Dia Bukan Lagi Adikku (3)
Dia Bukan Lagi Adikku (3)
Kegelisahannya benar-benar membuatnya tidak bisa beristirahat sama sekali.
Dan untuk alasannya, tentu tidak perlu dikatakan lagi.
Gadis kecil itu, ia telah berhutang padanya, kan?
Benar, kan?
Sekelebat bayangan seketika muncul di benak Leng Yunchen, tapi semuanya begitu cepat berlalu.
Namun tetap saja, bayangan itu berhasil menciptakan gelombang riak di pikirannya.
Sebuah bayangan dari sosok lembut dengan perawakan yang masih ranum.
Hingga sorot mata Leng Yunchen berangsur-angsur tenggelam, yang membuatnya semakin merasa jika dirinya benar-benar berhutang pada sosok itu.
Dan keesokan harinya.
Leng Yunchen berdiri di depan jendela, mengenakan celana hijau tentara, sepatu bot hitam dan kemeja putih. Matanya yang sayu menatap ke luar jendela dengan sorot yang tidak jelas dan rumit. Bahkan warna semu merah juga tak luput dari matanya karena kurangnya istirahat saat malam.
Kini ia telah memegang ponsel di tangan, menunggu waktu untuk menghubungi adiknya ketika pesawat telah mendarat nanti.
Jika Leng Xiaomo tidak mau menjawabnya, maka ia akan mengganti nomornya sampai adiknya benar-benar menjawab.
Ya, Leng Yunchen ingin mengatakan jika ia bersedia meninggalkan segala yang ada di sini untuk melindunginya, terlebih setelah semua yang telah terjadi. Apalagi Leng Xiaomo kini berada di situasi yang sangat berbahaya. Jadi ia tidak akan meninggalkan adiknya dan membiarkannya mengahadapi masalah ini sendirian.
Tentu Leng Yunchen berharap apa yang ingin ia ungkapkan bisa tersampaikan.
Meski ia telah mengatakan jika dirinya tidak akan lagi memedulikannya, tentu itu sebuah hal yang mustahil.
Hanya saja, pagi ini.
Tepat di pukul tujuh pagi, sebuah kabar yang sangat penting sekaligus suram datang dari berita utama.
Saat itu, Leng Yunchen masih menahan dirinya di kantor, sampai seseorang datang untuk mendiskusikan berbagai hal dengannya. Setelah beberapa hal telah disampaikan, orang itu kembali melanjutkan, "Oh, ya, Kapten Leng, apa kapten sudah membaca berita pagi ini? Penerbangan dari Kota G menuju ke New York tadi malam mengalami kecelakaan. Pesawat hilang kontak dan jalur penerbangannya tak dapat dideteksi. Sekarang tidak ada yang dapat menghubungi keberadaan pesawat."
Setelah mengatakannya, orang itu tampak menggelengkan kepala sambil berbisik, "Benar-benar mengerikan. Apakah ini pembajakan?"
Begitu ia mengucapkan kata-kata itu, Leng Yunchen yang awalnya tidak memerhatikan, alisnya berangsur-angsur mulai membeku, sampai akhirnya, ia perlahan mengangkat kepala, menatapnya dan bertanya, "Apa kamu bilang?"
"Aku bilang mungkin pesawatnya dibajak—" jawabnya dengan bingung.
"Bukan, bukan itu. Yang sebelumnya. Kamu bilang ada kecelakaan dalam penerbangan menuju ke New York kemarin?"
Tanya Leng Yunchen sembari menatapnya dengan sorot menelisik, bahkan napasnya serasa hampir berhenti.
"Ya, penerbangan menuju ke New York pada jam 9 tadi malam. Saat pukul tiga atau empat tengah malam, pesawat hilang kontak dan tidak ada jejak sama sekali. Entahlah, tidak ada yang tahu ke mana pesawat itu pergi."
Pria itu mengulanginya lagi, tetapi kali ini, ia jelas menyadari sesuatu dan seketika menatap Leng Yunchen dengan heran.
Lalu ia bertanya perlahan, "Kenapa, apa kamu kenal seseorang..."
Di pesawat itu?
Namun ia tidak melanjutkan kalimatnya karena wajah Leng Yunchen sontak memucat dengan tubuh terhuyung. Dengan cepat Leng Yunchen tampak menekan meja untuk menstabilkan tubuhnya yang tinggi.
Dan di saat yang sama, layar dari ponselnya berkedip dua kali yang menandakan munculnya berita utama dari media— Penerbangan M768 dari Kota G menuju ke New York menghilang tadi malam,
Diduga pesawat telah dibajak atau mesin tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hingga menyebabkan pesawat hancur dan seluruh penumpang tidak dapat diselamatkan.
Entah kenapa, tiba-tiba saja ia membuka ponsel. Padahal awalnya, ia sama sekali tidak berminat untuk menyentuhnya. Tetapi saat ini, jari-jarinya terlihat gemetar dan matanya yang dingin menatap lurus ke layar.