Jodoh Tak Pernah Salah

Part 301 ~ Nasehat Dila



Part 301 ~ Nasehat Dila

1"Jika kami bercerai hak asuh anak akan jatuh di tangan Ria. Uda tidak mau jika Attar dan Aina diasuh Ria. Keluarga dia tidak beres, penjudi. Uda tidak mau kedua anak uda sama seperti mereka."     

"Istigfar uda. Jangan ngomong kayak gitu." Dila mengingatkan sang kakak.     

"Kenyataannya begitu Dila."     

"Boleh aku ngomong jujur?"     

"Ngomong aja Dil kenapa minta izin segala."     

"Dulu sebelum kalian nikah aku sudah memperingatkan uda. Jangan melakukan poligami. Melihat uni Naura sakit, aku ikutan sakit uda. Tapi uda malah membuat sandiwara kecelakaan itu hingga uni Naura mau dimadu. Menikah di hari yang sama dengan Ria. Disini yang salah uda. Uda yang memulai prahara ini. Andai uda menetapkan satu pilihan antara Naura dan Ria mungkin tidak akan menghadapi masalah sepelik ini. Kita boleh mencintai tapi logika tetap dipakai."     

"Cinta pada Ria membutakan uda hingga tak sadar menyakiti hati uni Naura. Selama ini aku melihat uda lebih perhatian pada Ria daripada Naura. Mentang-mentang Ria lebih punya banyak waktu untuk uda. Istri yang sangat uda sayangi itu ternyata mengecewakan uda. Kita tidak boleh berharap pada manusia karena pada akhirnya di kecewakan. Aku sudah tahu busuknya Ria sebelum kalian menikah. Aku sudah menasehati uda kala itu, tapi apa yang aku dapatkan? Kebencian dari uda, bilang aku sirik dan menghina kejombloanku."     

"Terhadap suatu hal yang kita pilih, kita harus bertanggung jawab atas apa yang menjadi konsekuensi dari pilihan tersebut. Uda harus bertanggung jawab dan harus menerima apa yang telah terjadi pada Ria. Dalam hidup, sering kali atau bahkan setiap saat kita selalu dihadapkan pada sebuah pilihan. Pilihan-pilihan hidup itu membuat kita merasa sulit yang kemudian menjadikan kita berada dalam suatu titik bernama kebingungan. Tidak berguna kita menyesali pilihan yang kita ambil. Life must go on! Yang harus kita lakukan adalah mengambil pilihan yang terbaik. Hidup pun ada di tangan kita sendiri. Apapun hasilnya, apapun resikonya, itu adalah buah dari pilihan yang kita jatuhkan sendiri."     

"Uda harus bagaimana Dil?" Iqbal menyesal tidak mendengarkan nasehat adiknya dulu. Dia terjebak dengan pilihannya sendiri.     

"Pikirkan anak-anak. Mereka masih sangat kecil. Mau mereka tumbuh dalam keluarga broken home? Jangan egois bilang ada Naura. Ria ibu kandung mereka. Attar dan Aina tidak ingin kehilangan ibu mereka. Berdamailah dengan kenyataan dan mencoba memaafkan seperti aku dan Bara.." Dila hampir keceplosan namun ia segera menghentikan ucapannya.     

"Kenapa kamu dan Bara?" Iqbal memicingkan mata curiga.     

"Aku juga ingin cerai dengan Bara karena kami tidak cocok dan tidak saling mencintai, tapi lupakan saja. Itu terjadi di awal pernikahan kami." Dila pintar ngeles sehingga rahasia Bara yang dulunya gay tersimpan rapat.     

"Aku kira dia menyakiti kamu. Kalo dia macam-macam sama kamu lapor sama uda. Biar uda cekik dia."     

"Selesaikan masalah uda dulu kalo aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri."     

"Apa yang harus uda lakukan Dil?" Iqbal menutup wajahnya dengan kedua tangan. Mengulangi pertanyaan yang sama seolah tak ada solusi atas permasalahan rumah tangganya.     

"Apa yang harus kita lakukan apabila kita menyadari bahwa kita telah mengambil pilihan yang salah? Tentu sudah jelas kita harus bertanggung jawab kepada pilihan kita. Sepahit apapun tanggung jawab kita, tetap saja harus kita hadapi dan selesaikan, ingat, "selesaikan", bukan "abaikan". Anggaplah tanggung jawab uda sebagai tantangan hidup, dan apabila uda berhasil melaksanakan tanggung jawab maka telah berhasil membuktikan bahwa uda adalah orang yang layak hidup sejahtera."     

"Selalu pikirkan anak-anak. Rumah tangga uda tidak melulu uda, Ria dan Naura. Ingat anak-anak kalian. Aku tidak membela Ria namun dia layak mendapatkan haknya. Memang dia berbuat salah telah berjudi dan mencoba membunuh uni Naura. Bukankah dia layak dapat kesempatan kedua? Tuhan saja Maha Pemaaf kenapa kita hanya makhluk Tuhan bisa lebih sombong?"     

Iqbal tertegun mencerna setiap perkataan adiknya. Dila benar ia harus bertanggung jawab atas pilihannya.     

"Uda akan mencoba membuka hati uda kembali untuk Ria. Dia sudah mulai berubah sejak uda mengabaikannya."     

"Aku pun melihat perubahan Ria. Dia menyesal dan menyadari kesalahannya. Uni Naura saja bisa memaafkan Ria kenapa uda tidak?"     

"Kemana Bara membawa Aina?"     

"Palingan main di taman belakang. Ada ayunan disana. Apa kalian tadi bertengkar?"     

"Kami bertengkar hebat hingga anak-anak menangis. Attar bersama Ria, Aina bersama uda."     

Dila mendekati Iqbal dan mengelus pundak kakaknya.     

"Tolong uda perhatikan mental anak. Jangan pernah bertengkar di depan anak. Uda kepala keluarga jadi contoh untuk anak-anak. Mereka bisa membenci uda karena memperlakukan ibunya tidak baik. Sifat uda akan ditiru Attar. Anak mesin fotokopi terbaik."     

Iqbal manggut-manggut setuju dengan pendapat Dila.     

"Aina mana ya?" Mata Iqbal memendar melihat sekeliling rumah.     

Iqbal dan Dila melihat Aina dan Bara kejar-kejaran. Gadis kecil itu tergelak tawa.     

"Papa tolong aku," ucap Aina dengan nada menggemaskan.     

"Kenapa minta tolong sama papa?" Iqbal menggendong Aina.     

"Aku dikejar-kejar. Takut ditangkap."     

"Om Bara baik masa Aina takut?"     

"Tidak takut," ucap Aina malu-malu kucing. Gadis tiga tahun itu selalu malu-malu dengan laki-laki kecuali sang ayah. Di usianya yang baru tiga tahun sudah tahu mana yang cowok ganteng apa tidak. Centilnya kebangetan.     

"Dila uda pulang dulu ya." Iqbal berpamitan.     

"Sini mari kami antar," ucap Bara merangkul Dila mengantar Iqbal ke depan.     

Bara melambaikan tangan pada Iqbal dan Aina. Merasa mobil Iqbal sudah jauh Bara menggendong Dila ala bridal style dan membawanya ke kamar.     

"Sayang kamu apa-apaan sih?" Dila tergelak tawa menutup wajahnya takut ada tetangga yang melihat mereka.     

"Aku lagi gendong kamu. Masa kamu tidak tahu?" Bara mengedipkan mata menggoda istrinya.     

Dila sampai malu sendiri sehingga ia membenamkan kepalanya di dada Bara. Suaminya memang penuh dengan kejutan. Dila takjub Bara kuat menggendongnya menuju kamar mereka yang ada dilantai dua. Bara membuka pintu kamar dan menutupnya menggunakan kaki.     

"Aku mau gesek kartu ATM masa lupa?"     

"Apaan sich? Aku lagi datang bulan," ucap Dila membuat Bara menurunkannya dari gendongan.     

Wajah Bara langsung muram dan sedih. Kepala bawah sudah sakit malah istrinya kena palang merah. Mau tidak mau Bara harus menuntaskannya di kamar mandi.     

"Sayang mau kemana?" Goda Dila menahan tawa.     

"Kamar mandi. Ngapain lagi," jawabnya kesal. Keningnya berlipat tiga.     

"Mau pipis?"     

"Kamu mens ya ngapain lagi?"     

"Aku mens tapi bohong," ucap Dila menutup mulutnya.     

Bara mendelik kesal tanpa aba-aba menerkam Dila. Bara melumat bibir istrinya dengan penuh nafsu, memberikan ciuman panas yang selalu membuat istrinya menggelepar dalam gairah.     

Mereka bercinta dengan penuh gairah. Melepaskan apa yang seharusnya dilepaskan. Menyalurkan apa yang seharusnya disalurkan.     

"Ah….Pelan sayang," ucap Dila merasa kesakitan ketika Bara memasukinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.