Bab 53, Long March Tentara Siliwangi, Part 2
Bab 53, Long March Tentara Siliwangi, Part 2
Sementara Charla terlihat sedang sibuk sambil mengumpulkan beberapa bungkus rokok dan makanan serta minuman.
"Kalian daripada bingung dan diam mematung. Bantu aku untuk lucuti senjata mereka serta beberapa perlengkapan lainnya. Cepetan sebelum Belanda datang,"
Para Tentara Siliwangi segera melucuti senjata, amunisi dan perlengkapan militer lainnya milik Tentara Belanda yang telah dibunuh oleh Charla. Mereka semua bahu-membahu mengumpulkan jenazah para Tentara Belanda dan menaruhnya di atas Jeep mereka yang telah diparkir rapat. Charla menyiram jenazah mereka dengan bensin dan membakarnya.
Setelah itu, Charla dan beberapa Tentara Siliwangi segera berjalan memasuki hutan dengan bawa banyak senjata dan amunisi.
"Kenapa kau terlihat keji sekali?" tanya salah seorang Tentara Siliwangi yang masih sangatlah muda.
"Aku berasal dari dunia luar yang kejam. Bisa dikatakan dari dunia lain yang jauh di sana," jawab Charla. "Sebuah Dunia di mana Manusia jauh lebih jahat daripada seribu Iblis."
"Jadi, kamu bukan berasal dari Belanda," kata Daniel dengan ekspresi wajahnya yang terlihat heran.
"Anggap saja, iya," balas Charla singkat.
"Kira-kira seperti apa duniamu di sana?" tanya Mulyana yang dihantui oleh rasa penasaran.
"Duniaku ini jauh lebih canggih daripada dunia di Planet ini," jawab Charla berjalan sambil menatap langit yang mulai jingga. "Sebuah dunia di mana Orang bisa berkomunikasi dengan bertatap muka dari jarak jauh, dan kau bisa membaca berbagai macam informasi dan ilmu tanpa harus membeli buku ataupun koran."
"Yah, aku rasa dunia seperti ini ada banyak," kata Lodewijk yang terlihat gusar akan bayangan dunia yang canggih yang dikatakan oleh Charla. Lodewijk hanya membayangkan dunia yang canggih itu adalah dunia di mana tidak ada tempat yang gelap dengan Mobil dan Motor yang melayang di udara.
Angin sudah mulai mendingin dengan langit yang mulai semakin berwarna jingga, dan Matahari yang perlahan tenggelam menuju ke singgasananya.
Tentara Siliwangi tengah beristirahat di sebuah tanah yang cukup luas di antara pepohonan.
"Bagaimana Ibu bisa nyasar, dan kapan Ibu datang di sini?" tanya Athena kepada Ibunya yang tengah duduk bersandari di sebuah pohon.
"Aku baru saja datang tadi siang. Awalnya aku sedang potong rambut di tetanggaku. Namun, ketika aku keluar dari tempat potong rambutnya. Ada sebuah kabut yang begitu tebal, dan aku secara tiba-tiba ada di Kota Yogyakarta," jawab Simone. "Mereka segera membawaku ke markas. Saat dalam perjalanan menuju ke markas. Aku sudah sadar di mana aku harus memilih. Mengingat aku melihat beberapa tulisan yang menentang kehadiran Tentara Belanda serta semangat patriotisme. Kalau kalian berdua?"
"Aku sudah di sini sejak dua tahun yang lalu," kata Athena. "Namun, ini semua dimulai sejak satu minggu yang lalu di sana. Saat aku dan Charla memasuki Kastil Nassau di saat kabut yang begitu tebal tengah menyelimutinya."
"Di dunia kita, waktu berjalan itu ada sekitar kurang lebih satu minggu. Namun, di sini terasa begitu lambat, dan kami telah melalui dua tahun yang berdarah dan menggoncang jiwa di sini. Menjadi Tentara Belanda juga karena terpaksa. Aku benar-benar tidak tega jika harus berperang melawan Orang-orang yang berjiwa merdeka seperti mereka. Terlebih, saat peluru yang aku tembakkan menembus kepala salah seorang Republikan. Aku melihat tidak ada rasa takut pada matanya, walaupun Orang itu hanya bersenjatakan Bambu runcing. Apapaun Agama yang mereka anut. Mereka berperang dengan gagah berani," ungkap Charla memuji seluruh Pejuang Republikan yang pernah dia lawan. "Mereka sangat tangguh, dan berani mati. Itu yang benar-benar membuatku bersimpati dan ingin bersama dengan mereka."
"Selama aku mengikuti beberapa Peperangan. Orang-orang kalian adalah Orang yang spesial. Di mana ketika mereka mundur dan menghilang. Mereka akan datang dengan kejutan serta semangat tempur yang mengerikan. Saat aku menangkap beberapa Pejuang Indonesia. Tidak ada rasa takut sama sekali dalam diri mereka. Bahkan, ketika mereka akan dieksekusi. Kobaran api keberanian mereka semakin membesar, dan pekikan kata merdeka yang mereka ucapkan jauh lebih keras dan kencang. Benar-benar Orang berjiwa Pejuang," ungkap Athena.
"Apakah di dunia kalian sedang di landa Perang seperti di sini?" tanya salah seorang Perempuan muda yang tengah menggendong Anaknya.
"Perang di duniaku bukan hanya perang di medan pertempuran. Namun juga perang di dunia politik dan media, di mana para kekuatan besar saling memperebutkan pengaruhnya terhadap Negara-negara yang lemah dan kecil," jawab Athena.
"Yah, mungkin petualangan kita di sini bisa dikatakan mirip dalam beberapa Light Novel. Di mana para Pahlawan terpanggil untuk memerangi Raja Iblis. Dan kita di sini terpanggil untuk membantu Pejuang Indonesia memerangi Belanda. Kalau kita sudah memerangi Belanda. Maka kita akan kembali lagi ke dunia kita sebelumnya."
Para Tentara Siliwangi terlihat tidak mengerti akan apa yang dikatakan oleh Orang-orang berkulit putih seperti mereka. Namun mereka cukup senang bahwa ada tiga Perempuan berkulit putih yang mau bergabung dan berjuang bersama mereka, serta mau berbagi rasa.
.
.
Seorang Tentara Lelaki Belanda datang menghampiri Kolonel Harm Voorstok yang tengah makan malam dengan seorang Pejabat Belanda.
"Lapor Kolonel. Aku telah menaruh laporan terkait misi yang telah dilakukan oleh Letnan Van Aken. Karena aku tidak ingin mengganggu perasaan Kolonel. Jadi aku taruh laporannya di meja Kolonel."
"Ok, terima kasih. Aku akan membaca laporannya," balas Kolonel Harm Voorstok yang merasakan akan sebuah firasat buruk.
Pejabat Belanda tersebut menatap sang Kolonel yang terlihat khawatir.
"Habiskanlah makan malam ini, Kolonel. Agar rasa khawatir pada dirimu hilang," kata Pejabat Belanda tersebut menenangkan sang Kolonel.
Kolonel Harm Voorstok segera menyelesaikan makan malamnya dan pergi meninggalkan Pejabat Belanda yang hanya menatapnya datar. Sang Kolonel segera memasuki ruangannya dan berjalan menuju ke mejanya. Dia mengambil sebuah laporan yang menjelaskan bahwa pleton yang dipimpin oleh Letnan Van Aken telah ditumpas oleh Tentara Republik. Sang Kolonel segera menaruh laporan tersebut di mejanya.
Pagi harinya para Tentara Belanda berkumpul di lapangan untuk melakukan prosesi pemakaman Letnan Van Aken dan Pleton yang dia pimpin. Dengan dipimpin oleh seorang Pendeta. Para Tentara Belanda berdo'a dengan penuh khidmat untuk rekan-rekannya yang tewas dalam memerangi Tentara Republik.
.
.
Sebuah sungai yang berair tenang dan berukuran cukup lebar telah menghentikkan sementara langkah kaki Tentara Siliwangi. Kapten Ujang yang memimpin Pasukannya terlihat ragu dan cemas. Terlebih di sungai tersebut ada banyak Buaya.
"Bagaimana Kapten? Ada banyak Buaya di sana. Tidak mungkin kita melewati sungai. Sementara ada banyak Perempuan dan Anak-anak dalam kesatuan kita," kata Lodewijk.
"Jangan khawatir." Suara lantang Simone memecah keraguan yang menimpa Tentara Siliwangi. "Aku akan menjinakkan para Buaya tersebut. Jadi serahkan pada Ibu beranak tiga sepertiku!" Kalimat penuh percaya diri Simone lontarkan agar tidak ada keraguan pada diri para Anak-anak Siliwangi. Walaupun mereka semuanya sudah berkeluarga. Namun jika dibandingkan dengan Simone, pengalaman hidup mereka masih belum banyak seperti dirinya.
Simone berjalan menuju sungai dan memegang mulut salah seekor Buaya berukuran besar yang tengah berjemur di tepi sungai. Terlihat dari gerak bibirnya. Simone seperti mengatakan sebuah kalimat. Para Buaya itu segera masuk ke dalam sungai. Mereka berjejer rapih dan membentuk seperti sebuah jembatan.
Simone berjalan di atas para Buaya yang berjejer. Sepasang kakinya berjalan melewati jejeran Buaya yang terlihat seperti sebuah jembatan. Charla dan Athena segera berjalan menyusulnya dan menaiki punggung-punggung Buaya yang berjejer rapih seperti sebuah jembatan.
"Ayo semuanya. Kita naiki punggung para Buaya agar kita bisa sampai di seberang." Suara lantang Simone membuat Ksatria Siliwangi menjadi berani. Mereka memperkenankan para Perempuan dan Anak-anak mereka terlebih dahulu berjalan.
"Ayo, Neng dan Anak-anak. Jangan ragu dan teruslah melangkah," kata Simone kepada para Perempuan muda beserta Anak-anak mereka untuk melewati jejeran punggung Buaya yang tengah berbaris rapih.
Para Perempuan muda beserta Anak-anak mereka terlihat bahagia penuh rasa syukur bisa sampai di seberang dengan melewati Buaya-buaya yang berjejer rapih layaknya jembatan.
Setelah seluruh Perempuan dan Anak-anak tiba di seberang. Kini giliran para Lelaki Siliwangi. Kapten Ujang menginjakkan kakinya di punggung seekor Buaya, lalu diikuti oleh para bawahannya. Para Perempuan dan Anak-anak mereka menyoraki dan memberi semangat kepada para Lelaki agar bisa menyebrang dengan gerakan yang lebih cecpat.
Sebuah suara mesin Pesawat terdengar oleh Simone, Charla dan Athena. Suara itu berasal dari arah timur.
"Semuanya. Segera masuk ke hutan. Sebuah Pesawat musuh tengah terbang menuju ke sini," kata Simone.
Sontak saja seluruh Perempuan, Anak-anak dan Lelaki yang sudah tiba di tepi sungai segera berlari memasuki hutan. Para Tentara Lelaki yang masih berjalan di atas punggung Buaya, segera mempercepat langkah kaki mereka.
Sebuah Pesawat Kitty Hawk muncul di depan mata Tentara Siliwangi yang telah berada di tepian ataupun masih berjalan di atas punggung Buaya. Para Tentara Siliwangi beserta Keluarga mereka segera berlari menuju ke arah hutan. Pesawat Kitty Hawk segera memutar arahnya dan menembaki Anak-anak Siliwangi. Tembakannya menjatuhkan beberapa Tentara Siliwangi, Perempuan dan Anak-anak mereka yang masih kecil.
Mereka semua segera berlari berpencar agar tidak menimbulkan banyak korban akibat serangan Pesawat Kitty Hawk.
Athena, Charla dan Simone menembaki Pesawat Belanda yang terbang di atasnya. Walaupun tembakan mereka tidak mengenai sedikitpun Pesawat Belanda tersebut. Setidaknya mereka ingin menunjukkan kepada seluruh Anak-anak Siliwangi bahwa mereka ada di pihak yang benar.
Setelah sepuluh menit yang menegangkan, Pesawat tersebut kembali menuju ke arah timur, tepatnya ke arah Yogyakarta.
Tubuh-tubuh tak bernyawa bergeletakan di pinggir sungai dan pepohonan. Teriakan kesedihan dan tangisan pecah di antara Tentara Siliwangi yang masih muda.
Anak-anak Siliwangi menangis dengan tangisan yang begitu menyahat hati. Walaupun mereka terlahir untuk berperang di segala jenis medan. Namun bagaimanapun juga mereka adalah Manusia yang juga akan menangis dan bersedih ketika Orang-orang yang mereka cintai telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Jasad-jasad yang terbunuh secara mengenaskan bergeletakan di sungai dan di pepohonan. Para Perempuan menangis dengan kencang ketika Suami, Istri, Teman, Saudara, dan Anak-anak mereka terbunuh oleh Pesawat Belanda. Begitu pula dengan para Lelaki dan Anak-anak yang juga menangis ketika Istri, Ibu atau kerabat mereka terbunuh.
Suasana siang hari ini begitu kelam bagi Anak-anak Siliwangi. Namun mereka tidak ingin larut dalam kesedihan. Mereka segera mengubur Orang-orang yang mereka cintai. Mereka menandai makam-makam mereka dengan batu sungai yang diberi tanda warna merah dari darah dan warna putih dari batu kapur yang mereka temui.
Mereka juga meninggalkan senapan yang telah rusak sebagai penanda bagi kuburan dari beberapa Tentara. Serangan Pesawat Belanda telah membunuh sekitar tiga Tentara Siliwangi, empat Orang Perempuan dan tiga Orang Anak-anak, serta melukai sekitar sebelas Orang.
Dalam suasana dan keadaan yang bersedih.. Anak-anak Siliwangi tetap melanjutkan perjalanan mereka untuk menuju kemerdekaan.