Swords Of Resistance: Endless War

Bab 69, Pertemuan Yang Emosional



Bab 69, Pertemuan Yang Emosional

2Para Politikus dari berbagai seluruh Negara di Bhumi tengah berkumpul di Kota New York. Di mana sedang diadakan sebuah sidang akbar Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membahas tentang Ossetia Selatan dan Abkhazia.     

Perwakilan dari Federasi Russia dipimpin oleh seorang lelaki dari etnis Chechnya yang bernama Abdurakhman Baxayev.     

"Bangsa Abkhazia memiliki sejarah yang panjang dan mereka sudah ada sejak jaman dahulu di kawasan. Pengakuan kedaulatan kami terhadap Abkhazia atas dasar faktor sejarah yang sudah lama terjalin antara kedua bangsa. Pengakuan kami atas Abkhazia karena mereka meminta kami secara baik-baik untuk mengakui kedaulatan mereka sebagai sebuah bangsa dan negara. Terkait bergabungnya Ossetia Selatan dengan Federasi Russia. Masyarakat Ossetia Selatan hanya ingin keadilan dan persamaan hak antara mereka dengan etnis Georgia, serta kedudukan yang setara dengan mereka sebagai Bangsa Georgia. Sehingga Masyarakat Ossetia Selatan mengadakan sebuah referendum yang dihadiri oleh seluruh perwakilan dari negara-negara di seluruh dunia dengan hasil sembilan puluh tujuh persen Masyarakat Ossetia Selatan ingin bergabung dengan Federasi Russia. Begitupula dengan Masyarakat Abkhaszia. Sayangnya Pemerintah Georgia bersikap terlalu radikal, sehingga membuat etnis Abkhazia dan Ossetia memilih untuk memberontak untuk menjadi Bangsa yang merdeka dan ada yang bergabung menjadi bagian dari Federasi Russia."     

Pidato dari Baxayev sebagai Duta Besar Russia di PBB disambut tepuk tangan meriah dari Duta Besar Prussia, Belarus, Mongolia, Armenia, dan Azerbaijan yang merupakan sekutu mereka di CSO. Selain itu, Duta Besar dari negara-negara netral seperti Duta Besar Kuba, Aceh, China, Nikaragua, Bolivia, Venezuela, Serbia, Irlandia, Suriah, Dai Viet, Lao, Palestina, dan Lebanon, bertepuk tangan mengapresiasi pidato dari lelaki Chechnya tersebut.     

.     

.     

Sementara itu di Paris, Perancis. Para Presiden, Raja, dan Ratu dari Negara-negara Europa tengah berkumpul di sana untuk membahas situasi di Benua biru tersebut.     

"Perkembangan maritim dan 'luar angkasa' dari Prussia dan Russia benar-benar mengkhawatirkan Benua ini. Mereka membangun angkatan laut dan luar angkasa mereka secara besar-besaran," kata Raja Inggris keturunan Jerman. Raja George Arthur Charles William von Hannover alias Raja George Charles. "Mereka juga telah membuat kawasan di Kaukasia menjadi bergejolak dengan dianeksasinya Ossetia Selatan dan mendukung berdirinya negara sempalan bernama Abkhazia yang juga turut didukung oleh sekutu mereka seperti Belarusia, Suriah, Palestina, Lebanon, Iran, Nikaragua, Kuba, Dai Viet, dan Lao."     

"Yang terhormat, Yang Mulia Raja George Charles," kata Presiden Federasi Russia, Volodymyr Volodymyrovich Putin. "Terkait perkembangan maritim dan 'luar angkasa' yang tengah kami lakukan semata-mata hanya untuk pertahanan dan membela diri. Tidak ada maksud akan melakukan agresi ataupun tindakan yang ekspansionis. Ini semua kami lakukan semata-mata demi mempertahankan tanah air, dan rakyat kami dari segala macam ancaman yang ada," sambung Putin. "Tindakan kami di Kaukasia Selatan adalah bagian dari mewujudkan keadilan dan perdamaian di kawasan. Lepasnya Abkhazia dari Georgia dan bergabungnya Ossetia Selatan atas dasar ketidakadilan yang menimpa etnis tersebut. Bukankah referendum yang dilakukan oleh mereka disaksikan oleh para Perwakilan dari negara-negara di seluruh dunia dan dilakukan dengan jujur, adil, terbuka, dan tanpa adanya paksaan. Bangsa Abkhazia juga memiliki hak untuk membela diri mereka dan juga hak untuk meminta tolong dari negara sahabat. Bukankah negara Yang Mulia bersama Denmark, Bavaria, Perancis, dan Amerika Utara juga membantu Lithuania untuk menginvasi Belarusia."     

Balasan dari Putin bagaikan ribuan anak panah yang menghujani Raja George Charles. Balasannya terdengar begitu kuat dan juga penuh makna yang tidak bisa dianggap remeh.     

Raja George Charles menatap Stadtholder Nikolaus yang duduk dengan tenang sambil tersenyum tipis. Bagi Raja George Charles, senyuman suami dari adik sepupunya adalah sebuah penghinaan.     

Stadtholder Nikolaus angkat bicara untuk merespon pernyataan yang dilontarkan oleh Raja George Charles. "Terkait perkembangan maritim dan luar angkasa yang dilakukan oleh Prussia. Seluruh kekuatan maritim dan luar angkasa Prussia dipusatkan di wilayah seberang lautan kami di kawasan belahan Bumi selatan. Kami melakukan ini untuk melindungi wilayah kami dari ancaman para bajak laut yang bukan hanya merugikan kami, tetapi juga merugikan seluruh negara. Kami berhak memperkuat kekuatan laut kami, kami berhak untuk melindungi Rakyat kami, dan kami berhak untuk melindungi setiap kapal-kapal yang melintasi wilayah kami!" Balasan dari Stadtholder Nikolaus terdengar sangat tegas dengan penyusunan kalimat yang sangat kuat.     

Volodymyr Putin (Russia), Grigory Lukashenko (Belarusia), Stanislav Stevan Šupljikac (Serbia), dan Albert Conrad Soterius von Schneider (Romania) bertepuk tangan dengan keras mengapresiasi pidato Stadtholder Nikolaus. Tepuk tangan mereka berempat diikuti oleh para Pemimpin Europa lainnya, termasuk Raja George Charles.     

Sebenarnya dalam hati, Stadtholder Nikolaus ingin menyinggung Inggris dan Portugal yang mengintervensi Negara-negara Boer yang merupakan bagian dari Kerajaan Belanda. Namun, dia berusaha menjaga perasaan Raja George Charles, dan juga sikap diamnya Portugal terhadap Prussia, dan negara-negara anggota CSO.     

.     

.     

Terletak timur Kota Berlin, tepatnya daerah Biesdorf. Seorang lelaki tua dan istrinya tengah menyetrika berbagai macam jenis baju di sebuah rumah yang berukuran kecil merupakan penjara bagi mereka berdua. Mereka adalah Frederick Ludwig Wilhelm Leonard von Nassau-Dillenburg dan Marielle Louisa Anna Wilhelmine von Oranien-Nassau, orang tua dari Kanselir Leopold, dan Brigadir Jenderal Frederick Edward.     

Penjara ini merupakan tempat bagi mereka berdua untuk menghabiskan akhir kehidupan mereka setelah dijebloskan ke penjara melalui pengadilan jalanan oleh Kanselir Leopold, Puteri Adelheid, dan Marsekal Madya Karl Ludwig atas tuduhan korupsi, perbudakan, dan skandal seks. Dahulu, Leonard dan Marielle dikenal sebagai Bangsawan yang memiliki harta yang banyak dari perkebunan tembakau yang mereka kelola di wilayah Kesultanan Deli, dan juga tambang minyak, dan gas di Teluk Poso. Namun, setelah peristiwa kudeta, dan naiknya Stadtholder Nikolaus sebagai Pemimpin Prussia, dan Leopold sebagai Perdana Menteri-nya. Nasib mereka berdua berakhir dengan menyedihkan, di mana atas instruksi dari Kanselir Leopold, Puteri Adelheid, dan Marsekal Madya Karl Ludwig. Mereka berdua harus mendekam di penjara rumah hingga akhir hayat.     

Selain menyetrika, mereka berdua juga mencuci baju dari beberapa Penduduk di daerah Biesdorf.     

"Sebuah kehormatan bagi kami, di mana orang nomor satu di Prussia mau mengunjungi kami." Lelaki tua itu menatap Stadtholder Nikolaus yang datang mengunjunginya.     

"Aku dengar kalian sedang sakit. Jadi ibuku membuat ramuan tradisional untuk kalian." Stadtholder Nikolaus menyerahkan sebuah kotak kepada perempuan tua tersebut.     

"Terima kasih dan sampaikan salamku untuk Puteri Olga," kata Puteri Marielle menatap Stadtholder Nikolaus. "Maafkan kami berdua jika di masa lalu selalu memandang rendah keluargamu," sambung Puteri Marielle dengan wajah penuh penyesalan.     

"Aku sudah lama memafkan kalian." Stadtholder Nikolaus bersandar di dinding ruangan tersebut, di mana Puteri Marielle dan Pangeran Leonard sedang bekerja menyetrika berbagai macam jenis pakaian. "Sebenarnya aku tidak setuju juga kalian diperlakukan seperti ini, karena gara-gara kalian dipenjara. Ayahku menuduh bahwa aku adalah otak dibalik penahanan kalian sebagai tahanan rumah. Padahal aku tidak ikut campur dalam urusan antara kalian dengan Adelheid, Karel, dan anak-anak kalian."     

"Sebenarnya, aku lebih memilih mati daripada hidup dalam keadaan memalukan seperti ini," kata Pangeran Leonard dengan nada lirih.     

"Yah, bisa saja Leopold, Adelheid, dan Karel mengeksekui mati kalian. Hanya saja, aku, dan Edward menolaknya. Terlebih Adelheid, dia yang menginginkan kalian dibunuh secara sadis. Sungguh ironis juga, sepasang orang tua harus berakhir buruk dan dipenjara oleh anak dan keponakannya. Seandainya saja kau merestui pernikahan Leopold dan Elizabeth. Mungkin hal seperti ini tidak akan pernah terjadi dan kalian bisa menjalani masa tua kalian dengan damai dengan bermain bersama Charla, Charlemagne, dan Athena," kata Stadtholder Nikolaus.     

Stadtholder Nikolaus hanya terdiam mematung ketika melihat air mata mengalir dari wajah Puteri Marielle.     

"Kau harus fokus dengan pekerjaanmu, Puteri Marielle. Mengingat kalau ada cacat, para Penjaga yang merupakan bawahan dari Karl Ludwig akan menghukum kalian," sambung Stadtholder Nikolaus.     

"Aku tahu aku harus bekerja dengan baik. Hanya saja aku benar-benar merasa berdosa atas perlakuan kami terhadap Charlotte, Leopold, Edward, dan juga Elizabeth. Kami telah menjadi orang tua yang durhaka." Puteri Marielle menangis sambil menyetrika.     

Waktu telah menunjukkan pukul dua belas siang, di mana telah memasuki waktu istirahat bagi mereka berdua.     

"Sudahlah, jangan menangis orang tua. Kalau mereka tahu, aku tidak bisa menjamin kalian. Mengingat mereka bekerja di bawah wewenang Karl dan aku tidak punya kekuasaan di sini." Stadtholder Nikolaus menatap jam yang tergantung di dinding. "Baiklah, aku pergi dulu sebelum diusir oleh Tentara-nya Karel dan Adelheid."     

Dua orang perempuan yang mengenakan gaun berwarna biru datang di komplek penjara rumah tersebut. Elizabeth turun dari mobilnya, diikuti oleh Simone, Charla, Charlemagne, Athena, dan Vivi.     

Dari dalam rumah tersebut, Stadtholder Nikolaus berjalan keluar menghampiri keluarga Kanselir Leopold.     

"Tumben apa kalian semua mau mengunjungi mereka. Biasanya hanya Elizabeth. Kebetulan mereka berdua mungkin sedang istirahat dan aku habis mengirimkan jamu buatan ibuku untuk mereka," kata Stadtholder Nikolaus. Lelaki itu menatap Simone, dan Vivi, "Jadi, kalian berdua hidup bersama mereka, yah. Syukurlah kalau begitu, Simone. Aku senang melihat Athena senang dan bahagia bisa hidup dengan ibu yang sangat dia idamkan sejak kecil. Aku minta maaf kepadamu, jika selama ini istriku bersikap keras atau ada kalimat yang kurang berkenan yang dia katakan selama mengurus dan mendidik Athena."     

"Tidak apa-apa, Tuan Stadtholder Nikolaus. Aku berterima kasih kepada Puteri Juliana dan dirimu yang telah merawat dan mendidik anak kandungku layaknya anaknya sendiri," balas Simone kepada orang nomor satu di Prussia.     

"Baiklah, aku kembali lagi ke Berlin," kata Stadtholder Nikolaus yang beranjak pergi meninggalkan mereka.     

"Hati-hati di jalan, Niko," kata Elizabeth menatap kepergian sahabatnya.     

"Ya." Dia segera menaiki mobil Volkswagen berwarna hitam dengan diiringi oleh beberapa pengawal.     

Kedua Tentara yang menjaga rumah tersebut membuka pintunya dan mempersilakan mereka berenam masuk. Di ruangan tengah rumah tahanan tersebut, Puteri Marielle tengah merapihkan pakaian dan celana telah yang telah dia setrika, sedangkan Pangeran Leonard masih sibuk menyetrika.     

"Ini adalah pakaian terakhir," kata lelaki tua berambut pirang yang mengenakan seragam berwarna jingga layaknya tahanan.     

Kedua pasangan suami-istri itu mengenakan seragam berwarna jingga layaknya para tahanan walaupun mereka hanya tahanan rumah.     

"Silahkan duduk Nyonya Kanselir dan Keluarga." Puteri Marielle mempersilahkan keenam tamunya untuk duduk. "Maaf jika terlihat berantakan. Mengingat kami bekerja dari jam sembilan pagi hingga jam enam sore setiap harinya."     

Mereka berenam duduk di kursi panjang yang tidak ada pakaian sama sekali.     

"Tidak biasanya kau ke sini bersama banyak orang. Biasanya sendirian," kata Pangeran Leonard menatap Elizabeth.     

"Mereka bertiga ingin menjenguk kakek dan neneknya," balas Elizabeth.     

"Siapa perempuan berambut pendek berwarna pirang itu dan gadis itu?" tanya Puteri Marielle pada Elizabeth sambil menunjuk Simone dan Vivi     

"Dia adalah Simone van den Bosch. Ibu kandungnya Athena dan orang yang sudah aku anggap sebagai adikku," balas Elizabeth. "Dan dia adalah Vivi, anak tirinya Simone."     

"Jadi, kamu masih hidup, Simone," kata Puteri Marielle yang terlihat heran menatapnya.     

"Iya." Simone hanya memberikan sebuah jawaban yang sangat singkat.     

"Syukurlah, kalau kau masih hidup," balas perempuan tua berambut panjang bergelombang berwarna putih.     

"Bagaimana kabar kalian, ayah, dan ibu?" tanya Elizabeth pada kedua mertuanya.     

"Seperti inilah keadaan kami. Walaupun sebenarnya kami berharap lebih baik kami mati saja daripada diperlakukan seperti ini," jawab Puteri Marielle.     

"Kau sedang hamil, Nyonya Kanselir," kata Pangeran Leonard mengomentari perut Elizabeth yang semakin membesar.     

"Yah, sekarang usia kandunganku memasuki tujuh bulan. Aku hamil seorang bayi laki-laki," balas Elizabeth dengan suara yang lembut pada ayah mertuanya.     

"Syukurlah kalau begitu. Semoga baik-baik saja. Aku benar-benar senang melihatmu bahagia dengan anakku," kata lelaki tua itu dengan suaranya yang parau.     

"Yah, seandainya saja kalian merestui hubungan anak kalian dengan ibuku. Nasib kalian tidak akan menyedihkan seperti ini!" bentak Charla kepada kakek dan neneknya. "Seragam kalian bagus juga yah," kata Charla mengomentari seragam berwarna jingga yang dikenakan oleh kakek dan neneknya. "Harus melakukan kejahatan yang besar untuk bisa mengenakan seragam mahal seperti itu." Charla tertawa merendahkan kakek dan neneknya.     

"Ya sudah, kalau begitu, bagaimana jika aku membunuh kalian berdua?! Aku benar-benar sangat membenci kalian. Karena kalian, telah membuat ayah menderita," kata Athena dengan nada dingin sambil menatap tajam Kakek dan Nenek-nya.     

"Tahan amarahmu, Athena. Tidak ada gunanya juga kau membunuh mereka, karena nyawa mereka juga tidak berharga," timpal Simone dengan nada dingin sambil menatap tajam kedua orang tua tersebut.     

Athena tertawa jahat mendengar ibu kandungnya angkat bicara terkait kakek dan neneknya, "Yah, kau benar, Charla. Nyawa mereka memang tidak ada harganya, sehingga mereka hiduppun juga hanya karena kebaikan dari Stadtholder. Orang yang selama ini dipandang rendah oleh orang bau tanah dan menyedihkan seperti mereka."     

Pangeran Leonard dan Puteri Marielle hanya bisa diam mendengarkan segala hinaan dari Charla, Simone, dan Athena.     

"Bagaimana keadaan, Leopold? Apakah ada yang ingin dia sampaikan kepada kami?" tanya Puteri Marielle.     

"Tidak ada," jawab Elizabeth.     

Dengan ekspresi yang penuh penyesalan, Puteri Marielle bersimpuh ke arah Elizabeth. Perempuan tua itu menangis, "Aku benar-benar minta maaf karena tidak merestui hubungan kalian. Seandainya saja kami tidak memaksakan kehendak kami. Mungkin kalian akan bernasib baik. Aku juga minta maaf kepada kalian bertiga, Charla, Charlemagne, dan Athena, karena telah membuat kalian merasakan hidup tanpa kasih sayang yang cukup. Aku benar-benar minta maaf."     

Elizabeth menghampiri ibu mertua-nya, dan mengangkat badannya. "Sudahlah, ibu. Yang sudah biarlah sudah. Aku sudah lama memaafkanmu."     

Elizabeth memeluk ibu mertuanya.     

"Kalau yang sudah biarlah sudah. Bagaimana jika kita sudahi kehidupan mereka berdua," kata Athena menatap tajam kakek dan neneknya.     

Charlemagne menepuk pelan pundak kiri Athena, "Jangan begitu Athena. Biar bagaimanapun juga mereka adalah kakek dan nenek kita. Walaupun aku juga membenci mereka berdua."     

Seorang Tentara perempuan berkulit hitam memasuki ruangan tersebut. "Maaf Nyonya Kanselir dan Keluarga. Waktu kalian sudah habis. Silahkan kembali ke rumah kalian."     

"Maaf, kami pamit dulu," kata Elizabeth menatap ibu mertua-nya. "Kalau ada waktu, kami akan menjenguk kalian kembali."     

Puteri Marielle menghampiri suaminya dan menangis dalam pelukannya. "Tolong sampaikan permintaan maaf kami kepada Charlotte, Leopold, dan Edward."     

"Baiklah, akan aku sampaikan," kata Elizabeth dengan suaranya yang lembut.     

Elizabeth dan keluarganya berjalan pergi meninggalkan ruangan tersebut dengan dikawal oleh beberapa Tentara Perempuan yang berwajah datar. Para Penjaga memberikan hormat kepada mereka ketika mereka memasuki mobilnya.     

"Aku benar-benar kasihan pada mereka," kata Elizabeth dalam hatinya sambil menatap rumah berwarna putih tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.