KEMARAHAN AMORA (PART 1)
KEMARAHAN AMORA (PART 1)
"Kapan?" Tanya cowok itu dingin.
"Lusa, pak. Apakah bapak ingin tetap dijadwal semula atau harus saya reschedule?"
"Tetap dijadwal semula saja. Memang berapa hari kunjungan kerja saya?"
"Dua hari, pak." Jawab Fio cepat. Reyhan meletakkan laporan yang telah selesai dia baca. Cowok itu merengganggkan otot jari-jarinya.
"Kamu buat jadi empat atau lima hari kerja ya! Saya rencananya mau ajak istri saya, sekaligus jalan-jalan!" Putus Reyhan enteng.
Fio tercekat.
"Maaf, apa itu tidak terlalu lama, pak? Karena bapak juga ada pertemuan dengan klien di Singapore dihari jumat, dan ada jadwal makan malam bersama di Singapore hari sabtu. Kalau terlalu lama di Bali, bagaimana dengan klien kita yang ini pak?"
Fio berbicara dengan nada mengingatkan, Reyhan manggut-manggut.
"Kalo gitu kamu reschedule aja jadwal dinnernya, beres kan?"
"Tapi beliau salah satu klien utama kita pak. Bapak tahu sendiri karakter klien kita seperti apa. Saya khawatir, jika kita reschedule nantinya malah berdampak ke hubungan kerja sama Deandra Group dengan perusahaan beliau. Mengingat karakter beliau yang kaku dan tidak suka jika suatu pekerjaan ditunda-tunda."
Lagi-lagi Fio menjelaskan dengan nada khawatir. Tapi bukan Reyhan namanya kalau membuat keputusan pakai segala dengerin pertimbangan dari orang lain. Dalam urusan kerjaan, dia tetap pembuat keputusan tunggal!
"Kamu atur aja apa yang saya perintahkan!" jawab Reyhan cepat. Cowok itu menyeruput kopinya sedikit, mata cokelatnya menatap Fio tajam, "Terus Fio, Kamu itu sekertaris pribadi saya! Jadi kamu gak perlu sampai repot-repot pikirin urusan kerjasama Deandra group dan perusahaan klien. Tugas kamu itu membantu urusan saya, paham?" Kata Reyhan tegas. Aura kebosyyan cowok itu mulai terpancar membara keluar. Fio menelan ludah, ternyata singa telah bangun! Dia pikir setelah menikah sikap boss nya akan menjadi semanis kelinci.
"Baik pak. Kalau begitu saya akan atur ulang jadwal bapak. Ada lagi yang bisa saya bantu, pak Reyhah?" tanya Fio lagi. Kali itu cewek itu menurunkan nada bicaranya. Dia tahu betul karakter Reyhan saat kerja. Berbanding terbalik dengan karakter personal diluar jam kerja. Jadi cewek itu harus berhati-hati kalau ingin panjang umur di perusahaan ini.
"Gak ada." jawab Reyhan cepat, "Kamu boleh keluar." perintahnya lagi. Fio mengangguk.
"Kalau begitu saya permisi dulu pak!" ucapnya. Gadis itu segera balik badan dan memutar handle pintu, kemudian menutupnya dengan pelan. Setelah yakin pintu tertutup dengan sukses, Fio segera kembali ke meja kerjanya diluar ruangan Reyhan. Gadis itu secepat kilat menekan layar handphonenya dan mengetikkan pesan untuk seseorang.
"Hi Miss, sepertinya rencana di Bali harus ditunda karena beliau berencana akan mengajak istrinya. Akan jadi hal yang buruk jika tidak ditunda."
Klik. Pesan dikirim.
Setelah yakin sang penerima membaca pesannya, buru-buru Fio menghapus pesan itu dari layar handphonenya.
*****
"Huekkk... huekk.."
Amora muntah lagi. Hari ini dirinya merasakan mual hebat akibat kehamilannya yang semakin hari semakin besar. Terpaksa dia absen kerja karena tidak mungkin untuk memaksakan diri tetap masuk, yang ada nanti malah orang-orang di bakery akan curiga padanya. Susah payah dirinya membuat image sebagai anak baik-baik dimata Junet dan semua orang, masa dia akan menghancurkannya dengan mudah? Tentu saja tidak.
Gadis itu tidak tahan lagi rasanya. Dia sudah lelah dengan keadaan menyedihkan ini. Dia benci bayi ini, demi apapun dia tidak ingin bayi ini hidup. Bayi ini adalah sumber masalah untuk menata hidup baru pasca Amora meninggalkan suaminya. Amora kesal, emosi, frustasi, tidak terima dengan kenyataan.
Tiba-tiba saja gadis itu menangis sejadi-jadinya. Dirinya yang sudah hilang kendali mulai menepuk-nepuk perutnya sendiri, melampiaskan kemarahan yang telah lama terpendam pada calon anak yang tengah dikandung.
"GARA GARA LO! GARA GARA LO GUE JADI MAKIN MENDERITA! ANAK SIALAN LO!!!!"
Kemarahan Amora makin menjadi-jadi, dirinya memukul-mukul perutnya sendiri sambil menangis histeris. Apartemen ini memang disewa secara pribadi. Tidak ada orang lain yang tahu dimana Amora tinggal, termasuk chef Junet. Gadis itu sengaja menyembunyikan tempat tinggalnya, takut jika suatu saat terdeteksi oleh suami yang telah dia tinggalkan.
"GUE BENCI LO! GUE BENCI BAPAK LOO! BAPAK LO MERUSAK MASA DEPAN GUEE!!!"
Amora menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Dirinya terisak-isak sedemikian pilunya, seperti tidak kuat lagi dengan semuanya.
Mendadak handphonenya berbunyi, tanda pesan dari seseorang. Secepat kilat cewek itu bangkit dari tempat tidurnya dan meraih handphone. Matanya dengan cekatan membaca baris demi baris pesan itu dan langsung melemparkan handphonenya ke lantai.
"SIALANNN!! KENAPA SEMUA INI TERASA MENJIJIKAN BAGI GUE!"
Emosi Amora makin meledak membaca pesan dari seseorang itu. Gadis itu serta merta meraih handbag nya dan kunci mobil. Tidak lupa pula dia menyabet kacamata hitam andalannya, kemudian menutup pintu apartemen dengan satu bantingan keras.
*****
dr. Gina Melati, SpOG
Name desk itu terpampang dengan jelas dihadapan Amora sekarang. Ini adalah kali kedua gadis itu datang menemui dokter Gina. Sebelumnya, dia pernah memberanikan diri memeriksakan kandungannya ya ke dokter Gina juga. Meskipun awalnya sempat tidak percaya dengan hasil pemeriksaan atas kehamilannya, tapi Amora tidak bisa mengelak dengan takdir. Dirinya memang tengah mengandung si jabang bayi hasil pernikahannya dengan suami yang telah dia tinggalkan. Suami kasar dan pemarah itu benar-benar membuatnya seperti burung dalam sangkar. Untung saja dirinya bisa kabur dari rumah itu. Ya, meskipun setelah kabur, ternyata dirinya belum juga bisa bebas akibat kehamilan ini.
"Selamat siang mbak Amora.." sapa dokter Gina ramah. Amora melepaskan kacamata hitamnya. Sorot matanya sayu dan kantung matanya menjadi gelap akibat banyak bergadang dan menangis. Hidupnya sedang kacau balau sekarang. Dirinya hampir saja depresi.
"Siang dokter.." jawabnya lemas. Dokter gina memandangnya dengan tatapan prihatin.
"Mbak Amora sudah makan?" tanya dokter Gina, Amora menggeleng.
"Sudah beberapa hari ini saya mual hebat, dok. Saya gak sanggup lagi rasanya."
"Meskipun mual, mbak harus tetap makan. Mbak harus menjaga kesehatan untuk diri mbak sendiri dan juga calon bayi yang sedang dikandung."
Amora menggeleng kuat. Dirinya mulai meneteskan air mata.
"Dok, saya gak sanggup lagi dengan segala drama kehamilan ini. Saya muak sama semuanya, saya mohon dokter tolong saya! Please dok!"
"Apa maksud mbak Amora?" tanya dokter Gina dengan ekspresi bingung. Amora menyeka air mata yang mengalir deras dipipinya. Kayak kran air yang bocor.
"Saya mau dokter bantu saya untuk mengeluarkan janin ini dok, saya mohon! Berapapun biaya yang dokter minta akan saya kasih!"
DUARRRR
Bak petir di siang bolong permintaan haram Amora ke dokter Gina. Sang dokter tercekat, tidak menyangka atas kalimat yang baru saja dilontarkan pasiennya itu. Tindakan itu benar-benar suatu perbuatan terkutuk! Dosa besar!
"Astaga mbak Amora, sadar, mbak!" dokter Gina sampai berdiri dari posisi duduknya. "Dosa besar mbak membuang janin dalam kandungan mbak, itu perbuatan salah!"
"Salah?!" Amora ikutan bangkit dari posisi duduknya, "Itu gak salah dokter! Akan lebih salah jika anak ini lahir sekarang, karena saya gak akan bisa jadi Ibu yang baik! Saya gak sanggup membesarkan dia dokter!"
"Mbak, jangan melakukan pembelaan seolah-olah membuang janin itu perbuatan yang benar dengan dalih tidak bisa menjadi Ibu yang baik. Itu dosa mbak! Coba mba pikirkan, betapa banyak diluar sana pasangan yang menginginkan punya momongan.. dan mbak Amora salah satu yang diberi kepercayaan sama Tuhan untuk dititipkan momongan..."
"Halah, omong kosong!" Amora memotong omongan dokter Gina, "Dokter gak usah nasehatin saya! Berapapun dokter mau, saya akan kasih.." Amora mengeluarkan cek kosong dari dalam tasnya, "Seratus juta? Dua ratus? Lima ratus juta? Silahkan dokter tulis sendiri nominalnya..." katanya dengan sombong.
Dokter Gina sangat tercengang. Emang bener-bener dah gak waras Amora ini.
Raut wajah dokter Gina berubah menjadi merah padam. Gila, kredibilitasnya sebagai dokter sedang diuji dengan permintaan pasien sinting ini.
"Maaf mbak Amora, saya gak bisa!" tolak dokter Gina tegas. Biar gimanapun dia gak akan mau disuap model begini. "Saya sudah di sumpah untuk melayani pasien dengan baik, bukan untuk membunuh, apalagi membunuh janin yang tidak berdosa sama sekali." imbuhnya. Dokter Gina melepaskan stetoskop yang sedari tadi menggantung dilehernya.
"Tolong mbak fikirkan ribuan kali sebelum mengambil keputusan. Aborsi bukan hanya akan berdampak ke janin tapi juga ke ibunya. Apakah mbak fikir setelah aborsi semua masalah akan selesai? Tentu tidak! Ada banyak bahaya yang mengintai kesehatan mbak terutama. Tolong, jangan pernah lakukan perbuatan dosa dan melanggar hukum itu!"
Amora berdiri mondar-mandir bak setrikaan. Bingung dan kalut dia harus berbuat apa.
"Sebegitu bencinya mbak Amora dengan anak mbak sendiri? Dia darah daging mbak sendiri.. anak itu berhak hidup seperti anak lainnya! Bagaimanapun buruknya hidup ini, kita manusia biasa tidak berhak melenyapkan nyawa orang lain!"
"ARRRGHHH!!!"
Amora menghentakkan kakinya ke lantai. Gadis itu kesal sekali dengan petuah-petuah yang diucapkan dokter Gina. Dirinya langsung berjalan keluar ruangan sang dokter dengan langkah-langkah besar, tanpa memperdulikan banyak sorot mata yang menatap aneh kearahnya.
*****