Halo Suamiku!

Menyerah (2)



Menyerah (2)

1Karena tujuannya datang adalah untuk merawat ibunya dan mengunjungi orang tuanya, bukan untuk membiarkan mereka mengurus dirinya.     

Jadi pagi itu, Leng Xiaomo bergegas pergi ke rumah sakit.     

Ketika ia akhirnya masuk ke dalam bangsal, anehnya Leng Xioamo hanya melihat ibunya dan sama sekali tidak mendapati sosok ayahnya.     

"Bu, aku datang membawakan sarapan. Di mana Ayah?" tanya Leng Xiaomo sambil berjalan masuk. Lalu, ia menarik kursi dan duduk di sisi ranjang ibunya.     

Ia pun melihat ibunya telah bangun dan sedang duduk di kepala tempat tidur dengan sebuah buku. Tampak wanita itu mengangkat wajahnya ketika ia masuk dan terlihat jelas jika kulitnya tampak jauh lebih baik daripada kemarin. Tentu perasaan lega seketika memenuhi hati Leng Xiaomo.     

Namun berbeda dengan Gu Liang. Begitu ia melihat putrinya datang pagi-pagi sekali dengan lingkaran hitam di bawah matanya, sorot matanya sedikit berubah.     

"Kenapa kamu tidak menjawab telepon dari Ibu kemarin? Ibu dengar dari tentara kalau tidak ada pergerakan sama sekali setelah kamu tidak di rumah. Bukankah kakakmu mengatakan jika kamu belum makan sepanjang hari? Kalau begitu, kenapa kamu tidak makan di rumah? Dan lihat lingkaran hitam di matamu? Kamu tidak beristirahat dengan baik?" serentetan pertanyaan itu memberondong Leng Xiaomo tanpa ampun.     

Bahkan ia tidak menyangka jika ibunya mengetahui segalanya tanpa cela. Mau tak mau, ia tertegun sejenak, baru kemudian menarik sudut bibirnya dengan paksa, "Bu, kamu tidak perlu mengkhawatirkanku. Hanya sedikit tidak nyaman saja setelah naik pesawat cukup lama, tapi aku akan baik-baik saja dalam dua hari ke depan."     

Setelah mengatakannya, ia membuka kantong sarapan yang ia bawa, "Bu, kubawakan kue telur kepiting yang aku beli dari toko yang Ibu sukai. Aku akan memanggil Ayah dulu untuk makan bersama."     

Dengan santai leng Xiaomo mencoba mengalihkan topik pembicaraan.     

Namun, tampak Gu Liang menghela napas pelan, "Ayahmu? Hari ini hanya ada kita berdua. Dia pergi dengan tergesa-gesa tadi malam karena ada sesuatu yang harus dilakukan."     

Leng Xiaomo sontak tercengang begitu mendengar ini, bahkan kemudian wajah kecilnya tampak terkulai, "Tapi, Bu, bukankah seharusnya Ayah tidak bisa pergi begitu saja mengingat Ibu baru saja mengalami kecelakaan mobil?"     

"Dia tidak sepenuhnya membiarkan Ibu begitu saja. Sudah ada perawat yang mengurus Ibu di sini."     

Entah kenapa, Gu Liang terlihat begitu acuh seolah hal seperti ini sudah biasa terjadi.     

Yang membuat hati Leng Xiaomo sedikit merasakan ketidaknyamanan.     

Dulu, ketika ia masih kecil, ayahnya memang sering pergi untuk menangani beberapa hal di ketentaraan, meski kadang-kadang itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya dan kakaknya, atau bahkan ulang tahun pernikahan dengan Ibu, atau pernah sekali saat di Hari Peringatan Kakek…     

"Nak, kamu tahu, pekerjaan ayahmu mengharuskannya tidak bisa menyerahkan diri sepenuhnya kepada keluarga. Dia memang berada di dunia yang lebih berbahaya di luar."     

"Tapi, Bu... tidak pernahkah Ibu menyalahkan ayah? Benar-benar tidak sekali pun menyalahkannya..."     

Sebuah senyum rumit seketika tersungging di bibir Gu Liang begitu pertanyaan ini dilontarkan.     

Kemudian, ia mengangkat pandangannya dan perlahan memegang tangan putrinya, "Tidak mungkin jika Ibu mengatakan tidak pernah. Ketika sedang melahirkan kakakmu, Ibu hampir mengalami kesulitan dan mungkin kehidupan kami berdua bisa saja lenyap. Saat itu, Ibu sangat ingin Ayah berada di sisi Ibu, tetapi ayahmu bahkan tidak tahu jika Ibu akan melahirkan. Dia berada ribuan mil jauhnya. Dia memang selalu ingin melindungi negara dan orang-orang, tetapi dia tidak bisa melindungi Ibu dan putranya sendiri."     

Dasar hati Leng Xiaomo tiba-tiba terasa sakit seolah ditikam dengan pisau tajam hingga hatinya bergetar begitu mendengarnya.     

... "Jadi karena inilah, Ibu harus mengatakan bahwa di masa depan, kamu harus menemukan tempat yang tepat agar membuat ibu, juga dirimu sendiri untuk tidak perlu merasa khawatir. Yang paling penting adalah memiliki keluarga yang selalu bisa bersama setiap hari. Rasa cemas itu sungguh tidak nyaman dan terkadang seperti penyakit jantung yang sangat menyiksa."     

Entah sejak kapan, Gu Liang baru menyadari mata putrinya yang telah perlahan-lahan dipenuhi kabut air. Lalu ia dengan lembut membelai rambutnya, matanya yang tenang pun memancarkan kasih sayang penuh, "Nak, kamu masih muda dan semuanya masih belum terlambat."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.