Menyerah (1)
Menyerah (1)
Sementara sosok Leng Yunchen yang ada di dalam mobil hanya menampilkan siluet samar dari pancaran cahaya di luar. Apa yang tergambar di wajahnya tidak jelas, membuat orang tidak dapat melihat apa yang ia pikirkan.
Sedang suara tangisan gadis di dalam mobil itu masih menggema, disertai dengan keputusasaan, seolah melampiaskan segalanya di saat-saat terakhir.
Meski satu sosok di sebelahnya masih begitu sadar dan rasional.
"Bukan dia. Semua ini tidak ada hubungannya dengan dia. Jangan membahas tentangnya."
Tepat setelah kata-kata Leng Yunchen terlontar dengan suara rendah, tangisan putus asa Leng Xiaomo melemah perlahan dan akhirnya berubah menjadi isak tangis yang tak berdaya.
Apa yang ia tunjukkan saat ini seolah menunjukkan jika dirinya hanya seperti seorang jalang yang terus mengganggu.
Karena ini semua tidak hanya akan membuahkan kesia-sian, tetapi juga menghilangkan martabat terakhirnya.
Ya, ia kalah telak.
"Xiaomo, aku tahu apa yang Ibu katakan padamu. Kamu harus mendengarkannya. Kamu masih muda. Lebih baik jadilah wanita yang terhormat dengan menemukan seseorang yang layak di masa depan."
Ini adalah kalimat terpanjang yang Leng Yunchen katakan padanya sebelum pergi.
Namun, Leng Xiaomo secara otomatis menutup telinga akan semuanya dan tidak mau mengerti arti sebenarnya dari kalimat itu.
Hingga mobil akhirnya sampai di tempat tujuan. Tentara yang menjaga di luar halaman pun bergegas membuka pintu begitu Leng Yunchen memasuki halaman. Kini, angin malam yang berhembus juga telah berhasil mengeringkan air mata yang masih menggenang di mata bengkak Leng Xiaomo.
Dan ketika menunggu Leng Xiaomo turun.
"Xiaomo, aku harus pergi."
Leng Yunchen memegang kemudi dengan kedua tangan sembari mengatakan ini dengan suara yang dalam. Tidak sedikit pun ia mengarahkan pandangan pada adiknya.
Mau tak mau, Leng Xiaomo membeku di kursinya selama dua menit. Sampai akhirnya, ketika denting jam berdering di kejauhan, bulu matanya yang basah bergetar samar dan ia pun turun dari mobil.
Juga tanpa menatap kakaknya.
Ia langsung masuk ke dalam rumah dan beberapa detik kemudian, deru mesin mobil mulai menyala.
Suara itu kini bergema di benaknya.
Jika Leng Yunchen pergi sekarang, entah kapan mereka akan bertemu lagi. Pasti Leng Yunchen akan terus menghindar darinya atau bahkan tidak lagi ingin bertemu dengannya.
Namun saat ini, Leng Xiaomo sama sekali tidak menoleh ke belakang.
Setiap langkahnya di tangga terasa begitu berat, seolah kakinya diikat dengan besi yang sangat kokoh..
Tentu Leng Xiaomo tahu bahwa masalah hubungan persaudaraan mereka, sebenarnya adalah hambatan terlemah.
Hambatan terbesar di antara keduanya adalah bahwa Leng Yunchen tidak mencintainya.
Jika Leng Yunchen mencintainya, maka bahaya sebesar apapun tidak ada artinya dan mereka pasti tetap bisa bersama.
Semua pikiran itu terus berkecamuk hingga langkah Leng Xiaomo tiba di sebuah kamar kecil yang sudah lama tidak ia singgahi.
Jendela segitiga masih tetap ditopang oleh penyangga. Langit di kejauhan tampaknya sudah tidak sehitam sebelumnya. Warna merah jingga pun sudah mulai saling terkait dan cahaya bulan terus bersinar, menerpa setiap tempat yang menciptakan temaram.
Leng Yunchen telah pergi.
Dan ketika mobil itu semakin menjauh, hati Leng Xiaomo seketika hanya diisi oleh kekosongan.
Ia belum makan apa-apa sepanjang hari. Tapi di malam yang sunyi itu, di tempat tidur kecil di loteng, ia hanya menatap langit-langit, kepalanya terasa kosong dan tidak memikirkan apa pun.
"... Leng Xiaomo..." gumamnya pelan.
Seolah memberikan sedikit martabat untuk dirinya sendiri.
Ia bertekad untuk menunggu pesawat Leng Yunchen yang berangkat malam itu juga. Alhasil, Leng Xiaomo berbaring di loteng sepanjang malam dan tidak tidur sedetik pun memejamkan mata.
Keesokan harinya.
Leng Xiaomo bangun lebih awal.
Tentu tak bisa disangkal jika ia bisa saja depresi dan kehilangan semangat setelah cintanya kandas, tetapi ia juga akan mencoba bangkit demi banyak orang.
Bahkan ia menyadari mengapa Leng Yunchen meninggalkan dirinya sendiri dengan orang tuanya dan pergi tanpa ragu-ragu setelah mengucapkan kata-kata seperti itu.
Karena—-