bercinta layaknya suami-istri, walaupun mereka sama-sama perempuan.
Mereka kemudian tiduran di tepi kolam renang air hangat dengan posisi membentuk angka enam sembilan. Wajah cantik Simone berhadapan dengan area kewanitaan Elizabeth dan dia langsung menjilatinya. Begitu pula dengan Elizabeth yang berhadapan dengan area kewanitaan Simone dan langsung menjilatinya.
Mereka sama-sama merasakan rasa perih dalam ritual bercinta mereka dan mereka sama-sama menikmatinya karena saling cinta. Simone semakin brutal dalam menjilati area milik Elizabeth sehingga membuatnya mendesah dengan suara yang cukup keras dan desahan keras itu cukup mengganggu Leopold.
"Dasar Wanita. Kalau sudah berduaan, selalu saja melakukan hal yang aneh. Padahal lebih nikmat jika bermain bertiga," keluh Kanselir Leopold yang tengah memasak nasi goreng.
Simone dan Elizabeth keluar dari kolam pemandia air hangat, dengan tubuh mereka yang hanya dibalut dengan selembar handuk berwarna putih.
"Ah, nikmatnya mandi air panas. Aku merasa seperti masih muda," ungkap Elizabeth sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Sepertinya hanya di dunia ini. Seorang perempuan berusia empat puluh empat tahun merasa dirinya masih muda," kata Kanselir Leopold menyeringai tipis menyindir istri pertamanya.
Elizabeth memasang ekspresi wajah tenangnya dan membalas perkataan sang suami yang tengah mengerjainya, "Usia boleh bertambah. Akan tetapi jiwa akan selalu muda."
"Usia hanyalah angka. Namun rasa cinta tak bisa diungkapkan melalui seribu kata," ujar Simone menimpali pembicaraan antara kedua Orang yang dia cintai.
"Kalau begitu, nikmatilah nasi goreng yang telah aku buat. Kalian butuh asupan gizi yang baik setelah bermain gunting," balas Kanselir Leopold tersenyum genit sambil memperhatikan kemolekan tubuh kedua Istrinya.
Elizabeth segera menarik tangan kanan Simone dan masuk ke kamar untuk ganti baju.
Kanselir Leopold beserta kedua istrinya tengah menikmati nasi goreng yang beraroma harum rempah khas Asia Tenggara, dengan ditambah sambel pedas yang menggugah selera.
"Masakanmu enak juga, yah, Leo. Ini mengingatkanku saat masih hidup di Bandung," puji Simone setelah menikmati satu sendok nasi goreng buatan Kanselir Leopold.
"Aku hanya ingin bernostalgia dengan makanan enak khas Asia Tenggara dan aku harap kalian semuanya suka," balas Kanselir Leopold sambil mengenang masa lalunya sebagai seorang Letnan Jenderal yang bertugas di Hindia Belanda.
"Tentu saja kami suka," jawan Elizabeth, dan Simone secara bersamaan.
Suasana makan malam terasa begitu hangat di Gospodarstwo Agroturystyczne "Zielone Wzgórze." Nasi goreng yang dibuat oleh Kanselir Leopold, membawa Simone untuk bernostalgia tentang kehidupan masa kecilnya yang dihabiskan di Pulau Jawa.
Sementara itu, dari dalam hutan Lipina yang gelap, dan terlihat cukup angker. Seorang Perempuan berpakaian hitam metalik dan berkulit pucat tengah merapalkan sebuah mantra dalam Bahasa Jerman.