Bab 46, Violet Rosenbluth
Bab 46, Violet Rosenbluth
Para pengunjung Toko Roti bertepuk tangan dengan keras mengapresiasi penampilan kehebatan Athena dalam membawakan sebuah lagi bergenre Jazz. Kehadiran Athena di Mutzenich bukan hanya membawa keberuntungan bagi Ibunya serta Rosenbluth Becker, namun bagi seluruh Penduduknya. Mutzenich yang semula hanyalah sebuah Kota kecil yang berada di dalam wilayah Belgia, kini ramai dikunjungi oleh Orang atau banyak produk-produk hasil tangan atau barang dagang dari Mutzenich yang dibeli secara online, mengingat Athena sering sekali memposting barang yang dia beli dari setiap Pedagang sehingga memberikan efek domino yang menguntungkan para Pedagang di Mutzenich.
Berbagai macam pujian dilontarkan oleh para pengunjung Toko Roti. Mereka begitu terhibur dengan nada-nada Piano yang indah yang dimainkan oleh Athena.
Ada Orang yang tengah berbahagia bersama dengan Keluarga dan juga Orang-orang terdekat, namun ada juga Orang yang tengah serius dengan pekerjaannya. Hal seperti ini terjadi di seluruh penjuru dunia. Ada Orang yang memiliki waktu santai sehingga bisa menghabiskan waktu santainya bersama dengan Keluarganya, namun ada juga yang tengah bertarung melawan waktu untuk menyelesaikan pekerjaanya.
Juliette mengangkat teleponnya yang berdering dengan nada yang khusus, di mana nada dering tersebut merupakan panggilan dari Anaknya.
"Ada apa sayang?" Kalimat sambutan dengan penuh kehangatan menyambut panggilan dari Anak tersayang.
"Bagaimana kabarmu, dan juga yang lainnya? Hari ini aku ada misi," balas Vivi duduk bersandar pada sebuah tembok.
"Aku dan mereka berdua baik-baik saja. Saat ini Athena dan Simone sedang menghibur para pengunjung Toko Roti. Hati-hati yah, sayang. Ibu dan yang lainnya akan selalu berdoa untuk keselamatanmu," jawas Juliette diiringi suara dari Simone yang tengah bernyanyi dan suara Piano yang tengah dimainkan oleh Athena.
"Pantas saja agak ramai," balas Vivi. "Baiklah, terima kasih banyak, Ibu. Aku menjalankan misi dulu yah. Setelah selesai aku akan mengabarimu." Vivi mematikan panggilannya.
Panggilan telepon itu berakhir, seketika Juliette mengingat kembali kepingan dari rangkaian masa lalunya. Dalam rangkaian itu, Juliette tengah menghitung uang di mesin kasir, sementara Simone duduk di salah satu kursi di Toko Roti seraya menyusui seorang Anak berambut pirang kecokelatan yang berusia empat tahun.
"Kalau saja dadamu tidak berukuran besar, mungkin Vivi tidak akan menyusu padamu, Estia," ujar Juliette. "Harusnya sih dia berhenti menyusui mengingat dia sudah berusia empat tahun."
"Tak apa, Juliette. Aku hanya ingin dia tumbuh menjadi Anak yang sehat," balas Simone yang tengah menyusui Vivi seraya membelai lembut kepalanya.
Kepingan memori itu berputar, dan menunjukkan bahwa Juliette, Simone dan Vivi tengah mengadakan camping di sebuah hutan. Juliette sedang membakar jagung, sementara Simone tengah mengajari Vivi menembak dengan menggunakan senapan angin. Walaupun usianya baru sembilan tahun, Vivi sudah menunjukkan bakatnya dalam menggunakan senapan angin. Peluru yang dia tembakkan berhasil mengenai titik tengah pada target yang Simone tandai di pohon pinus.
"Apakah tidak masalah mengajari Anakku bermain senapan?" tanya Juliette dengan nada penuh khawatir.
"Jangan khawatir, yang penting ada yang membimbingnya. Aku sudah belajar menggunakan senjata api sejak berusia tujuh tahun, di mana aku diajari langsung oleh Ayah-ku," jawab Simone dengan santainya. "Vivi memiliki bakat sebagai seorang penembak yang handal, di mana dia dengan cepat mempelajari apa yang aku ajarkan, serta selalu tepat sasaran."
"Ibu, lihatlah. Tembakanku selalu tepat sasaran," ungkap Vivi dengan penuh kebahagiaan seraya menunjuk ke sebuah titik di pohon pinus yang merupakan target sasaran tembak.
"Anak Ibu memang hebat," puji Juliette seraya bertepuk tangan dengan begitu keras.
Vivi terlihat senang akan pujian dari Ibunya, dia segera berlari ke arahnya dan memeluknya.
Orang-orang di Toko Roti memperhatikan Juliette yang tengah tersenyum sendirian. Athena menghampirinya dan menepuk pundaknya, lalu berkata, "Sadarlah, Nyonya. Kalau kau senyum-senyum sendiri, mereka akan membawamu ke rumah sakit jiwa."
Juliette begitu kaget, namun dia mengendalikan dirinya dengan tenang.
"Jangan khawatir, aku hanya sedang mengingat masa lalu yang indah," kata Janda Lesbian beranak satu berusia empat puluh dua tahun tersebut dengan nada santai.
.
.
Setelah pertemuan dengan Ibunya dan Aphrodite Louise Simone Wilhelmina van den Bosch, hubungan antara Vivi dengan Frederick Edward beserta Keluarganya menjadi semakin erat. Vivi yang awalnya selalu tidur di barak, kini tidur di rumah dinas dari Brigadir Jenderal Frederick Edward yang terletak di Kastil Stirum. Kemanapun Adik Kanselir Leopold itu pergi, Vivi selalu mendampinginya sebagai seorang Supir pribadi. Hubungan ini sudah seperti layaknya seorang Ayah dan Anak daripada hubungan antara Atasan dan bawahannya. Tentu saja hubungan ini menimbulkan rasa iri dan cemburu dari rekan-rekannya di Resimen Ruhr, namun Vivi tidak ambil pusing akan hal tersebut. Karena sejak kecil Vivi telah menjadi seorang Perempuan yang kuat dan tahan banting dari berbagai macam ucapan miring. Berkat didikan yang baik dari Ibunya dan juga Simone, Vivi telah tumbuh menjadi Perempuan yang kuat, dan tegar. Karena itu, tidak heran jika Vivi sering terlibat perkelahian, baik berkelahi dengan sesama Perempuan ataupun dengan para Lelaki.
"Kau memang benar-benar Anak Ibu," ujar Brigadir Frederick Edward tersenyum tipis memandangi bawahannya yang berdiri di depannya. "Tadi aku yang kebetulan lewat mendengar perbincanganmu dengan Ibumu. Bukan berarti aku menguping. Kau seharusnya bersyukur memiliki kedua Ibu yang sangat penyayang dan peduli, tidak seperti diriku yang terlahir dari dua Orang Tua durhaka yang mengusir Anaknya yang berjiwa Pemberontak ini. Beruntungnya Guru dari Pangeran Nikolaus, mau mengasuhku dan mengangkatku sebagai Anaknya. Kalau dia tidak mengasuhku, mungkin aku akan menjadi sampah masyarakat."
Vivi hanya terdiam dengan posisi sikap sempurna, dari ekspresi wajah atasannya, dia juga paham bahwa sang Brigadir Jenderal masih memiliki rasa sayang kepada kedua Orang Tuanya.
"Sebenarnya misi ini bisa dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari enam Orang, mengingat misimu hanyalah membunuh para pegikut Setan di Hutan. Namun atasanku yang menjabat sebagai Menteri Presiden Negara Bagian Westaphalia, Letnan Jenderal Jacob Pieter Helsdingen memintaku untuk kau melakukan misi ini sendirian. Aku yakin kau bisa menjalankan misi ini."
Vivi memberikan hormat kepada Brigadir Jenderal Frederick Edward, "Aku siap melaksanakannya, Brigadir Jenderal."
Brigadir Jenderal Frederick Edward menatap tajam mata bawahannya, dan berkata dengan nada tegas, "Kalau begitu laksanakanlah misi ini, dan kembalilah dengan selamat."
.
.
Di hutan yang terletak di sebalah barat Kota Siegen puluhan Orang bertelanjang dada tengah berpesta dengan penuh kegilaan. Di bawah pengaruh sabu-sabu, mereka semua sedang berhubungan seks sebagai ritual keagamaan mereka.
Sebenarnya Vivi sudah tahu sejak masih Gymnasium tentang sekte sesat ini. Sekte ini disebut sebagai Gereja Setan Westaphalia yang merupakan pecahan dari Gereja Setan pimpinan Crowley. Hanya saja, dipadukan dengan kepercayaan kuno dari dari Bangsa Jermanik, dan sekte sesat ini memiliki pengikut yang cukup di kawasan sungai Rhine, Hollande, dan Belgia.
Sama seperti halnya Gereja Setan, Gereja Setan Westaphalia juga memiliki ritual sex secara berjamaah, hanya saja ritual sex ini dilakukan di tempat yang terbuka, seperti tanah lapang atau di hutan. Sebagian besar anggota dari Gereja Setan Westaphalia adalah Orang-orang yang berasal dari wilayah Perkoataan di Prussia, Belgia, Hollande dan Luxemburg.
Vivi bergerak secara hati-hati memasuki hutan tersebut. Mengingat dia merasakan ada banyak kekuatan tak kasat mata yang menjaga para penganutnya yang sedang ritual seks tersebut. Untuk menghadapi kekuatan jahat tersebut, Vivi selalu memanjatkan do'a kepada Tuhan Allah.
Suara yang berisik bergerak dengan cepat menuju ke arahnya, diikuti dengan asap berwarna hitam pekat. Vivi menarik Pedang-nya dan membelah gumpalan asap hitam pekat tersebut. Asap hitam pekat tersebut berubah menjadi seekor Serigala berwarna hitam dan juga berukuran besar dengan matanya yang berwarna merah darah.
Serigala itu segera menerjang Vivi, dan ketika dia menarik Pedang-nya yang memancarkan warna biru, tubuh Serigala itu terbelah menjadi dua bagian dan langsung musnah bagaikan debu yang ditiup angin.
Setelah membunuh Monster Serigala itu, Vivi bergerak dengan begitu cepat memasuki hutan. Berbagai macam setan muncul dan menghadang gerakannya. Vivi bertarung dengan sengit melawan para setan yang menyerangnya.
Sementara itu, Vivi juga mendengarkan beberapa suara Pedang dan juga tembakan dari arah barat, selatan dan timur. Di seberang sana, dan arah lainnya, Vivi melihat ketiga Orang yang mungkin berasal dari kesatuan yang lain tengah bertarung melawan para setan. Kemungkinan ketiga Orang tersebut berasal dari kesatuan Polisi Militer.
Mengetahui bahwa dia tidak sendirian dalam menjalankan misi ini, Vivi semakin bersemangat dalam bertarung menghadapi para setan yang menyerangnya. Pedang Rapiernya menebas dan memusnahkankan satu per satu para setan.
Hingga akhirnya Vivi dan ketiga Orang lainnya tiba di lokasi ritual, di mana puluhan Orang masih tetap melanjutkan ritual seksnya dalam keadaan tak sadarkan diri meskipun sudah digerebek oleh empat Orang bersenjata.
Sementara sang Pendeta berwajah suram dengan tekstur wajah berbentuk oval, berkumis tebal terlihat santai di atas mimbarnya.
"Jadi, akhirnya ketahuan, yah," kata sang Pendeta itu dengan santainya.
Seorang Lelaki berambut hitam dan bermata cokelat mengarahkan Pistol-nya ke arah sang Pendeta. "Menyerahlah, Lodewijk Crowley."
"Aku menolak," jawab Lodewijk Crowley sang Pendeta sekte sesat tersebut.
Franz Schmidt menarik pelatuknya dan peluru segera meluncur dari Pistol tersebut peluru tersebut terpantul balik dan membunuh Franz.
Lodewijk Crowley tertawa dengan kesombongannya, "Ilmu kebal ini tidak ada gunanya dengan senjata canggih ala Prussia."
Lodewijk menjentikkan kedua jarinya, sehingga para pengikutnya yang sedang asyik berpesta sex bangkit berdiri. Mereka terlihat seperti gerombolan zombie yang sudah kehilangan kesadarannya dan segera berlari ke arah mereka bertiga.
"Bagaimana ini?"
"Kalau begitu bunuh saja mereka."
"Kalian berdua bunuh mereka, biarkan aku yang berhadapan dengan Lodewijk!" teriak Vivi kepada kedua Orang yang ada di sudut lainnya.
Kedua Orang itu menembaki Orang-orang yang berlari mendekatinya. Berondongan peluru langsung menjatuhkan mereka dan mencabut nyawanya.
Vivi berlari dengan cepat sambil menembaki para Orang-orang yang menyerangnya. Ilmu hitam seperti ini, sudah tidak bisa diobati kecuali dengan membunuhnya. Vivi melempar granat api dan ledakan granat tersebut langsung membakar Orang-orang.
Kini hanya ada Vivi dan Lodewijk, sedangkan kedua Orang tersebut terlihat kelelahan setelah membunuh Orang-orang yang menurutnya tidak harus dibunuh.
"Kau hebat juga," puji Lodewijk.
Vivi mengarahkan Pedang-nya ke arah Lodewijk dan berkata dengan nada dingin, "Aku tak butuh pujian darimu, mengingat kau akan mati sebentar lagi."
Lodewijk tertawa mendengarnya, "Teknologi itu tidak akan membunuhku."
Vivi membuang Pedangnya dan mengluarkan sebuah botol beer berwarna hitam. Dia berjalan perlahan sambil menggenggam botol beer berwarna hitam tersebut ke arah Lodewijk yang terus tertawa mengejeknya, "Memangnya botol seperti itu bisa membunuhku. Kau benar-benar lucu dan idiot."
Vivi berusaha tetap tenang, mengingat di dalam botol tersebut berisikan daun kelor yang direndam dengan air putih.
Vivi menghajar kepala Lodewijk dengan botol tersebut, dan membuatnya langsung lumpuh seketika. Kepalanya bocor, dan dia tergeletak tak berdaya. Vivi memegang selembar daun kelor.
"Ibu tiriku yang berasal dari Ras Wizard pernah berkata bahwa kelemahan terbesar ilmu kebal itu adalah daun kelor, dan sekarang lihatlah dirimu yang sudah lemah tak berdaya. Kau meremehkan teknologi Prussia, sampai-sampai kau melupakan tentang kekayaan alammu. Daun kelor ini tumbuh subur di Asia Selatan dan Asia Tenggara, terutama Pulau Jawa. Ilmu kebalmu langsung hilang seketika setelah aku menyerangmu dengan botol yang berisi daun kelor yang direndam air putih yang sudah dibacakan ayat-ayat Injil."
Kedua Lelaki itu berjalan menghampiri Vivi. Mereka bertiga menarik Pedang-nya dan langsung menancapkan ketiga Pedang-nya pada wajah bulat penuh lemak tersebut, dan Lodewijk langsung tewas seketika.
.
.
"Aku tidak menyangka kalau Menteri Presiden Letnan Jenderal Jacob Pieter Helsdingen mengirimkan tiga Orang yang lain," ujar Vivi yang tengah menulis laporan misinya pada Laptopnya. "Kalau saja aku tidak dibantu, mungkin aku sudah mati."
Sementara sang Brigadir Jenderal Frederick Edward yang tengah duduk sambil membaca Novel "Bumi Manusia" karya Pramudya Ananta Noer membalas kalimat yang dilontarkan Vivi, "Sebagai bawahannya, dia hanya menyuruhku untuk memberikanmu sebuah misi. Tetapi aku tidak menyangka bahwa kau mengalahkannya dengan botol yang berisi daun kelor yang direndam oleh air yang dibacakan ayat-ayat Injil."
"Dia adalah pengguna ilmu kebal, dan kelemahan terbesar ilmu kebal adalah daun kelor."
"Apakah Simone mengajarimu?" tanya sang Brigadir Jenderal berusia empat puluh dua tahun tersebut.
"Iya, karena dia adalah seorang yang terlahir dari Ras Wizard," jawab Vivi.
Frederick Edward menutup Novel yang tengah dia baca dan berdiri dari kursinya.
"Memang ini di liuar nalar bagi Orang Europa seperti kita. Akan tetapi Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Kuat, memberikan berbagai macam yang ada di alam untuk menangkal kekuatan setan. Ini juga adalah salah satu alasan leluhur kita berlayar mengarungi Samudera ke tempat yang jauh dan berkolaborasi dengan para penguasa lokal yang saling bermusuhan."
Meskipun dia terlihat dingin bagaikan es, namun Brigadir Jenderal Frederick Edward merupakan seorang yang penyayang dan ramah. Dia adalah seorang Katolik yang taat dan juga memiliki wawasan yang luas. Dia juga dikenal sebagai ahli juijutsu serta ahli Katana. Di antara Perwira Militer Prussia, hanya Brigadir Jenderal Frederick Edward yang dikenal sebagai seorang Nipponphilia alias Orang yang terobsesi terhadap budaya dan politik Nippon, khususnya Samurai dan Ninja.
Suara logam yang saling beradu terdengar begitu keras dan menimbulkan sedikit percikan api. Dua Orang tengah bertarung dengan menggunakan Katana asli, di mana Vivi bertarung melawan atasannya, sang Pangeran Es Prussia, Brigadir Jenderal Frederick Edward. Vivi berteriak dengan keras dan berlari menyerang atasannya.
Mereka berdua bertarung dengan begitu sengitnya. Suara Katana yang saling beradu itu semakin keras yang menandakan bahwa pertarungan menjadi semakin sengit. Serangan yang dilancarkan Vivi berhasil menghempaskan Katana milik sang Pangeran Es Prussia.
"Kau sudah berkembang semakin jauh, dan sudah tak pantas lagi melawanku," puji Brigadir Jenderal Frederick Edward yang berjalan untuk mengambil Katana-nya. "Kau kini telah melangkah lebih jauh. Aku bangga memiliki murid yang hebat seperti dirimu."
Vivi memberikan salam ala Samurai kepada atasannya, "Terima kasih atas pujiannya, Edward-dono. Sebuah kehormatan kau mau mengangkatku sebagau muridmu."
Puteri Monica berjalan dengan begitu anggun. Sang Puteri Belgia keturunan Jerman dari Klan Habsburg-Lorraine itu terlihat begitu cantik dengan mengenakan kimono berwarna cerah sambil membawa nampan yang berisikan makanan khas Nippon.
"Aku membuat sushi ini spesial untuk kalian berdua. Makanlah," ujar Puteri Monica.
"Terima kasih banyak, Monica-hime," balas Vivi.
Frederick Edward dan Vivi tengah menikmati setiap suap nasi dan sushi yang tengah mereka makan. Vivi terlihat sangat bahagia, karena bagi dirinya ini adalah sushi terlezat yang pernah dia makan.
"Kalau kau masih kurang, aku akan membuatkannya khusus untukmu," ujar Puteri Monica.
"Terima kasih banyak. Tapi ini sudah membuatku kenyang, Monica-hime.. Aku benar-benar merasa bersyukur bisa makan sushi buatan Hime-sama," ungkap Vivi yang matanya berkaca-kaca.